20. Nothing, he said

1.1K 201 3
                                    

Tok.. Tok..

Tubuhku yang terbaring menghadap jendela masih terbujur kaku sejak kemarin malam. Energiku habis hanya untuk menangis. Sudah terbayang sudah bagaimana perawakanku di depan cermin. Kenyataannya sembap di mataku seperti tak bisa lagi ditepis. Apa yang bisa diharapkan dari sesi air mata semalam?

"Krist mau makan apa?" Teriak L dari luar kamar.

Aku sengaja tidak menjawab. Biar dia sendiri tahu apa yang didapatkan jika mulut tidak dipakai bagaimana semestinya. Perutku tiba-tiba keroncongan. Benar. Sejak pulang dari ice rink kemarin, perutku belum sempat diisi. Aku melirik jam.

"Ayo makan, nanti maagnya kambuh." L masih tidak berhenti menggedor pintu kamarku.

"Biarin!" Aku berteriak. "Emangnya kakak bakal peduli?"

Beep beep

Singto : Kok tidak ada kabar?

Krist : gpp

Singto : OK

Begitulah Singto. Terlalu banyak berdekatan dengan es hingga hatinya juga ikut membeku. Tapi apa yang bisa kuharapkan darinya? Ia pun seperti tak tertarik lagi denganku. Bahkan ia tak menyadari keberadaanku kemarin. Entah kejadian apa yang telah menimpanya.

"Krist." Panggil L. "Ada Singto di sini. Dia bawa burger kesukaanmu."

Seketika aku menoleh dan buru-buru berjalan ke arah pintu yang masih terkunci. Tidak mungkin. Ini pasti hanya umpan L agar aku mau keluar. Singto bersikap sangat dingin tadi, kenapa bisa tiba-tiba peduli?

"Ada burger, kentang, es kri—"

Mendengar suara itu mendorongku untuk membuka kunci pintu,

"Sini." Perintahku.

"Gak!" Singto langsung menjauhkan plastik berbau surga itu dariku, "Sampai kamu bolehin aku masuk."

"Ya."

Aku membuka pintu lebar-lebar, membiarkan Singto dengan kemeja rapinya masuk. Melihatnya lengah, langsung kurebut bungkusan makanan yang menggantung di jemarinya. Tapi Singto memang cekatan hingga usahaku gagal lagi.

"Kenapa nangis?" Tanya Singto penasaran.

"Gak kok."

"Baiklah." Singto mengangguk. "Toh, aku sudah tau."

"Ya sudah sini makanannya!" Bentakku dengan nada manja.

Singto akhirnya membiarkanku mengambil apa yang kunanti-nanti sejak tadi. Cacing di perut yang sudah ribut akhirnya bisa diam. Singto juga seakan tidak peduli dengan tingkahku yang seperti babi kelaparan.

Lebih tepatnya ia tak peduli pada apapun sejak ia masuk dan merebah diri di kasurku. Pandangannya terus melekat dengan ponselnya. Tapi kurasa itu bukan pekerjaan. Sesekali kulihat bibirnya menampakkan senyum tipis lalu tangannya kembali mengetik. Rasa curigaku akhirnya hadir lagi.

"Asyik banget kayaknya." Ujarku dengan nada penasaran sambil meremas bungkus makananku dan membuangnya ke tempat sampah.

Mendengar ucapanku, Singto buru-buru mengunci ponselnya. Semakin tercium kecurigaanku padanya. Aku tersenyum seperti anak kecil yang mengajak bermain. Tapi ia mengisyaratkanku untuk tidak melakukannya dan menyelipkan ponselnya di bawah bantal. Sambil meringis kesal, aku terjun ke kasur lalu memeluknya dengan harapan bisa kucuri saat ia lengah.

Singto tertawa, "Hey, apa sih?"

"Siapa itu?" Tanyaku dengan nada manja.

"Cuman temen, Kitkat."

Aku mendekatkan wajahku, "Bohong."

Pagi buta tadi, aku dengar ibu keluar dengan mobilnya. Kupikir tak akan jadi masalah jika aku melakukan ini di kamarku. L juga mungkin tak akan berani masuk ke kamarku tanpa izin setelah aku membentaknya kemarin.

Kami diam saling berhadapan. Aku sendiri masih mematung mengkaji bentuk wajah Singto satu per satu. Memikirkan apa yang harus kukerahkan demi mendapatkan semua ini hanya untukku seorang. Tanpa sadar, bibirku sudah menyentuh bibirnya. Mengharapkan sesuatu datang darinya.

Tapi Singto malah memalingkan wajahnya.

"Aku lagi gak mood, Kit." Balasnya lalu meraih lagi ponselnya.

Kepala kuanggukan tanda mengerti. Meski sebenarnya aku menyimpan kecewa dalam hati. Selama kumengenalnya mana pernah aku menolak disentuh? Tubuhku seakan ikut saja dengan apa yang dia mau. Mana pernah aku bertingkah seperti ini?

Ranjangku tidak begitu besar. Tapi untungnya bisa menopang dua manusia merebah di atasnya. Kami berbaring sambil sesekali ku menatap birunya langit dari jendela. Angin semilir kubiarkan mampir sebentar. Berharap bisa menenangkan hatiku yang semrawut.

Aku melirik sedikit pada isi ponsel Singto. Hanya chat personal biasa, seperti yang biasa ia lakukan denganku. Tapi mengapa sampai membuatnya begitu perhatian? Tak sedetik pun ia kembali memusatkan perhatiannya lagi padaku.

"Chloe..." Ujarku sambil berusaha mendeklarasikan hasil lirikanku. "Dia cantik ya?"

Singto beranjak duduk di ujung kasur, "Kamu tuh aneh ya? Kemarin nuntut aku buat ngehargain privasi kamu, terus sekarang kamu sendiri yang ngubek-ngubek urusan aku?!"

"Well- yaudah." Aku mengikuti nada bicaranya beberapa saat lalu. "Toh, aku sudah tau."

"Chloe and I— we are nothing, okay?" Entah ketakutan apa yang membuatnya panik.

"Ya udah kalau emang gak salah, harusnya gak usah panik dong?"

Kemudian keheningan itu datang lagi. Kami berpindah posisi. Sama-sama menguasai ujung kasur. Mungkin ada yang salah dengan kalimatku tadi. Tapi kulihat Singto memerah. Bukan karna tersipu, tapi seperti akan meledak.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menciptakan tenang. Semua akan baik-baik saja jika dihadapi dengan kepala dingin.

"Aku duluan." Singto buru-buru mengambil tasnya lalu bergegas.

Tangan kulipat sambil memasang wajah heran, "Aku tidak cemburu. Lagipula, aku kan bukan pacarmu? Kakak bisa dekat dengan siapapun kakak mau."

Bohong. Bohong. Terus berbohong. Sampai kapan aku akan selalu berbohong demi terlihat mampu? Kepala sedingin apapun memang tidak cocok disandingkan dinginnya hati Singto. Sampai akhirnya ia beranjak pergi, aku masih bingung. Sebenarnya siapa yang jadi pelaku dan harus tanggung jawab membereskannya? Kenapa ia buat seakan aku yang berbuat kesalahan?

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang