37. Sofa

1.1K 198 36
                                    

Trigger Warning : Rape

------------------

Fee cerita kalau keponakannya hilang begitu saja. Cerita dan teorinya juga tak masuk akal, seperti tertelan blackhole dan masuk ke dimensi waktu lain. Padahal kurasa itu akan lebih rasional kalau ia mengarang Victor sebenarnya kabur dan ikut aliran pemuja setan. Buatku, mesin waktu tak pernah ada. Kalaupun ada, aku berani menjual ginjalku untuk itu.

Tapi aku mengangguk saja. Mungkin ada yang salah dari isi kepalanya. Tapi aku tak bisa menghakimi karena aku juga 'sakit jiwa' sekarang. Kalau kita semua sehat secara batin dan jiwa, kami tidak memerlukan terapi ini.

"Singto itu butuh teman." Ujar Fee yang duduk menyandar tembok di sebelahku.

Aku menoleh, "Kayaknya dia emang gak mau punya temen."

"Mungkin dia jadi kasar begitu karena dia belum pernah punya teman dekat." Balas Fee. "Dia juga belum pernah sharing. Kasian aja, dia keliatan seperti bawa beban yang berat."

"Krist." Mark datang menghampiriku. "Nanti kita ngobrol ya?"

"Lagi gak mood. Gak apa kok kalo mau kasih tau soal yang tadi ke Kak Vera." Tolakku lalu beranjak pergi ke luar.

Beep beep

L : Di mana?

Krist : ???group therapy

L : Ok

Oke. Seperti tidak terjadi apa-apa.

Aku berjalan ke area luar belakang gedung. Suasanya berantakan seperti tak terurus. Tentu saja. Tempat ini kan tak kelihatan, jadi siapa yang peduli? Di ujung mata, aku melihat di sofa bekas kuno yang terpapar asal. Sepertinya seseorang baru saja membuangnya. Perlahan aku mendekatinya. Menghela nafas seraya aku menjatuhkan diriku ke sana.

Heran, seseorang seperti Singto saja ikut group therapy. Mana pula ia mengklaim kalau hidupnya sulit. Jikalau aku hidup sepertinya, mana pernah aku mengeluh? Dia seperti punya segala yang ia inginkan. Apartemen sendiri, keluarga kaya, nama baik, otak cerdas. Astaga, dia hidup bagaikan karakter fiksi di novel!

Apa lagi yang kurang?

"Oit." Singto yang entah dari mana muncul lalu duduk di sebelahku.

Bahkan pun aku belum mengeluarkan sepatah kata pun sejak aksi tarik emosi tadi. Tapi dia datang dan duduk di dekatku seakan tak tahu malu? Sinting.

Dia mengeluarkan kotak rokok dari saku celananya. Menaruh satu ke ujung mulutnya lalu kembali kesulitan meronggoh koceknya. Apa lagi kalau bukan korek yang dicari.

"Apa sih?!" Aku menyingkirkan tangan Singto, membantunya mengambil korek di saku celananya yang sebenarnya tidak begitu sulit. "Gini aja kok ribet!"

Ia tersenyum lalu mulai menyalakan rokoknya, "Gak apa ya kalau aku ngerokok?"

"Telat. Udah dibakar juga."

Singto menganguk.

"Bagi."

"Gak." Buru-buru ia memasukan rokoknya. "Bocah kok ngerokok."

"Lah, kita kan cuman beda setahun!" Ujarku sambil masih berusaha merebut.

Ia tersenyum, "Sorry ya yang tadi?"

"Lu kebanyakan minta maap." Aku mendegus kesal. "Capek gue dengernya."

Singto hanya mengangguk terdiam. Suasana kembali sunyi sambil melihat kepulan asap rokok yang perlahan hilang dibawa angin. Aku menatap wajahnya sesekali. Seketika teringat suasana ketika kami pertama bertemu. Jelas kontras berbeda, meski debar jantungku masih sama.

"Dulu waktu gue SD, gue pernah diperkosa." Singto seketika terkejut mendengar ucapanku. "Tapi ya... Gue gak pernah berani cerita. Ya lu harepin jawab kayak apa sih ketika denger cowok diperkosa sama cewek?"

Ia kembali menghisap rokoknya, "Pemerkosaan jenis apapun juga masih dipandang sebelah mata sama orang-orang, Krist."

"Bener." Aku mengangguk pelan.

"Kalaupun cerita, ya orang nganggep itu kayak cerita seks, skandal. Mereka cuman mau denger karena mereka pengen tahu, bukan—"

Perlahan aku mulai muak dengan sikapnya yang sok tau, "Lu tahu apa sih?"

Kemudian ia tak melanjutkan kalimatnya. Putung rokok di tangannya ia buang ke tanah lalu diinjaknya berulang kali. Kurasa ia akan 'meledak' sebentar lagi. Mungkin ini sebab kenapa ia butuh group therapy. Emosinya begitu sulit dikontrol.

Dan itu yang banyak orang tak tahu darinya.

Sebenarnya aku sudah menyiapkan berapa rencana kalau tiba-tiba Singto ingin memukulku. Mengingat ia belum sempat melakukannya tadi. Tapi ia malah bergeming sambil menarik nafas berulang kali seperti anjuran Mark padaku.

"Sekarang giliran aku yang tanya." Singto menoleh. "Kamu tau apa sih? Kamu kan taunya cuman aku orang kaya, hidup enak, bla-bla.. Ya kan?"

"Ya terus apa? Mau cerita kalo lu dulu pernah susah? Susah versi lu kayak apa sih? Belajar sampai jam dua pagi? Gue juga pernah! Emang lu dulu makan nasi akik? Enggak ka—"

"Orang tua aku pengedar, Kit."

Mulutku serasa dilakban. Langit terasa mulai gelap seperti cerita kita yang semakin dalam masuk ke bagian tak terjangkau. Ia kembali membakar rokok keduanya. Menghirup asapnya dalam-dalam seperti berusaha mengobati luka lama yang terkorek lagi.

"Gak inget juga sebenernya. Tapi pas sekitar umur enam, aku liat banyak polisi dateng. Terus ya udah mereka dibawa gak tau ke mana." Ujarnya. "Seneng juga sih. Daripada anaknya gak diurus? Untung cuman aku doang anaknya."

"Terus abis itu gimana?"

"Ya ditaruhlah aku di panti asuhan." Balas Singto sambil mengangkat bahu, pasrah. "Keluarga mereka juga gak tau kemana."

"Eh, tapi ini cerita serius kan?"

"Masa aku ngarang sih, Kitkat?" Ia mengacak rambutku kesal. "Ada mungkin aku 10 tahun di sana. Biasa aja sih. Paling berantem sekali dua kali. Ya namanya juga bocah, belajar dari ibu-bapaknya kan?"

Aku menatap heran, "Terus kok bisa kaya?"

"Nyolong."

"Anjrit?"

"Gak lah!" Singto tertawa. "Waktu SMP akhirnya ada yang mau angkat aku jadi anak. Ya aku pikir 'kok bisa gitu ya?' padahal kalau dibanding sama anak-anak yang lain— well, ya emang sih selalu ranking satu, langganan menang lomba MTK, juara satu lomba piano padahal gak punya piano."

Begitulah, Singto tetaplah Singto. Di tengah cerita begini saja ia masih sempat bersikap narsistik. Tapi toh, memang benar adanya. Jadi aku memilih untuk tak menjawab.

"Orang itu, yang sekarang jadi 'ayah' aku, bilang kalau aku ini pinter, Semacam gifted gitu. Lebay. Jadi dia mau nyekolahin aku sampai sukses. Kebetulan dia juga punya yang sekolah."

"Hah?" Aku menatapnya bingung. "Jangan bilang kepala sekolah itu aya—"

"Denger dulu!" Ia balas memotong ucapanku. "Awalnya emang enak hidup sama dia. Ini itu disediain. Tapi manusia pasti punya ego ya? Mana ada sih hari gini orang yang membantu tanpa pamrih?"

Sebenarnya aku percaya. Masih banyak orang yang ikhlas membantu manusia lain tanpa mengharapkan imbalan. Tapi ucapannya seperti memikul banyak trauma dibaliknya. Suaranya mulai bergetar dan matanya ikut berkaca-kaca.

"Istrinya stroke, gak bisa bangun. Aku yang bantu urusin ibu sampai akhirnya gak ada. Dan dia selalu bilang buat selalu bahagiain dia sama ibu. Okay, aku lakuin. Aku belajar, aku ikut lomba—" Bulir-bulir mata itu mulai jatuh ke pipi.

Aku menadah tubuhnya yang terjatuh lemas ke pundakku, "Kak?"

"Dia tuh emang baik banget sama gue. Tapi—ah anjing!" Singto berkali-kali memukul sandaran sofa tanpa henti. "Aku tuh anaknya, Kit! Anaknya!"

Kini pertama kalinya aku melihat Singto menangis. Perlahan aku mengusap punggungnya sambil berusaha menenangkan. Tapi seakan tak ada guna. Isak tangisnya makin keras sambil terus menghentak-hentakan kakinya ke tanah. Berharap sedih itu cepat hilang.

"Bukan malah jadi budak seks dia."

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang