34. Ujung Kehidupan

1.1K 183 7
                                    

Ujung kehidupan itu...

Ternyata berwarna putih?

Kupikir akan gelap, berlorong-lorong, lalu dipenuhi oleh hantu. Tapi sepertinya itu karena aku yang terlalu banyak nonton film horor. Buktinya, sekarang yang kulihat hanya putih.

Dingin menusuk tubuhku. Pandangan terasa berputar. Suara menyebalkan itu juga malah membuatku merasa begitu kebingungan. Di mana kedamaian yang kunanti?

Terakhir kuingat diriku mulai pusing dan mengantuk. Persis lelahnya ketika habis masturbasi di depan kamera kemarin, mungkin lebih berat. Nafas juga mulai tak karuan kala itu. Kurasa begitu cara obatnya bekerja. Jadi ada baiknya kubawa tidur dan sekarang aku ada di sini.

Apa sekarang aku ada di masa depan? 2050? Mesin waktu sudah rampung?

Aku terkesiap. Kemudian merasakan ada sesuatu yang janggal tersangkut di hidungku. Astaga, tempat apa ini? Mungkin begini cara manusia bernafas di era serba canggih.

"Krist?"

Tubuhku gemetaran. Laki-laki asing itu semakin mendekatiku, mengobservasi tubuhku tanpa ragu, kemudian menulisnya di catatan kecilnya. Kini aku sendirilah yang jadi bahan penelitian orang lain. Apa aku sudah reinkarnasi? Hidup dalam karma yang kuciptakan sendiri?

"Bagaimana perasaannya sekarang?" Tanya laki-laki berjubah putih itu.

Aku menggeleng ketakutan, "Aku— Aku gak mau jadi android!! Apa ini?!"

Badanku terlalu lemah untuk dibawa amuk. Jadi hanya kepalaku saja yang sanggup. Kulihat kanan dan kiri. Kasur putih, tirai hijau, jarum infus, tempat yang tak lagi asing. Aku seperti pernah datang ke sini. Menjenguk tanteku yang baru punya bayi.

Hening.

"Oh." Aku menarik nafas lega meski masih ketakutan.

"Istirahat dulu." Perempuan yang kukenal baik itu mengelus rambutku. Tentu bagaimana aku bisa lupa dengan kakak sendiri? Tapi aku diam saja, menatapnya dingin seakan aku tak pernah mengenalnya.

Mengikuti perkataannya, aku merebah kepalaku di bantal. Tak seempuk di kamarku. Aku menghela nafas. Ada sekelibat rinduku pada rumah. Mau bagaimana pun juga, aku tumbuh besar di sana. Setiap sudutnya memiliki kenangan manis masing-masing. Aku juga rindu seisinya, sebelum masalah ini datang merusak.

Rasa sakit semalam benar-benar membuatku hampir gila. Berteriak sekeras apapun tak akan membantumu sama sekali. Berulang kali aku membayangkan betapa ironisnya jika aku mati sendirian. Aku sempat menyesal. Namun ketika memori itu seperti diputar kembali, lebih baik kutarik lagi ucapanku.

Hingga akhirnya 'hari esok' yang kutakuti berubah juga. Aku sedang tidak dipermalukan di sekolah sekarang. Tapi bukan berarti aku masih ingin hidup.

"L?" Panggilku.

Ia yang berusaha kuat mendongakkan kepalanya.

"You know that I'm not sorry, right?" Ujarku dengan tenang.

Kemudian dia menangis lagi. 

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang