29. Sejam Berapa?

1.1K 193 19
                                    

Suasana kantin begitu ramai. Tapi aku belum melihat sosok Chloe sejak tadi. Jadi aku kembali memusatkan perhatianku pada rapat dadakan hari ini. Lagi-lagi sebenarnya bukan rapat, Marcel hanya ingin bergosip. Sejak tadi pagi ia begitu heboh dan bilang kalau ia punya gosip terkini. Daripada penasaran, lebih baik kuikuti maunya saja.

"Eh, woy." Marcel membuka 'rapat'-nya. "Krist, lu udah tau berita ini blom?"

"Kok gue?"

"Ada hubungannya sama Singto soalnya."

Mataku berbinar seakan ingin cepat-cepat tahu, "Apa woy? Cepet kasih tau."

"Bisik-bisik, anrjit!" Tay menyikut bahuku.

Marcel melirik kanan-kiri, memastikan tak ada yang mendengar pembicaraannya. Kami semua jadi semakin dibuat penasaran dengan mengantungnya kalimat Marcel tadi. Ia menarik nafas. Berharap ia tak akan membawa masalah karena membeberkan gosip ini.

"Chloe udah lama kan gak masuk." Ia mengelurkan ponselnya, seperti mencari sesuatu yang bisa menunjang berita panasnya. "Terus kemaren gue cek Instagram nih, ada akun kosongan gitu. Gak tau punya siapa. Tapi serunya dia spill berita anak-anak sekolah gitu."

"Berita apa?"

"Chloe hamil woy."

"ANJING?!" Tay berteriak keheranan lalu merebut ponsel Marcel, memastikan bahwa ia tak

"Inget, Tay." Marcel mengulurkan tangan. "Isiin Steam Wallet gue ampe jebol."

"Lu berdua beneran jadiin sexuality orang buat bahan taruhan?" Earn menatap kedua temannya dengan wajah jijik.

Tay mengangkat bahunya, "Lagian siapa yang nyangka sih?"

Aku di sini masih termenung. Tidak. Aku tidak akan menangis kali ini. Tentu saja aku sudah memprediksi hal buruk akan terjadi. Jujur, meski ini jauh lebih parah dari yang aku bayangkan sebelumnya. Tapi setidaknya aku sudah lebih siap dari sebelumnya.

Toh, memang Singto orang brengsek.

"Lagi gosipin apa nih?" Tanya seorang anak kelas dua belas menghampiri kami.

Marcel langsung memasang wajah bingung yang diselingi mimik kesal. Mengingat jarang ditemui teman seangkatannya datang menghampirinya. Apalagi sekadar basa-basi ketika sedang membahas hal begini. Makin besar timbul kecurigaan kita terhadapnya.

"Bright." Panggil Marcel berusaha terlihat normal. "Kenapa?"

"Asik banget gosipin masalah orang lain sama adek kelas." Ia tertawa sinis. "Ngomongin siapa sih? Anak kesayangan kepsek ya?"

Marcel mendengus kesal, "Urusan lu apa ya?"

"Gue?" Telunjuk Bright menunjuk dirinya sendiri. "Lucu aja, kayak gak sadar diri. Lu gosipin orang lain. Padahal aib gedenya tuh ada di deket lu sendiri."

"Ngomong apa sih? Lu kalo gak paham, cabut aja deh!" Balas Marcel tak mengerti.

Bright menatapku, "By the way, jaket lu lucu banget. Kayak di video."

Tunggu, sepertinya ada yang tidak beres di sini. Ucapan Bright tadi membuat keringat dingin sukses meluncur dari dahiku. Video apa yang dimaksud? Tidak, tidak. Aku akan berusaha berfikir positif sekarang. Mana mungkin Singto merekam dan menyebarkan video kami kemarin. Bukannya itu sama saja dengan menjatuhkan namanya sendiri?

"Jadi lu open berapa sejam?" Teriak Bright yang membuat semua orang melihat ke arahku.

Marcel langsung memuncak amarahnya. Digenggamnya kerah baju Bright kuat-kuat. Aku seketika panik. Bukan karena mereka akan bertengkar. Tapi video itu, bagaimana dia bisa tahu? Bukannya malam itu hanya ada aku dan Singto?

"Kenapa?" Bright seakan tak takut dengan teman sekelasnya itu. "Gue ke sini cuman mau ngasih tau, Singto gak mungkin lah ngehamilin Chloe. Orang dia aja sukanya sama..."

Mata Bright melirik ke arahku, seakan memberinya sebuah kode.

"Ah masa anak klub jurnalistik kudet sih? Apa perlu gue kasih liat videonya?"

Baru sebentar kejadian Marcel dan Bright menarik semua mata yang melihat, Singto yang baru masuk ke kantin ternyata langsung mengambil alih perhatian. Beberapa meja mulai berbisik sana-sini. Singto seperti belum memahami situasi, jadi ia tak ambil pusing dan lanjut mencari tempat duduk.

"Krist." Tay menunjukkan layar ponsel Bright ke arahku. "Oh, jadi ini alesan kenapa lu ngebet banget nulis soal dia? Profesional banget ya, anjing."

Aku menutup mataku. Mengacak-acak rambutku. Sial. Kenapa video itu bisa ada di tangan Bright? Aku yakin betul video yang diunggah sepuluh menit itu sudah ditonton oleh sebagian murid sekolah. Tapi Singto duduk di sana seakan tak tahu apa-apa.

Dan aku pun juga baru sadar.

Singto kala itu tak membuka bajunya. Ia masih terlihat rapi dengan kaus hitamnya. Sedangkan aku? Astaga, aku sudah hampir telanjang di sana! Tapi sudah benar-benar tak bisa melakukan apapun lagi. Badanku benar-benar gemetar karena ketakutan.

"Singto." Marcel melepaskan cengkraman kerah Bright lalu akhirnya menghampiri 'pemeran utama kedua' video yang ia lihat tadi.

Singto hanya bisa melihat bola mata coklat Marcel dengan bingung.

"Lu apain temen gue?!" Ia menggretak meja kayu di hadapannya. "Gue tau, Sing. Lu hebat, lu kebal aturan di sini. Tapi gak gini cara lo mainin orang."

"Apa sih?!" Balas Singto yang kebingungan.

"Belagak gak tau lagi lu."

Singto yang tak tahan akhirnya berdiri menghadap ke arah Marcel, "Tolong jangan mancing emosi orang ya? Gue aja gak tau ada apaan."

"Ngehamilin anak orang, sekarang sebarin video aib temen gue."

"Video apaan lagi? Jangan asal—"

"LU TUH KALAU MAU PHONE SEX JANGAN DISEBAR, ANJING!"

Lenyap sudah kesabaran Marcel, langsung ia mendorong Singto hingga jatuh ke lantai. Memukulnya hingga beberapa kali. Suasana kanting langsung ricuh. Ada yang berteriak menyorak, ada yang ketakutan, hingga sibuk merekam dengan ponselnya.

Buru-buru aku berlari masuk ke keramaian, menghentikan Marcel yang masih belum puas melampiaskan amarahnya.

"Udah, Cel!" Teriakku sambil menarik ujung seragamnya.

Marcel malah menepis tanganku, "Lu juga! Anjrit, ga nyangka ya gue. Udah tau ini orang brengsek, dan lu masih mau? Emang dasar lont—"

"JAGA OMONGAN LU YA!" Singto mendapati Marcel yang tengah lengah buru-buru membalas pukulan yang sejak tadi ia terima.

Ucapan Marcel benar-benar menusuk hati. Belum selesai memang, tapi aku tahu betul apa maksudnya. Kukira dia akan selalu berada di pihakku. Menjagaku bagaikan adiknya sendiri seperti apa yang ia bilang kemarin. Sepertinya tidak ada seorang kakak yang tega dari hati menilai adiknya sendiri dengan kata seperti itu.

Rasanya aku tak ingin terus berada di situasi yang menyesak ini. Jadi lebih baik aku bergegas lari ke luar kantin. Biar saja mereka mengurusi ego mereka masing-masing. Toh, mereka ini juga kesalahan mereka Satpam sekolah dan guru-guru juga mulai mencium bau keributan di dalam. Kurasa pertikaian mereka juga tak akan bertahan lama.

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang