18. Oh, Figure Skating!

1.2K 202 2
                                    

Nam menarik tanganku masuk ke gedung yang terlihat asing. Letaknya memang tak jauh dari sekolah, tapi aku seperti belum pernah lihat sebelumnya. Suasana dingin perlahan menggelitik tubuhku, bukan dingin mencekam memang. Tapi untung saja Nam mau meminjamkanku sweater biru mudanya. Setidaknya aku bisa merasa lebih hangat.

Kami saling bertatapan, "Jangan bilang lu belum pernah ke sini?"

"Emang belum." Balasku singkat.

"Selamat sore, Kak." Seorang laki-laki muda menghampiri kami. "Mau ikut join kelas atau sekedar main aja?"

"Oh." Perhatian Nam seketika teralihkan. "Kami mau jemput sepupu saya. Jadi kita bisa tunggu di sini aja kok. Sambil liat-liat."

Laki-laki yang ternyata bekerja di gedung ini hanya tersenyum lalu meninggalkanku dan Nam. Aku mendekati sebuah arena besar yang ternyata menjadi sebab dari dinginnya gedung ini. Sebuah lantai es besar yang dikelilingi kaca tembus pandang. Dari balik kaca aku melihat banyak orang berjalan di atas es, atau mungkin lebih tepatnya meluncur?

Oh, jadi ini yang dimaksud Nam.

"Mana sepupumu?"

Nam melirik, "Kayaknya dia lagi gak masuk kelas deh hari ini."

"Okay." Aku mengangguk, masih fokus melihat ke pemandangan yang membuatku berdecak kagum. Kenapa aku baru tahu ada hal semacam ini di kota kecil?

"Tapi kayaknya kita ke sini bukan untuk itu."

Sekarang ucapannya mulai menarik perhatianku.

"Dia." Nam menunjuk ke arah kiri ice rink.

Perhatianku langsung terfokus pada apa yang ditunjuk Nam. Sosok yang tentu sudah aku kenal betul. Jaket dan celana training hitam menyelimuti tubuhnya. Ia tertangkap beberapa kali tersenyum sambil berbincang dengan teman sebayanya. Dingin es seakan tak lagi terasa.

"Singto." Aku menyebut namanya pelan. "Lu bawa gue ke sini buat dia?"

"Buat buktiin kalo lu tuh bego banget! Masa main figure skating pake skateboard."

"Enak aja."

Kami berdua tertawa.

"Kak Nam!" Suara seseorang memanggil kami dari belakang.

Ketika kulirik, seorang anak perempuan berkuncir kuda berdiri sambil memamerkan giginya yang dikawat. Nam bersorak kegirangan dan langsung memeluknya. Melihat kedekatan di antara mereka, aku bisa mengira dia sepupu Nam.

"Jesslyn!" Nam masih heboh memeluk sepupunya. "Tumben kamu telat?"

Jesslyn tersenyum, "Karena mau ada latihan lomba, jadwalku jadi digeser. Jadi digabung sama kakak-kakak yang lain. Katanya biar lebih mudah koordinasinya."

"I see." Nam mengangguk.

"Jess, ayo latihan! Udah ditungguin yang lain."

Perempuan cantik dengan rambut coklat muda menghampiri kami bertiga. Wajahnya sungguh familiar bagiku, seperti pernah melihatnya beberapa kali. Tapi sungguh, jika aku punya kesempatan untuk dilahirkan kembali, bolehkah aku memilih untuk lahir menjadi dia? Setengah masalah hidupku pasti akan hilang.

"Mukanya kayak pernah liat." Ujarku pada Nam setelah mereka berdua pergi.

Nam menghela nafas heran, "Ya itu kan Chloe, anak kelas dua belas."

Pantas saja familiar. Tapi kenapa aku seperti tidak mengenalnya? Seharusnya perempuan seperti Chloe jadi anak populer di sekolahku. Namanya pasti akan selalu terdengar di setiap sudut sekolah.

"Makanya isi otak lu tuh jangan Singto doang." Balas Nam dengan nada menyindir. "Dia kinda populer kok! Gue sering liat dia ikut lomba figure skating, jarang menang sih. Makanya mungkin jarang dipanggil kedepan."

"Hmm..." Aku memegang dagu. "Figure skating itu lombanya sendiri-sendiri?"

"Ya gak juga." Nam seperti sudah pasrah dengan pertanyaanku. "Ada yang sendiri, group, sampai couple juga ada."

"Oh. Gue pikir kayak hocke—" Tiba-tiba aku merasa ada yang aneh dari ucapan Nam. "HAH?! Couple tuh maksudnya kayak berdua gitu?"

"Iya." Nam juga seketika menyadari ucapannya.

Aku dan Nam langsung kembali berfokus ke ice rink. Betul dugaan. Senyum hangat Singto ternyata juga ia bagi ke perempuan cantik tadi. Aku tidak cemburu, lagipula untuk apa? Singto kan memang orang yang ramah dan murah senyum. Mereka hanya kolega. Itu saja.

Sepuluh menit berlalu aku melihat mereka saling bertukar kata. Tak tahu pasti apa yang sedang mereka bicarakan. Tapi aku melihat ada tawa di situ. Percakapan itu pasti menyenangkan hingga mereka mengabaikan apa yang harusnya menjadi perhatian.

Singto berdiri dan mengulurkan tangannya, seperti mengajak Chloe untuk berdansa. Chloe yang baru siap dengan sepatu berwarna pink terangnya mengambil uluran tangan Singto bak seorang putri kerajaan.

Baru saja besi pada sepatu mereka menyentuh es, kulihat mereka sudah sangat familiar dengannya. Tubuh mereka bawa bergerak ke sana kemari seakan hanya ada mereka berdua di sana. Sesekali Singto mendekat pada Chloe, mengunci pinggang perempuan itu agar terus berada di dekatnya. Chloe pun seakan tidak keberatan dengan jarak di antara mereka.

"Baiklah." Aku berbalik badan dan jalan ke arah pintu keluar. "Gue laper."

Merasakan hal yang aneh, Nam buru-buru mengejar langkahnya agar bisa berjalan berdampingan denganku. Ia tak berkata apa-apa setelahnya, mungkin takut salah. Perasaanku pun masih tak jelas. Apa hal ini yang membuat Singto ragu untuk mengubah status kami?

Beep Beep

L : Pulang!! Cepet ga pake lama

Krist : lah kan udah izin sama ibu?

L : Bukan itu masalahnya

L : Lu nyimpen apa aja sih di meja belajar lu?

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang