Jika aku bisa menggambarkan Singto menjadi sebuah playlist, mungkin lagu '7 Things' dari Miley Cyrus akan jadi track yang paling pertama diputar. Aku tahu seleraku begitu jadul (dan mungkin sedikit cringe) tapi kuingat dulu aku pernah menangisi lagu itu sambil berteriak meski sebenarnya pacar saja tak punya. Mungkin kini saatnya aku benar-benar melakukannya.
The 7 things I hate about you
You're vain, your games, you're insecure
Sekarang aku jadi sangat amat membenci Singto. Bahkan lebih dari apapun di dunia ini. Tak heran sebenarnya. Mengingat semua hal yang ia lakukan akhir-akhir ini, tidak membalas pesanku, berduaan dengan Chloe, sampai menghilang begitu saja. Ia tak membiarkanku cemburu seperti yang sudah kulakukan padanya.
Alasanku jadi begitu rasional untuk datang lalu mencekik lehernya.
You love me, you like her
Sebenarnya apa sih bagusnya Chloe? Perempuan kaya yang dimanja orang tuanya. Kebetulan saja sama nasibnya dengan Singto. Tunggu, apa ini semua rencananya? Mencari pasangan hidup dengan status kedudukan yang sama? Kalau begitu untuk apa dia bermain-main denganku?
Ah, betul dia mencari pelarian. Bodohnya diriku.
Lagipula, tentu aku juga bisa jadi cantik. Hanya butuh beberapa kali operasi plastik seperti yang perempuan jalang itu lakukan. Dasar bodoh, memangnya ada orang dengan hidung lancip alami begitu? Jangan naif, dia pasti bolak-balik ke Korea demi wajah yang kau puja-puja itu.
You make me laugh, you make me cry
I don't know which side to buyTak bisa kupingkiri, hari-hariku jadi begitu menyenangkan semenjak mengenalnya. Bermula dari kehilangan dompet hingga akhirnya kami bisa menjadi begitu dekat. Seperti berada di drama Korea. Terkadang aku tersenyum sendiri saat mengingatnya.
Berbeda dengan sekarang yang hanya bisa membuatku bingung sampai terpaksa menangis. Sampai detik ini pun aku masih tak paham di mana letak kesalahanku kemarin. Terakhir kali kita bertemu, aku berusaha menciumnya tapi ia menolaknya. Aku pun paham. Tapi ia seperti menutupi sesuatu dariku. Kini ia menghilang begitu saja.
"Lu lagi denger lagu apa sih? Serius amat." Nam merebut ponselku. "Astaga, ini kan lagu jaman kita sekolah dasar!"
"Shh!" Aku mengunci mulut Nam dengan telunjukku, berharap tidak ada murid di kelas yang mendengar ucapannya.
"Jadi ini childhood memories lu?" Ujar Nam dengan nada remeh. "Gak heran sih kalo lu jadi gay sekarang."
"Gak ada hubungannya ya." Protesku.
"Emang sih. Tapi gue tau, crush pertama lu pasti Zac Efron." Tebak Nam.
"Ya—" Aku terdiam mendengar betapa akuratnya jawaban Nam.
Pikiranku seketika ditarik ke masa lalu. Teringat kamarku dan L yang dipenuhi poster bintang film yang terkenal kala itu, Zac Efron salah satunya. Setiap sore kami menghabiskan waktu di depan layar televisi, menyaksikan kartun dan live action sambil makan sereal. Tentu kami tak akan selesai sampai ibu berteriak karena telah mengabaikan PR kami.
Kala itu, hal yang paling menyulitkan cuman berebut 'pacar khayalan'.
Seketikaku salah tingkah, "Ya lagian siapa sih yang gak suka Zac Efron?"
"Cowok straight, Krist." Balas Nam singkat namun menusuk.
"Okay." Aku memutar bola mataku, "Lu gak harus to the point kayak gitu ke gue."
"Gue cuman mau jadi sahabat yang jujur buat lu."
Ada benarnya juga. Nam ini memang orang yang cenderung blak-blakan. Apapun yang terlintas dipikirannya, pasti tak segan ia sampaikan. Berbeda sekali denganku yang terlalu banyak berfikir sebelum membuka mulutku. Sampai akhirnya orang seperti Nam ini mendahuluiku dan mengambil apa yang seharusnya milikku.
Lho, kenapa jadi nyambung ke sana?
"Krist." Nam merebahkan pundaknya ke sandaran bangku. "Hubungan lu sama Singto— you guys are okay, right?"
Aku mendengus sambil tersenyum, "Sebagai temen? Ya, we are good."
Berbohong terkesan jauh lebih baik daripada harus menjelaskan. Jangankan menjelaskan, memikirkan jalan ceritanya saja sudah membuatku bingung. Atau memang aku yang begitu bodoh? Singto memang orang sulit ditebak, hingga kau tak sadar sudah dipermainkan.
Nam tidak bertanya apa-apa lagi, memang tidak ada lagi yang harus dipertanyakan. Semua sudah terlihat jelas. Aku dan Singto sudah lama tak terlihat bersama setelah kejadian di kamar itu. Memang aku akui kalau aku sudah melanggar privasinya, tapi kenapa ia tidak bilang? Kenapa harus aku yang menerka jalan pikirannya?
Aku melepas earphone-ku. Kelas sudah tak seramai tadi. Banyak dari mereka mulai terbawa ke alam mimpi dari meja masing-masing. Kelas Ekonomi tadi memang begitu menguras tenaga. Suasana kelas yang hening membuat isi percakapan dua orang di depanku sayup-sayup terdengar di telingaku. Seharusnya aku tak peduli, mengingat terakhir aku melakukannya dan berakibat aku dijauhi sampai sekarang.
"Eh, lagi gosip ya?" Nam mencondongkan badannya ke arah mereka. "Ikut dong!"
Kat dan June menoleh dan langsung tak keberatan menerima Nam masuk ke obrolannya. Entah aku diajak atau tidak, tapi mereka memutarbalikan kursinya ke belakang. Mereka seperti benar-benar serius dengan ucapannya.
"Eh, tapi kalian jangan bocor." Kalimat khas gosip itu keluar dari mulut June.
Seketikaku dan Nam langsung mengangguk. Akan cerita ke siapa juga?
"Itu lho, si Chloe." Ujar Kat sambil berbisik. "Tau gak?"
"Yang anak kelas dua belas?" Tanyaku dengan ragu.
Kat mengangguk, "Dia itu kan satu tower gitu apartemennya sama gue. Terus semalem gue liat dia bawa cowok gitu."
"Ya elah, gak heran gue mah." Balas Nam. "Pasti anak futsal atau gak basket."
"Bukan itu intinya woy." Protes June.
"Justru inti ceritanya tuh ada di cowoknya." Kat tersenyum seperti akan membeberkan rahasia yang begitu besar. "Lu pasti gak akan nyangka deh."
"Anjir? Seru nih." Wajah Nam langsung berubah penasaran. "Spill the tea woy!"
Perasaanku seketika tak enak. Tapi ah, Chloe sepertinya sudah terkenal sering bemain dengan laki-laki. Ada banyak pilihan di sekolah ini, mana mungkin dia mau dengan anak culun.
"Jadi pas kemaren gue beli makan gue ngeliat gitu ada mobilnya dia—"
"To the point aja!" Potong Nam yang sepertinya sudah tak sabar.
"Singto woy cowoknya." Bisik Kat memasang wajah bingung. "Singto Prachaya yang tiap upacara dipanggil ama kepsek."
"HAH?!" Aku berteriak, untung Nam langsung menutup mulutku hingga tidak sampai menarik perhatian yang lain.
Benar dugaanku. Selama ini aku hanya masuk ke permainannya. Ternyata ini maksud dari ia tak pernah membalas pesanku. Ia tahu ia tak akan mendapatkan sesuatu dariku, jadi dia mencari dari yang lain. Dasar bodoh, kenapa aku tidak menyadari ini sih?
"Krist aja sampe kaget lho." Jane terkekeh.
"Gue kira dia polos."
Oh kau salah besar, Kat. Dia memang jauh dari bayanganmu.
Dan juga jauh dari yang kubayangkan.
"Eh, tapi kenapa yang di mobil?" Tanyaku.
Kat mengangkat alis, "Gak usah sok polos. Emang lu kalo berdua di mobil sama cewek lu gak ngapa-ngapain gitu?"
"Oh." Aku mengangguk sok paham.
Meski merasa lega sudah tahu semuanya, tapi ternyata sesak juga menghantam dadaku. Mata dan hidungku juga mulai terasa perih karena menahan tangis. Tentu akan mencurigakan kalau tiba-tiba aku menangis di depan Kat dan June.
"Ya udah gue mau ke kantin. Jam kosong ini kan?" Aku beranjak dari tempat dudukku, buru-buru keluar sebelum ada yang melihat adegan memalukan itu.
Kubuka pintu kelas dan mendapatkan fakta kalau Marcel sudah menungguku di depan kelas. Entah sejak kapan dan apa yang dia inginkan dariku.
"Kalau lu mau rapat gue lagi gak bisa." Suaraku mulai serak.
![](https://img.wattpad.com/cover/226150769-288-k73913.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]
FanficSetiap orang pasti punya kekurangan. Entah mereka menguburnya dalam-dalam atau justru menjadikannya sebagai ajang untuk mencari perhatian. Percuma saja sebenarnya. Bagaimana pun cara mereka menyikapi kekurangan itu, pada akhirnya akan terendus juga...