"Kenapa kamu gak ikut klub teater saja?"
Seketika aku menggeleng cepat. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk memilih sebuah klub. Bagaimana citraku di dalam klub tersebut, misalnya. Lalu yang terpenting, bagaimana citraku sebagai bagian dari klub tersebut. Belum masuk klub teater saja sudah dicibir sana-sini. Tak lupa juga ibu yang begitu takut kalau aku nanti bersikap terlalu kemayu.
Tentu saja aku bukan laki-laki yang seperti itu.
"Aku tahu rasanya untuk gak jadi diri sendiri." Singto menoleh sambil mengelus pelan rambutku.
Manusia memang makhluk yang kompleks. Tapi Singto lebih menyulitkan dari manusia lainnya. Isi kepalanya memang sulit ditebak. Terkadang ia bertindak seperti ia bisa membaca pikiranku. Di lain hari tak jarang pula ia menunjukkan sikap dingin seakan kehilangan hati nurani. Menghadapinya memang butuh usaha yang keras. Belum lagi aku belum bisa merangka kalimatku untuk penulisan tentangnya nanti.
"Jadi gimana?" Pertanyaan itu muncul entah dari mana.
Sebenarnya aku bisa menebak kalau ia masih penasaran tentang jawaban soal hubungan kami yang menggantung tadi. Tapi aku tak mau menjadi sok tahu dan berakhir membuat diriku sendiri terlihat bodoh. Berlagak bodoh menjadi pilihan yang tepat sekarang.
Aku menoleh "Gimana apa?"
Singto sepertinya juga tak mau bermain dengan api. Jadi dia hanya tersenyum seakan aku sudah lupa dengan pertanyaannya barusan. Aku pun tak keberatan. Selagi aku bisa bersandar di bahunya seperti ini, berada di hubungan apapun dengannya tak jadi masalah bagiku.
"Mau makan?" Singto beranjak dari sofa dan berjalan ke arah kulkas. "Aku lapar."
"Kita bisa pesan pizza." Jawabku.
Ia menggeleng, "Aku mau makan masakanmu."
"Bilang aja bokek." Aku terkekeh.
Tanpa banyak berkata lagi, aku mengikutinya ke dapur yang tak jauh dari sofa. Mengintip isi kulkas Singto yang hampir kosong, hanya ada sisa telur busuk kemarin, ayam goreng yang sudah digigit setengahnya, dan beberapa bungkus mie instan. Aneh. Siapa yang menaruh mie instan di kulkas?
"Aku punya keju." Ujar Singto kemudian mengambil sebungkus keju iris dari lemari.
"Mie instan dalam kulkas dan keju di lemari." Aku mengernyitkan dahi. "Aneh."
"Apa itu salah?"
"YA IYALAH!" Balasku karena tak tahan dengan kebodohannya. "Kakak ini gak pernah ikut ibunya masak apa?"
Singto terdiam. Seketika aku merasa tak enak. Mungkin orang tuanya begitu sibuk dengan pekerjaannya sehingga mereka jadi tak begitu dekat. Aku menoleh ke arahnya. Ia masih terdiam dengan tatapan kosong.
"Tenang aja sih." Aku mengambil keju dari tangannya. "Aku juga gak dekat dengan ayahku kok! Malah aku belum pernah liat."
"Kenapa?"
"Gak tau." Balasku sambil mengeluarkan sisa ayam goreng dari kulkas. "Ibuku bilang dia pergi gitu aja habis aku dilahirkan."
Tatapan kosong berubah meluruh jadi iba. Ah, aku benci sekali reaksi seperti ini ketika ia mengetahui cerita keluargaku. Lagipula, tidak punya ayah belum tentu merana. Buktinya ibuku masih bertahan sampai sekarang merawatku dan L.
"Jangan gitu ah!" Aku mendorong bahunya pelan. "Aku mungkin berdampak sial buat keluargaku tapi bukan berarti aku mau dikasihani."
Singto mengangguk paham, "Jadi ini mau masak apa?"
"Sesuatu yang bisa dimakan." Balasku sambil mengendus bungkusan keju yang mencurigakan itu.
"Oh." Singto menyadari ada sesuatu yang lain dalam lemarinya. "Roti ini hampir basi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]
FanfictionSetiap orang pasti punya kekurangan. Entah mereka menguburnya dalam-dalam atau justru menjadikannya sebagai ajang untuk mencari perhatian. Percuma saja sebenarnya. Bagaimana pun cara mereka menyikapi kekurangan itu, pada akhirnya akan terendus juga...