13. Bubur Dingin

1.3K 226 13
                                    

"Udah tau punya maag, sok-sokan pake acara gak sarapan." Marcel duduk di sebelahku sambil membuka sebungkus roti. "Kambuh kan jadinya."

Ruangan UKS terasa lebih dingin dari yang kuingat. Sudah lama sekali aku tak kemari. Mungkin terakhir saat aku pingsan saat upacara penerimaan siswa baru yang lagi-lagi karena terlambat makan. Terkadang aku kesal mengapa tubuhku tidak bisa berkompromi walau sebentar saja.

"Kit?"

Suara itu datang lagi. Singto yang entah datang dari mana menghampiriku sambil membawa sebungkus makanan. Wajahnya terlihat begitu panik menatapku. Aku berusaha tidak menggubrisnya. Setidaknya aku tak ingin membuat Marcel mengira yang tidak-tidak.

"Jangan makan roti!" Ia merebut sebungkus roti di tanganku. "Ragi dalam roti bisa bikin perut kamu makin sakit."

"Oh."

"Hey." Singto menatap ke arah Marcel. "Lu dari kelas 12.2 kan? Tadi gue liat Pak Robin masuk ke kelas."

Marcel membalas dengan tatapan sinis, "Terus lu sendiri gimana? Kok gak masuk kelas?"

"Oh, gue mau pergi lomba nih sebentar lagi." Jawabnya sambil tersenyum tenang. "Jadi gue bisa gak ikut pelajaran."

Suasana menegangkan itu akhirnya berakhir tepat saat Marcel menutup pintu UKS. Sekarang aku hanya berdua dengan Singto. Rasa canggung kembali hadir menggantikan. Singto menggenggam tanganku, memastikan bahwa aku baik-baik saja.

"Eh, barusan tadi aku gak ngelakuin kesalahan apa-apa kan? Gak salah ngomong kan?"

Aku menggeleng. Perasaan tak enak itu kembali muncul. Aku merasa bersalah sudah bersikap kasar padanya barusan.

"Kalau gitu kamu harus makan sekarang! Tadi udah minum obatnya kan?"

Ia membongkar bungkusan makanan yang ia bawa. Aku melirik penasaran. Uap dari bubur seketika mengepul ke wajahku. Lucu sekali. Ia begitu paham betul mengenai ragi dalam roti yang membuat perutku semakin sakit. Namun tetap meracuniku dengan wadah styrofoam.

"Ayo makan." Singto mengarahkan sesuap bubur ke mulutku.

Seakan tak ada pilihan lain, aku membuka mulutku dan membiarkannya menyuapiku. Lidahku seketika mati rasa tepat setelah bertemu dengan suapan tadi. Aku berteriak sambil menahan panas. Bodoh. Mana bisa menyaingi adegan klise di film romantis jika lawan mainmu saja lupa untuk meniup makanan?

"Eh, maaf-maaf." Buru-buru ia mengambil segelas air di dekat kasurku. "Ini minum!"

Seteguk air meluncur menenagkan lidahku setelah setengah mati menelan bubur rasa neraka itu. Masih terasa kebas memang, mungkin akan hilang besoknya. Aku menghela nafas mengingat kebodohan yang Singto buat barusan.

"Aku gak pernah nyuapin orang." Ujar Singto terkekeh.

Seketika kupukul bahunya, "Emang kakak kalau makan gak ditiup apa?!"

"Ditiup sih." Balasnya dengan tenang dan masih tersenyum. "Maaf ya?"

Ucapannya membuat hatiku langsung luluh. Jarang sekali aku mendengar seseorang mengakui kesalahannya alih-alih mencari pembenaran, apalagi yang sekadar kesalahan kecil. Ditambah dengan senyum tulus saat mengatakan 'kata ajaib' itu membuatnya terlihat begitu sempurna.

Hatiku semakin berteriak kencang menuntut sebuah nama. Rasanya seperti jatuh dari ketinggian dan tak tahu akan mendarat di mana.

Aku mengangguk, "Iya. Gak apa kok."

Singto kembali menyuapiku. Kini ia benar-benar mempelajari kesalahannya. Terlihat sedikit berlebihan memang. Terhitung butuh sekitar satu menit lebih hanya untuk sesuap bubur. Ia meniupnya berulang kali sampai uapnya tak muncul lagi. Tak hanya itu, sesekali ia menggunakan ujung bibirnya untuk memastikan lidahku tak melepuh lagi.

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang