12. get well soon

1.4K 210 4
                                    

Aku menopang dagu sambil menatap ke luar jendela kelas. Tak sabar menunggu tujuh menit lagi hingga akhirnya jam istirahat datang. Miris rasanya melihat buku catatanku yang masih kosong karena. Bahasa Inggris bagaikan dongeng sebelum tidur yang sama sekali tak kupaham artinya. Mungkin aku akan pinjam catatan Nam saat dekat ujian nanti.

"Nanti mau foto catetannya ya?" Bisikku pada Nam yang sedang sibuk menulis.

Nam menoleh, "Pacaran mulu sih!"

"Enggak ya." Aku membantah ucapannya. "Belum pacaran tau."

"Belom pacaran aja udah bucin." Balas Nam sambil melanjutkan catatannya.

"Terima kasih atas perhatiannya." Ujar Pak Lee sebelum akhirnya keluar kelas.

Isi kelas perlahan ikut berhamburan keluar. Nam masih sibuk menutupi catatannya yang rumpang. Aku hanya menatapnya dengan tatapan sebal. Perutku sudah keroncongan karena belum sempat sarapan. Terlambat sekolah di hari senin memang sudah menjadi hal yang biasa, apalagi jika habis bermain game semalaman.

"Gue tinggal deh." Aku beranjak dari kursiku.

"Sabar dulu sih!"

"Keburu pingsan gue nungguinnya." Keluhku kesal.

Seseorang tiba-tiba masuk ke kelas. Aku yang duduk membelakangi pintu tidak memerdulikannya. Mungkin itu hanya seseorang yang ketinggalan dompet. Jadi aku kembali menopang bahu sambil menatap Nam melanjutkan catatannya.

"Halo."

Suara yang begitu familiar itu muncul kembali.

"Kak?" Aku menoleh dan langsung memasang wajah bingung. "Ih, ngapain ke sini?"

"Oh, Kak Singto." Nam langsung meronggoh isi tasnya lalu mengeluarkan setumpukan buku tebal. "Ini titipan dari Pak Robin."

"Makasih ya." Kini giliran Singto yang menatapku dengan tatapan mengejek. "Jangan GR."

Rasanya aku ingin hilang saja dari sini. Lagipula mana aku tahu kalau Nam pernah berhubungan dengannya? Justru Nam yang selalu mengejek Singto. Sekarang malah... entahlah— meminjam buku dari kakak kelas yang ia benci?

"Oh iya." Nam merangkulku. "Ini Krist, sahabatku."

Singto hanya tersenyum, "Akting lu jelek banget. Krist sudah cerita apa saja tentang gue?"

Aku langsung menggeleng dengan panik mengisyaratkan Nam untuk tidak membuka mulutnya. Untung saja ia hanya membalas pertanyaan Singto dengan senyum. Aku masih belum bisa paham apa yang sedang ia rencanakan. Kemarin ia mendekati kakakku dan sekarang sahabatku?

"Kamu udah cerita tentangku ke dia?" Singto tersenyum.

"Ya!" Balasku dengan nada kesal. "Tapi belum ke yang lain. Jadi bisa gak itu mulut gak usah ember begitu?!"

Aku meninggalkan mereka ke luar kelas sambil membanting pintu. Perasaanku benar-benar campur aduk. Senang, sedih, takut, panik, dan perasaan lain yang tak teridentifikasi. Memang benar aku begitu menyukainya. Tapi kurasa tak semua akan orang paham dan mengerti perasaanku.

"Krist—" Panggil Singto dari dalam kelas yang kuabaikan.

Apa ia paham kalau yang kami hadapi ini bukan masalah percintaan biasa? Memang cinta seharusnya tak punya batas, namun banyak orang yang masih membuat aturan mengenainya. Menerima apa yang kuanggap 'beda' selama ini masih menjadi tantangan terbesar bagiku.

"Ayo." Marcel yang entah dari mana tiba-tiba menarik tanganku. "Rapat dadakan!"

Aku melirik arlojiku. Waktu istirahat memang masih lama. Meski begitu, tentu saja rapat ini akan menyita banyak waktu. Tapi melihat reaksi Marcel yang begitu panik membuatku mematung kebingungan. Jadi aku hanya mengikutinya saja masuk ke ruang klub.

Sesampainya di ruang rapat, Earn dan Tay ternyata sudah berada di sana. Wajahnya sama-sama panik namun juga kesal. Sepertinya hanya aku sendiri yang belum tahu apa yang terjadi.

"Ada apa?" Tanyaku heran.

Earn menunjuk ke arah setumpukan kertas di hadapanku. Perlahan aku melihat lembaran itu satu persatu. Rasa kesalku semakin menjadi-jadi. Kertas-kertas tersebut berisikan berbagai bukti percakapan dari seorang murid yang mengaku menjadi korban dari kekerasan seksual.

Kebanyakan dari mereka bercerita mengenai kejadian traumatisnya selama menjadi murid baru di sini. Tidak ada salah satu dari mereka yang menyebutkan nama pelaku. Kemungkinan besar mereka sudah diancam ini dan itu.

"Ini harus dibahas di tulisan kita." Ujarku sambil menahan marah. "Mungkin orang-orang pikir ini cuman cerita seks belaka, tapi ini pemerkosaan!"

"Iya tapi sumbernya dari mana? Bukti chat doang?" Bantah Marcel.

"Ini emang dapet dari siapa?" Tanyaku.

"Klub gue." Jawab Earn. "Girl Movement."

Aku berjalan mendekati Earn, "Lu yakin ini beneran kejadian?"

Earn mengangguk pasti.

"Tulis!"

"Hey, ini sebenarnya gue atau lu sih ketuanya?!" Marcel berteriak.

"Lho, emangnya kenapa?" Tanyaku sambil melipat tangan. "Ini darurat, Cel. Lihat udah berapa korban di sini!"

"Lah, kenapa jadi gegabah?" Balas Marcel. "Kita ini belum ada data konkrit, Krist!"

Aku duduk sambil mengacak rambutku dengan penuh frustasi. Nafasku seketika sesak demi menahan tangis. Berbagai memori yang sudah terkubur lama tiba-tiba terpancing untuk muncul kembali. Rasanya sudah lama sekali aku merasakan ini. Berbagai usaha sudah kulakukan untuk melenyapkannya tapi semua seperti sudah melekat dalam pikiranku.

"Argh." Aku mengerang karena perutku yang seketika terasa perih. Tubuhku terasa kaku dan keringat dingin mulai membasahi dahiku. Seperti sebuah peringatan jika aku belum makan sejak kemarin malam.

"Krist." Earn langsung menghampiriku. "Kenapa?"

Mulutku seakan terkunci. Rasa sakit seakan mengambil alih seluruh tubuhku. Marcel dan Tay ikut menghampiriku dengan perasaan panik. Aku hanya bisa diam sambil sibuk memaksakan diri agar tak terlihat lemah.

"Kita ke UKS ya?" Marcel mengenggam tanganku yang dingin.

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang