19. Boys Won't be Boys

1.1K 200 7
                                    

"Bu? Ada apa?"

Benar saja. Setelah aku masuk ke kamar, aku melihat ibu duduk di meja belajar. Wajahnya memerah seperti memendam kesal. L yang berdiri di sebelahnya hanya bisa pasrah sambil mengisyaratkanku untuk segera menjelaskan bukti-bukti bisu yang berada di depannya.

"Kenapa bu?"

Ibu menarik nafas, "Ini apa?"

Aku bergidik ketakutan. Sebenarnya bisa saja aku membalas pertanyaannya Tapi aku tahu bukan itu yang ia harapkan. Ia ingin aku bersalah dengan adanya barang-barang tersebut tersimpan rapi di meja belajarku. Mengingat ibu yang jarang masuk ke kamarku, untuk apa aku menyembunyikannya?

"Liptint, pensil alis, BB cr—" Balasku gemetaran.

"Kamu kira ibu bodoh?!" Ibu membalas dengan tatapan sinis. "Harusnya ibu yang tanya, kenapa kamu bisa tahu dan punya barang-barang ini?"

"Lho, emang kenapa bu? Kenapa cuman ibu dan Kak L aja yang boleh pake make up? Di kotak ini juga gak ada tulisannya kalau ini buat perempuan."

Ibu berteriak, "YA TAPI BUKAN BERARTI LAKI-LAKI BISA PAKAI, KRIST!"

"Terus kenapa? Ibu gak jawab kan?!" Sebisa mungkin aku menjaga agar air mataku tidak tumpah. "Ibu cuman bilang Krist gak boleh pake. Tapi kenapa bu? Apa cuman karena Krist laki-laki?"

"DIAM KAMU!" Ibu berteriak lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya.

Air mataku seketika tumpah. Sudah lama sekali aku tidak mendengar ibu begitu marah padaku. Ironisnya, ia berteriak hanya karena tiga buah peralatan make up yang sebenarnya tak ada hubungannya dengan maskulinitasku. Bahkan ibu sendiri juga tidak bisa menjawab pertanyaanku. Entah apa yang mendasarinya berteriak tak jelas begitu.

"Ibu buang ini semua!" Tangannya menggenggam erat semua benda yang ia harap tak ada di kamarku. "Ibu gak ingat ngebesarin anak cowok yang main-mian make up hal kayak ini!"

Pintu dibantingnya setelah ibu keluar dari kamar. Tangisku langsung pecah. Tubuh L langsung sigap memelukku namun aku menepisnya. Aku marah. Kenapa aku merasa seperti ditinggalkan sendiri dalam situasi begini? Tidak ada yang mebantuku. Aku seperti harus merasakan semua beban pada punggungku.

"Kenapa Kak L diem aja sih?!" Aku berteriak kesal. "Kayaknya lebih mending kalau aku gak punya kakak sekalian!"

Namun L masih saja berusaha memelukku, "Krist—"

"AKU GAK BUTUH SIMPATI KAKAK! UDAH MENDING PERGI AJA SANA!"

L mengikuti suruhanku. Mungkin tak mau meperkeruh suasana. Jadi sekarang aku ditinggal sendirian. Tentu aku bukan menangisi make up yang terbuang, aku bisa menabung dan membelinya lagi. Tapi kenapa dunia begitu tak adil? Kenapa hanya perempuan yang boleh takut akan ketidaksempurnaannya? Kenapa laki-laki harus pasrah menerima sambil asyik bermain bola dan mengejar perempuan? Lalu kenapa juga harus dengan perempuan?

Aku tidak mau perempuan, bu.

Aku cuman mau Singto saja.

Dan Singto sedang bersama perempuan yang sempurna.

Sudah beberapa tahun aku belum pernah merasakan hari paling buruk. Mungkin hari ini jadi salah satunya. Aku menangis semalaman. Bertanya-tanya kenapa Tuhan menciptakanku begini. Kenapa aku harus aku yang jadi laki-laki aneh yang selalu dihantu trauma? Jikapun aku tak bisa memilih, kenapa aku tak disandingkan dengan kehidupan yang baik?

Tuhan seperti tak pernah berpihak padaku.

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang