32. Dor! Dor!

1.2K 197 21
                                    

Trigger Warning(s) : Self harm, Suicide, Rape

-------------------------------------

Memori itu kembali lagi.

Setelah lama kupendam. Percuma saja.

Tentu saja aku tidak bodoh. Satu dunia pun tahu kalau aku sedang diperkosa kala itu. Tapi jika aku bercerita, memangnya siapa yang akan peduli? Tentu tidak ada yang percaya kalau perempuan bisa memerkosa laki-laki. Kurasa yang ada justru aku yang ditertawai, bahkan ditanya 'kenapa kau tidak menikmatinya saja?'.

Ha.

Siapa yang tahu kalau kejadian tujuh tahun silam menimbulkan trauma yang begitu dalam? Membuat pandanganku pada perempuan seketika berubah drastis. Benar memang adanya kalau aku diciptakan bukan untuk perempuan.

Lucunya, aku tak lagi berteriakkala memori itu datang seperti yang terjadi di kamar mandi kemarin. Mungkin karena banyak hal buruk terjadi padaku hari ini. Mengingat aku sudah membuat ibuku menangis, memori ini terasa seperti tak ada apa-apanya.

Tapi bukan berarti aku baik-baik saja. Perasaanku tetap amburadul. Justru malah merangsang memoriku yang dulu sering melukai diri sendiri dengan cutter. Lalu beralasan pada ibu kalau ada kucing nakal yang melakukannya.

Sempat kuberi satu kesempatan lagi pada kehidupan. Berharap Tuhan bisa mengembalikan kebahagianku kembali. Tentu saja anak yang baik akan dikabulkan doanya.

Benar, hampir lupa kalau aku ini anak gundik. Lahir dari sebuah kesalahan dan membawa petaka bagi keluarga. Pantas saja aku hanya mendapatkannya sementara. Aku lahir sebagai karma.

Hatiku sudah terlalu sakit. Aku memukul-mukul dadaku, berharap jantungku bisa berhenti bernafas. Kurasa itu lebih baik daripada harus memikirkan bagaimana esok terjadi. Pastilah aku ditertawai habis-habisan oleh mereka. Ibuku juga tak lama pasti akan membuangku.

Kehidupanku tak akan jauh berbeda dari anak pak sopir kemarin. Hilang. Tak tahu jejaknya.

Aku melirik ke arah meja belajar. Tersenyum melihat pistol air berwarna hijau tergeletak manis di sana. Ah, kapan terakhir aku memainkannya? Pasti bahagia sekali aku kala itu. Aku ingat aku membelinya saatku kelas dua SMP. Iseng saja. Agar L berhenti mengangguku yang sedang berkhayal dengan Zac Efron.

Jika saja itu pistol betulan.

Apa sebaiknya aku kabur saja? Toh, aku juga bukan bagian dari keluarga ini. Aku melirik pelan ke arah jendela. Tidak, tidak. Lebih baik aku tidur saja dan tak pernah keluar kamar. Tapi sampai kapan aku terus menghindari tatapan mereka? Kamarku juga berada di lantai satu. Melompat dari sini tak akan mematahkan kakiku.

"Baiklah." Aku mendengus kesal lalu mengambil dompet dan pistol air bersamaku. Ponsel seakan tak berguna lagi.

Sama dengan aksi lompat pagar tadi. Semua ini dimodalkan nekat saja. Jangankan melompat pagar, dulu tes olahraga lompat kuda-kuda saja aku sudah ketakutan setengah mati. Memang benar adanya sesuatu yang dinamakan the power of kepepet.

Ibu dan L sepertinya tak menyadari suara yang kuhasilkan demi keluar dari rumah. Mereka pasti sudah tertidur karena energinya terpakai habis demi emosi. Tak apa, setidaknya besok mereka tak perlu lagi berhadapan denganku.

Perutku keroncongan. Benar. Sesuatu yang masuk ke mulutku terakhir kali adalah asap rokok. Pasti sebentar lagi maagku akan kambuh. Bisakah seseorang mati karena sakit maag? Belum tentu. Kurasa aku hanya akan dapat rasa sakit yang luar biasa tapi tidak mati.

Lalu di mana letak serunya?

Toko kelontong dekat rumah ternyata masih buka. Buru-buru aku masuk lalu mengambil sebuah roti isi dan air mineral di rak pendingin. Tudung hoodie sengaja kunaikkan agar tak ada yang dapat mengenaliku. Ah, menyebalkan sekali.

"Kau terlihat kurang tidur." Sapa penjaga kasir yang sudah paruh baya itu.

Aku hanya memamerkan senyum lalu melihat pantulan diriku sendiri di kaca. Betul juga. Wajahku terlihat begitu lesu. Aku butuh tidur. Mungkin lebih lama dari biasanya. Nyaman juga ternyata membayangkan bagaimana rasanya larut ke alam mimpi tanpa ada siapapun yang menganggu. Aku bisa mengatur sendiri kebahagiaanku dan melupakan segala yang buruk.

Hey, apa aku bisa begitu? Tertidur selamanya?

"Ibu benar." Balasku yang tadinya enggan menjawab. "Di sini jual obat tidur?

Ia mengangguk lalu memberikanku satu strip pil berwarna putih. Isinya tak begitu banyak, hanya enam. Bagaimana ini bisa membawaku ke alam mimpi? Aku tak ingin langsung terbangun esok paginya.

"Aku ambil dua strip. Jadi berapa semuanya?"

***

Aku tersenyum melihat pistol air hijau yang kugenggam di tanganku. Dari jauh pistol mainan ini memang tak bisa membunuhku. Tapi jika kau berfikir lebih jauh, semua hal di dunia ini bisa mencabut nyawamu. Memang tidak serta merta membunuh, tapi setidaknya aku bisa memecahkan teoriku kali ini.

Taman kota saat malam tidak semenyeramkan yang kupikirkan. Sepertinya hantu juga enggan mendekatiku. Lebih baik dia mencari mangsa yang lain saja. Aku lebih takut akan hari esok dibanding melihat mayat tanpa kepala.

Aku merebahkan punggungku ke kursi taman. Mengarahkan pistol air ke arahku. Menekan pelatuknya hingga air menyembur ke wajahku. Reflek aku tertawa. Jika saja aku betulan mati tertembak di taman, sepertinya tak ada lagi yang berani membawa anaknya bermain ke sini.

Obat tidur. Pistol air. Apa jadinya?

Perlahan aku membuka strip obat tidur dan memasukannya ke mulutku satu persatu. Aku harus bergerak cepat sebelum mereka melebur meninggalkan rasa pahit. Sebelah bibirku terangkat ketika melihat pistol air penuh kenangan itu.

Sebentar lagi ia akan jadi barang bukti tertembaknya seorang anak SMA.

Dor.. Dor..

Ujung pistol sudah masuk ke dalam mulutku. Berkali-kali aku tembakkan pelatuknya seraya menelan air yang mendorong butiran-butiran itu masuk ke dalam tubuhku.

Tertawa dalam ironi pilu. Menertawakanku yang tak sanggup membeli peluru. Toh, nanti juga hilang juga nyawaku.

Aku tersenyum. Merasakan semua pil perlahan menjamahi tubuhku. Aku menarik nafas yang banyak selagi aku masih melakukannya. Sebentar lagi aku akan tertidur lelap. Melupakan segala masalah di belakangku.

Ah, rasanya aku ingin berdansa! Merayakan kebebasan yang kudapatkan sebentar lagi. Kira-kira apa yang akan aku dapatkan di sana? Ujung kehidupan yang tak pernah terpikirkan. Mungkin akan membosankan. Tapi setidaknya lebih baik daripada menderita di sini.

Singto, Nam, Marcel, Tay, teman-teman yang lain...

Apa mereka akan merindukanku? Oh ayolah Krist, berhentilah bersikap narsistik. Tentu saja tidak! Setelah kejadian tadi mereka sudah mengecapku sebagai teman yang memalukan.

Kurasa aku tak lagi beban yang kubawa.

Selamat tidur, kawan.

---------

Author's Note :

AKU GAK MEROMANTISASI SUICIDE ATTEMPT, OKAY?

Tentu aku sudah taruh trigger warnings di awal. Jadi untuk teman-teman yang merasa terganggu, it's okay to seek help. Kamu gak lemah dengan kamu meminta tolong. We can get through this together !

GET HELP :

GET HELP :

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang