35. Jurnal

1K 186 3
                                    

"Hari ini ada jadwal apa ya?"

Aku membuka buku jurnalku dan melihat kalender kecil di dalamnya. Ada banyak yang harus kulakukan hari ini. Tapi tak apa. Kata Vera, terapisku, dengan menyibukkan diri begini bisa mengalihkan pikiranku. Jadi sebaiknya aku ikut saja, toh tidak ada ruginya juga? Daripada bosan seharian di rumah.

"Minum obat, nulis jurnal, pergi ke group therapy—" Gumamku sambil membolak-balik selembaran kertas kecoklatan itu.

Pekerjaan ini terlalu banyak! Setidaknya menurut penilaianku. Aku menghela nafas. Berusaha menghadirkan oksigen demi menyejukkan isi kepalaku. Kurasa kini justru akulah yang harus berhenti mengeluh dan berusaha lebih keras.

Sekarang aku menyesal.

Bukan berarti aku seketika terinspirasi oleh ucapan Vera. Ironisnya, kata penyemangat penuh kebohongan itu hanya membuatku mengantuk. Tapi aku menyesal karena sekarang mau tak mau aku harus menjalankan terapi ini, SEMUA INI, demi 'mengalihkan pikiranku'.

Dan group therapy? Astaga, bahkan aku tak ingat sudah berapa lama aku tidak melihat manusia selain ibu, L, dan Vera.

Tidak lama juga sih, mungkin sekitar sepuluh hari.

Tapi kau paham maksudnya kan?

Ibu tidak banyak bicara lagi setelah kejadian semalam. Mungkin sama-sama menjaga perasaan agar tak ada lagi hal buruk yang terjadi. Tidak masalah sih. Justru aku merasa lebih tenang. Aku bisa berbicara seadanya tanpa ada orang yang memaksaku.

"Abis dari sana kita nanti kita makan enak deh." L datang sambil membawa sepiring roti selai kacang dan beberapa butir obat dalam mangkuk kecil.

Aku menggeleng, "Gak terima sogokan."

"Okay, jangan dipaksa."

Tentu ada juga hal yang tidak kusuka dari perubahan sikap mereka. L menjadi lebih lembek padaku. Dia tidak lagi melihatku sebagai makhluk menyebalkan lagi. Dan jujur, aku merindukan itu. Kini ia menganggapku bagai bayi lemah yang setiap saat membutuhkan pengawasan. Tapi aku paham, kurasa dia takut aku akan melakukannya lagi.

Kututup buku dan membiarkannya tergeletak. "Jadi gimana keadaan sekolah?"

"Stop men-trigger diri sendiri, Krist." Protesnya. "Gak ada gunanya juga."

"Tapi aku suka? Gimana dong?" Aku tersenyum.

L seketika memelukku, "Kamu gak tau gimana rasanya hampir kehilangan adek sendiri."

"Tapi aku capek, Kak." Balasku lesu. "Aku juga bukan adek kandung kakak."

"Ya terus kenapa? Kita kan besar bareng-bareng, manis-pahit keluarga kita jalanin bareng." Ujar L sambil menaruh dagunya di bahuku. "Sorry kalau memang kadang kesannya aku gak peduli. Dan aku juga gak tau kalau kamu dulu—"

Aku menepis pelukannya, "Gak usah bahas itu."

Tentu sudah terlambat. L baru peduli padaku ketika semua sudah terkuak. Mana pernah ia bertanya ketika aku menangis sesegukan saat pulang sekolah tujuh tahun lalu? Toh, nasi sudah menjadi bubur. Apa yang bisa ia lakukan sekarang?

"Ya udah, sekarang makan habis itu minum obat." Ujar L.

Aku mengangguk.

"Yakin gak mau makan di bawah aja?"

Sejak kemarin L terus menanyakan hal yang sama. Mungkin berharap hubunganku dan ibu bisa kembali membaik. Tapi apa yang mau diharapkan dari kerasnya hati orang tua? Dan juga egoku yang enggan mengaku salah.

Karena aku memang tidak salah.

Tidak ada yang salah dariku.

"Ayolah, Krist." Pinta L. "Udah lama banget kita semua gak makan bareng."

Mungkin aku juga harus memikirkan perasaan L. Bergelut dengan tesis sambil berada di tengah ricuh keluarga begini pasti menyulitkan. Sudah seminggu ini aku bersikap egois. Terkadang aku rindu perasaan segan itu muncul.

"Fine." Aku mengangkat piringku dan bergegas turun ke bawah.

Senyuman mulai terukir di wajah L. Setelah lama sekali aku mengecewakannya.

***

Tidak sesuai harapan. Suasana meja makan ternyata sunyi senyap. Kurasa kali ini bukan hanya karena ibu sedang banyak pikiran, tapi ia juga benci melihatku ada di sini. Benar juga, aku ini bukan anaknya. Aku hanya benalu menyebalkan yang tinggal seatap dengannya. Alih-alih berharap jadi mawar, benalu itu tetap tumbuh sebagaimana takdirnya.

L memecah keheningan, "Udah lama juga ya kita ga makan bareng?"

Ibu masih diam. Wajahnya masih datar. Aku berusaha memalingkan pandanganku berharap tidak bertemu dengan Ibu. Percuma saja L sebenarnya. Ego kita berdua masih tinggi. Gengsi juga sama-sama ditaruh di ujung langit.

"Jadi sebenernya aku ini anak siapa sih?!" Aku berdiri menggertak meja.

Emosi sudah tidak bisa ditertahan lagi. Bermalam-malam aku terus memikirkan pertanyaan yang sama. Siapa aku sebenarnya? Setelah ucapan terakhir ibu, aku sudah seperti kehilangan diriku sendiri. Refleksi di kaca pun sudah terlihat asing bagiku.

"DUDUK!" Perintah ibu, matanya melotot menghadapku.

Aku menggeleng, "Gak! Kamu kan juga bukan ibuku!"

"Eh, gila ya lu?!" L menarik tanganku kasar.

"Iya. Terus kalo gue gila kenapa?" Balasku. "Udah terbukti juga kan kalo gue gila?!"

Melihat tingkahku yang di luar kendali, ibu hanya bisa menghela nafas sambil memijat pangkal hidungnya. Ini bukan salahku juga. Aku tak suka hidup dengan penuh pertanyaan begini.

"Ya udah kalau pada gak bisa jawab," buru-buru aku beranjak dari meja makan. "Krist bakal cari tau sendiri!"

Mereka bahkan tidak menghalangiku. Sesegera mungkin aku masuk ke kamar, mengambil dompet dan ponselku. Tak ragu, aku meloncat dari jendela kamar. Melewati rerumputan belakang rumah lalu berlari sekuat tenaga sebelum mereka berubah pikiran.

Semenjak kejadian pistol air kemarin, mereka harus sudah membiasakan diri dengan Krist yang 'baru'. Di mana memacu adrenalin sudah bagaikan candu.

Toh, mati pun aku sudah tak takut.

Mungkin beginilah sebenarnya jati diriku sebenarnya. Personaliti yang sebenarnya tertahan karena ketatnya pandangan L dan ibu. Memaksakan takdir baik berpihak dari seorang anak gundik. Dan lucunya mereka hanya mengekangku, tapi tidak menjagaku dengan baik. Ah, itu juga bukan lagi tugas mereka.

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang