Mari kita sambut Singto Prachaya sebagai bentuk apresiasi untuk siswa berprestasi.
Juara satu Interschool Debate Competition
Juara satu Pidato Singkat SMA Nasional
Juara satu Cerdas Cermat Tingkat SMA Regional
Peringkat tiga nasional dalam Olimpiade Matematika na—
"Wah, tumben banget cuman peringkat tiga? Haha." Bapak tua berperut buncit itu tertawa terpaksa. Senyumnya seakan menutupi rasa kesal pada anak SMA di sebelahnya.
Yang ternyata anaknya sendiri.
Aku menatap koneksi hubungan mereka dari jauh. Memandangi laki-laki yang kerap hadir di panggung sambil terbenam dalam segala jenis prestasi yang membosankan. Kali ini rasanya berbeda. Tidak seperti bulan-bulan lalu di mana aku hanya penonton, meski sepertinya aku tetap saja membuatnya gugup.
Tapi sekarang kami bisa bertukar pandang. Ia menyadari keberadaanku sambil curi-curi melempar senyuman, berharap tidak ada yang sadar. Meski kini aku tidak bisa berpura-pura mendengarkan ocehan Marcel soal rapat saat istirahat nanti.
"Asik bener ya punya pacar orang pinter?" Bisik Nam sambil menyikutku.
Dahiku langsung mengkerut, "Gak."
"Gak pinter gimana? Jelas-jelas—"
"Kita gak pacaran, okay?" Potongku dan langsung kembali fokus ke arah panggung.
Benar juga. Setelah apa yang aku dan Singto lalui kemarin, sama sekali tidak terpikirkan bagaimana nasib 'judul' hubungan kami. Aku juga yang terus membiarkan Singto menerka sendiri. Entah tidak ada nyali atau bagaimana. Kami seperti belum siap.
Fokus, Krist.
Rencana Tay kemarin sudah kami susun sedemikian rupa. Kami berkumpul sampai larut malam dan memastikan semua berjalan lancar. Meski kami tahu kalau paling tidak kami akan bernasib sama dengan Marcel. Dia sudah benar-benar diskors sekarang! Gila. Tapi semua pekerjaan ada resikonya, kan?
"Selamat pagi. Kalian pasti capek ya lihat saya di atas sini? Tenang, saya juga kok." Singto memamerkan senyum canggungnya. "Berhubung ini akan menjadi kali terakhir saya naik ke panggung, saya diminta dari guru untuk melakukan final speech."
Tidak ada guru yang meminta sebenarnya. Hanya dia yang pandai berbohong. Guru-guru juga tidak ada yang keberatan. Anak emas ini memang sudah dianggap spesial.
"Sebenarnya ada beberapa bagian saya ubah biar gak formal-formal amat." Ia mengeluarkan selembaran kertas catatan dari sakunya, jaga-jaga jika ada kalimat yang salah.
"Kemudian saya tambahkan multimedia juga." Ia melambaikan tangan, seakan memberi kode kepada dua temannya. "Pasti temen-temen bakal bosen kan kalau denger saya ngoceh doang?"
Seketika Earn dan Tay langsung paham akan tugasnya masing-masing.
"Gak apa ya, Mr. Pawarit, kalau saya minta bantuan dari teman saya?"
Bapak tua itu mengangguk, meski sebenarnya kurang yakin. Tapi kurasa tidak akan timbul kecurigaan. Earn dikenal sebagai murid 'polos' yang tidak pernah neko-neko dan Tay juga yang bagian dari MPK sekolah.
Untung saja aku tidak ikut dengan mereka. Dia tentu sudah mengenalku, bahkan sampai sempat diterornya.
Tak mau membuat murid-murid bosan, Tay dan Earn langsung buru-buru menghubungkan laptop ke layar proyektor yang berada di belakang Singto. Tidak ada kesulitan. Mungkin Tuhan sudah muak betul dengan keadaan ini hingga Ia berpihak pada kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]
أدب الهواةSetiap orang pasti punya kekurangan. Entah mereka menguburnya dalam-dalam atau justru menjadikannya sebagai ajang untuk mencari perhatian. Percuma saja sebenarnya. Bagaimana pun cara mereka menyikapi kekurangan itu, pada akhirnya akan terendus juga...