10. Tutor

1.5K 231 7
                                    

"Selamat pagi!" Ujarku dengan nada riang ketika pintu rumahku mulai dibuka.

Tak lama, muncul L yang mengenakan piyama dan rambutnya yang masih di-roll. Ia memang terlihat masih mengantuk. Tapi matanya sudah melirik Singto yang berdiri di sebelahku dengan sini. Auranya sudah terasa begitu menyeramkan. Aku menelan ludah sambil menahan gugup.

"Masuk." L membukakan pintu lebih lebar.

Kami akhirnya masuk lalu duduk di sofa ruang tamu. L benar-benar tak berhenti menatap Singto dari atas sampai bawah. Namun kulihat Singto tak gugup sama sekali. Ia terlihat begitu santai. Seakan ia benar-benar mengajariku matematika semalaman kemarin.

"Jadi ini tutornya Krist?" Tanya L. "Kenapa guru tiba-tiba memilih murid lain untuk kelas tambahan? Memangnya sudah kompeten?"

"Betul, saya tutor matematiknya Krist." Balas Singto sambil tersenyum. "Jika dikatakan kompeten dibidang mengajar, tentu saja belum. Saya pun masih siswa SMA. Tapi untuk pelajaran matematika, saya yakin saya sudah cukup mampu untuk mengajar Krist."

L mengangguk namun serasa belum puas dengan jawaban Singto, "Apa buktinya? Kenapa kamu bisa bilang kalau kau sudah kompeten untuk mengajar Krist?"

Oh L, kau salah betul untuk menanyakan ini.

Singto mengeluarkan ponsel dari saku celananya, "Berikut adalah prestasi saya di bidang matematika sejak kelas sebelas kemarin."

Aku sendiri belum sempat mengintip gambar dari ponselnya. Tapi aku bisa melihat wajah L yang begitu terkejut dan langsung menaruh banyak harapan pada Singto.

"Wow." Ujar L takjub. "Maaf  kalau aku sudah bersikap sinis padamu. Kirain kamu teman nongkrongnya. Anak SMA jaman sekarang, astaga... Paham kan maksudnya? Seks bebas, minum-minum— bingung deh! Jaman aku mah mana ada hal begitu."

Aku memutar bola mataku. Paling menyebalkan kalau L mulai membahas kalau generasiku seperti sudah sangat rusak. Lucunya, sebenarnya ia hanya berbeda beberapa tahun dariku.

"Aku takut Krist akan terjebak dalam pergaulan seperti itu." Lanjut L.

Singto mengangguk, "Tenang aja, Kak. Kalau Krist ngelakuin yang enggak-enggak, langsung saya kasih tau kakak."

B U L L S H I T

"Panggil saja aku L." L mengulurkan tangannya. "Aku kakak satu-satunya Krist."

"Mulai deh noraknya." Aku menarik tangan L yang begitu lama menjabat tangan Singto. "Cukup lah perkenalannya! Kayaknya Kak Singto juga harus pergi. Benar kan?"

Singto mengangguk, "Kalau begitu saya pamit dulu."

Setelah Singto perlahan menghilang keberadaannya di rumahku. Aku tak tahu harus bereaksi apa. Entah senang karena ia sudah menyelamatkanku dari ocehan seribu malam L atau justru jijik karena ucapannya yang begitu palsu. Tapi setidaknya ia sudah melakukan 'tugasnya' dengan baik.

***

"Ganteng juga ih kakak kelas kamu." Ujar L malu-malu. "Dosa lho gak ngenalin!

Aku yang baru saja selesai mandi langsung menatap L dengan tatapan kesal. Tapi memang benar, siapa yang tidak menyukai Singto? Jika kau waras dan punya akal sehat, kau pasti akan jatuh hati padanya alih-alih dengan laki-laki brengsek yang menraktirmu minum dan ternyata itu adalah modus supaya bisa mencium bibirmu.

Tunggu.

Singto juga melakukan itu.

Tapi percaya padaku, dia berbeda. Dan aku menyukainya dari sisi manapun. Bahkan setelah aku menemukan celahnya sekalipun, perasaanku terhadapnya justru semakin dalam lagi. Mungkin ini yang orang-orang bilang cinta buta.

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang