42. Julie 2.0

1K 178 12
                                    


Tay dengan semangat membukakan pintu untuk perempuan pujaannya itu. Memang tidak ada rasa takutnya manusia yang satu ini. Padahal membawa pacar ke rumah, apalagi dengan rentang umur yang jauh berbeda begitu, bisa mengundang omongan orang lain.

"Sini." Ia menarik tangan Julie yang masih malu-malu. "Yuk, gabung aja sini."

Mendengar itu, Marcel dan Earn langsung saling bertukar tatap denganku. Mengingat kejadian setelah pesta barbeque kemarin. Ketika Julie yang entah dari mana bisa tahu namaku.

Sebenarnya aku juga sudah tidak begitu memikirkannya lagi. Aku berfikir kalau ia memang sengaja mencari tahu soal teman-teman Tay di sekolah. Toh, semua laki-laki memang brengsek kan? Apalagi Tay. Jadi ada benarnya juga dia berjaga-jaga.

Tapi aku melihat L begitu kaget melihat sosok Julie. Wajahnya seketika merah padam. Tunggu. Apa yang terjadi? Apa Julie ternyata perempuan yang merebut kekasihnya? Tapi dia kan sekarang sudah bersama Tay.

"PELAKOR!!" Buru-buru ia beranjak dari sofa dan langsung menjambak rambut Julie. "HIDUP GUE JADI SUSAH GARA-GARA LU! DASAR PERUSAK RUMAH TANGGA ORANG! NGILANG AJA SEENAKNYA!!"

"Kak!" Aku dan Singto sigap menarik tangan L yang sudah seperti orang kesetanan. "Apa sih? Kenapa tiba-tiba marah begini?"

"Tenang dulu, Kak."

"DIBAWA KABUR KE MANA BOKAP GUE?!"

"Kamu—" Julie menatap L dan aku begitu dalam.

"Ini ada apa sih?!" Tanya Tay yang begitu kebingungan.

"DIA YANG UDAH NGERUSAK HUBUNGAN BOKAP NYOKAP GUE!"

Aku mengernyitkan dahu, "Salah orang kali, Kak."

"Gak mungkin! Mukanya sama aja kayak dulu pas dia masih jadi tukang cuci!" Teriak L kesal. "UDAH SELINGKUH, HAMIL DULUAN, GILIRAN UDAH LAHIR ANAKNYA DITINGGAL DI DEPAN RUMAH! DASAR GAK TAU DIRI."

Ucapan L tadi sukses membuat Julie menangis sesegukan. Badanku sukses gemetaran sampai Singto harus menopang pundakku. Pantas saja ia begitu mengenaliku, bahkan sampai tahu namaku.

Ternyata dia yang membuat pertengkaran hebatku dengan ibu kemarin? Dia yang membuat makan malam natal begitu menyeramkan. Membuatku tak pernah berani bicara sepatah kata pun pada nenek karena ia pasti akan memandangku rendah tanpa tahu sebabnya.

Aku memaksakan diri untuk berbicara di tengah nafasku yang sesak, "So, you are my... biological mom?"

Julie mengangguk. Terjawab sudah semua pertanyaan yang selama ini meresahkan mereka.

Begitu banyak kejutan kualami hari ini. Tapi kejadian ini, mungkin menjadi salah satu yang paling berpengaruh dalam sejarah hidupku.

"Aku tahu aku salah. Dan awalnya kupikir dengan kabur bisa menyelsaikan masalah begitu aja. Ternyata enggak! Rasa bersalah itu terus ada." Ia terisak. "But I love my son so much. Sampai bapak kamu nyuruh aborsi aja pun aku gak mau."

"Tapi ya ada benernya juga tau, Krist." Singto memotong. "Kamu kalau akhirnya tinggal sama dia, emang bakal bisa hidup begini? Atau malah lu bakal berakhir hidup kayak gue waktu kecil? Tinggal di panti."

"Hush!" Marcel menyikut Singto. "Gak sopan banget sih lu?"

"Bener kok." Julie tersenyum. "Hidup aku banyak jatuh bangunnya. Gak yakin kalau sambil bawa anak bakal gimana jadinya."

"Ya kan? Lagian gak relevan juga kalau kamu dibilang anak gundik, anak haram, dan lain-lain. Semua anak lahir tanpa dosa. Justru yang patut disalahin itu kelakuan orang tuanya." Balas Singto sambil mengangkat bahu.

Aku memeluk Singto. Kali ini ia benar. Aku selalu mengecap diriku sebagai pembawa kesialan. Padahal jelas-jelas ini sama sekali bukan kesalahanku.

"Sekarang kerja di mana?" Tanya L.

"Oh, aku sekarang punya usaha." Balas Julie sambil perlahan menghapus air matanya. "Lumayan sih, bisa memberdayakan perempuan-perempuan di sekitar situ."

Julie sudah benar-benar berubah sekarang. Tapi jika L tidak meneriakinya tadi, mana mungkin kita tahu masa lalunya? Memang sulit untuk diterima, tapi kurasa tidak ada pilihan lain selain kami yang harus berdamai dengan apa yang terjadi.

"Udah, lanjutin aja pacarannya!" Aku merasa tidak enak sudah menganggu Tay. "Asli. Maaf banget ya, Julie sama Tay, tadi udah ngerecokin."

"Gak apa." Julie tersenyum. "Eh, aku duluan ya. Bye!"

Tay tidak menggubrisnya. Mungkin kelewat bingung dengan apa yang terjadi barusan. Tentu aku bisa paham jika kuberada di posisinya. Mungkin di mata Tay, Julie seperti wanita berumur tiga puluh yang punya karir cemerlang dan cocok untuk dibawa senang-senang. Kurasa Tay akan butuh waktu untuk memproses semua ini.

Dan ketika Julie akhirnya meninggalkan rumah Tay, tidak ada yang tahu kapan kami bisa melihatnya lagi. Bisa jadi ia kembali lenyap menghilang entah ke mana seperti delapan belas tahun lalu. Tapi justru itu yang membuatku lega. Jikalau Julie tidak meninggalkanku, mana bisa aku berdiri di sini?

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang