08. Truth or Dare

1.5K 232 19
                                    

Setelat mendengar ajakannya, aku baru sadar kalau aku sama sekali belum pernah melihat rupa kamarnya. Kunjunganku kemarin hanya sebatas di ruang TV dan balkonnya saja. Tentu sebenernya itu bukan lah sesuatu yang harus dipusingkan. Lagipula, kamar tidur kan tempat terhitung privasi. Kau tidak bisa mengajak sembarang orang untuk masuk.

Lucunya, kamar Singto terlihat begitu.... normal? Tentu saja aku berkespektasi kamar dari seorang anak jenius akan begitu rapi dan tertata. Ternyata sama saja dengan anak-anak lainnya. Ada beberapa baju kotor yang bertebaran di lantai, temboknya ditempeli berbagai poster, buku-bukun catatanya pun juga bertebaran di setiap sudut kamar. Begitu normal hingga aku tak sadar kalau ini kamar milik anak emas sekolah.

Singto menaruh botol soju dan gelas-gelasnya di meja dekat kasurnya, "Ayo."

Kami berdua duduk di kasur empuknya. Singto menaruh botol soju dan gelasnya di meja kecil dekat kasurnya. Kurasa aku akan pulang malam hari ini ini.

"Tapi ada peraturannya." Ujarku. "Kakak punya kesempatan untuk gak jawab. Tapi kakak harus minum. Dan kalau mau ngelakuin lagi lagi, harus minum dua kali lipat dari sebelumnya."

"Deal." Singto mengangguk. "Jadi, truth or dare?"

"Truth." Aku mengangkat bahu berharap bisa mulai dengan santai.

Singto melipat lengannya, "Kamu gay ya?"

Tidak jika kau bermain dengan Singto.

"Sini gelasnya!" Singto tersenyum tipis sambil menuangkan soju ke gelasku.

Aku meneguknya. Ah, aku benci sekali minuman ini! Tapi setidaknya ini lebih baik daripada harus menjawab pertanyaan Singto yang tidak masuk akal itu.

"Baiklah kalau gitu cara kakak bermain." Ujarku kesal. "Truth or dare?"

"Truth."

"Jadi kakak top atau bottom?" Aku tersenyum mengangkat satu sisi bibirku.

"Switch." Balasnya santai. "Kenapa? Penasaran?"

"Gak boleh balik tanya." Potongku santai. "Truth."

Singto menatapku, "Kenapa kok bisa suka sama aku?"

Astaga. Pertanyaan Singto semakin mengada-ngada. Tapi tentu aku tak bisa minum lagi. Badanku sudah terasa panas dan mungkin setengah mabuk. Aku bahkan sudah tak bisa lagi mengenal emosiku sendiri. Jadi aku hanya tertawa karena kebingungan.

"Karena kakak— aneh aja." Bisikku sambil tersenyum.

Ia mengangguk seakan tak menganggap ucapanku sebagai hal serius, "Dare."

"Panas gak sih di sini?" Aku bertanya dengan nada satir. "Buka dong bajunya."

Permainan ini semakin gila dan aku pun tak tahu darimana ia datangnya. Tanpa basa-basi, Singto langsung membuka bajunya. Aku terkejut. Sekarang aku tahu kalau selama ini pekerjaannya tak hanya sebatas belajar saja. Ia benar-benar menggunakan gym apartemen dengan baik.

"Dare."

"Sepertinya adik kelas kita ini suka banget menggodaku." Singto melipat tangannya.

Aku mengernyitkan dahiku, "Masa?"

"Tapi kakak kelasnya gak suka basa-basi." Ia mendekatkan wajahnya begitu dekat hingga hidung kami hampir bersentuhan. "Jadi, gimana kalau kita mulai saja?"

"Kayaknya aku gak pandai—"

Ia melirik gelasku, "Silahkan saja sih kalau masih kuat."

Kurasa tubuhku sudah tak bisa menolerir alkohol lagi. Tapi tentu aku tak ingin kalah saing dengannya. Seperti tak ada pilihan lain, aku mendekatkan wajahku ke dekat telinganya. Kita bisa bermain dengan cara yang lain kali ini.

"Maksudku, aku gak pandai bermain dengan kata." Bisikku perlahan. "Jadi boleh gak kalau langsung praktek aja?"

Sebenarnya aku juga tak tahu harus apa. Aku melihat banyak sekali scene serupa di berbagai film, jadi aku hanya menirunya saja. Kukira Singto sudah puas dengan ucapanku. Namun ternyata ia hanya tersenyum. Menunggu apa yang akan kulakukan selanjutnya.

Baiklah.

Aku mencium telinganya perlahan. Berusaha menahan rasa canggung yang kuharap perlahan-lahan akan pudar. Tentu aku tak ingin kalah darinya. Memangnya hanya dia yang bisa mengontrolku?

Seharusnya aku minum lebih banyak hingga lupa. Kini aku bisa merasakan deru nafasnya yang didominasi bau alkohol. Merangsang adrenalinku hingga membuatku hampir meledak. Meski ragu, aku mulai turun ke bawah mengikuti alur lekukan wajahnya. Ketika bibirku perlahan mendarat di lehernya, Singto langsung mendorongku.

"Cukup!" Teriak Singto. "Kau gila ya?"

"Tapi kakak suka kan?" Aku tersenyum.

Singto tidak menjawab pertanyaanku.

"Truth or dare?"

"Truth." Balas Singto singkat.

"Kakak pernah ciuman?" Tanyaku tanpa malu.

"Pernah." Jawabnya malu-malu. "Tapi itu bukan hal serius."

"Oke." Ide gila kembali muncul. "Aku pilih dare."

"Menginap semalam di sini." Ujar Singto pasti. "Besok kan hari sabtu."

Aku mengangguk. Mudah saja untuk berbohong. Tinggal bilang saja ke L kalau aku sedang belajar sangat keras di rumah teman hingga larut malam. Entah ia akan percaya atau tidak. Tapi bagaimana pun keadaannya tentu aku tak akan pulang hari ini. L pasti sadar betul kalau aku sedang mabuk.

"Dare."

Bagus sekali.

"Tadi kakak bilang ciuman kakak bukan hal yang serius." Ujarku. "Jadi apa kakak mau melakukannya secara serius denganku?"

Singto tidak berkata apapun. Kurasa ia takut dengan ajakanku. Ternyata ia hanya laki-laki yang besar mulutnya. Buktinya, ia masih terdiam mematung menatapku.

"Minum." Perintahku sambil menahan tawa.

Tapi ternyata Singto belum tumbang juga. Tanpa peringatan, ia langsung merampas botol soju dari meja dan menenggaknya dengan gegabah.

"Hey, kau seharusnya minum satu—"

Tak mengindahkan perkataanku, ia langsung pertemukan bibir kami. Kecanggungan mulai terasa ketika ia tak melakukan apapun setelah itu. Bibir kami dibiarkan menempel begitu saja. Demi mematahkan keheningan itu, perlahan ia melumat bagian atas bibirku. Aku juga tak mau kalah. Wangi vanila pada bibirnya mulai terasa dalam lidahku.

"Okay." Isi kepalaku masih berantakan.

Tapi Singto seakan tak main-main. Ia seakan tahu betul apa mauku, bahkan sebelum aku mengucapkannya. Tak adil rasanya karena aku sama sekali belum bisa menebak apa isi hatinya. Apa ini benar-benar Singto yang kukenal? Atau karena pengaruh alkohol dan tekanan pikiran? Aku tak bisa memutuskan apa ia serius atau hanya bermain dengan perasaanku.

Atau mungkin hanya aku yang terlalu bodoh dan berfikir terlalu jauh?

"Kalau gak keberatan, aku bisa—" Singto menyentuh kemejaku perlahan.

Lalu ia terjatuh di sampingku. Tertidur begitu saja mungkin karena pengaruh alkohol yang ia tenggak tadi. Aku tersentak kaget. Bahkan matahari saja belum enggan pergi. Tapi tak apa. Jadi aku memutuskan untuk menghabiskan siangku dengan ikut tertidur di sampingnya

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang