36. Group Therapy

1.1K 186 10
                                    

Trigger Warning : Suicide

---------------------

Aku melirik arlojiku. Sudah genap satu jam aku berjalan kesana ke mari tanpa tujuan. Mau pulang pun gengsi. Sebenarnya apa yang sedang kucari? Tapi yang pasti aku tidak lagi merasa tenang di rumah. Emosiku pasti langsung memuncak.

Seketika aku teringat akan janji group therapy. Benar juga, kurasa ada baiknya aku ikut pada jadwal hari ini. Siapa tahu aku bisa lebih merasa tenang di sana, seperti yang Vera janjikan. Meski sebenarnya aku juga tak bisa membayangkan 'tenang' seperti apa yang akan kudapatkan ketika ditatap banyak pasang mata begitu.

***

"Halo." Seorang perempuan muda, mungkin sekitar 30 tahun, datang menghampiriku yang baru saja berdiri di depan pintu masuk gedung. "Kamu Victor kan? Ah, it's been a long time!"

Aku mematung gagu, "Eh, aku—"

"Sini masuk kita ngobrol sama-sama."

Tidak mau banyak berkomentar, aku diam saja ikut dengannya. Mungkin dia akan tahu namaku yang sebenarnya sepuluh atau lima belas menit lagi. Toh, dia juga yang akan malu sendiri. Tak tega juga aku mempermalukannya di depan orang-orang.

Ternyata aku masih punya hati juga. Ha, kukira sudah aku tinggalkan di taman kota.

"Kenalin ini Victor." Perempuan itu memperkenalkanku di depan peserta lainnya. "Dia keponakanku. Sudah lama banget aku gak ketemu dia. Ganteng ya?"

"Fee." Laki-laki itu menjawab seperti ia sudah lelah. "Setiap ada anak baru selalu kamu sebut keponakanmu. Liat deh, mukanya udah bingung gitu."

"Tapi Victor janji mau ikut group therapy."

"Tapi dia bukan Victor."

"Memangnya kamu siapa?"

Aku mendadak bingung, "Oh, aku baru join pertama kali. Terapisku yang menyarankan aku untuk ikut group therapy ini."

Mereka semua mengangguk, menandakan kalau aku masih baru baginya. Sepertinya mereka sudah mengenal satu sama lain sejak lama. Tentu bukan menjadi situasi yang menyenangkan bagiku. Rasa canggung seperti ini membuatku ingin pulang saja.

Mungkin ini kali terakhir aku ikut sesi 'ngobrol-ngobrol' tak jelas begini.

"Salam kenal!" Laki-laki itu tersenyum sambil diikuti oleh anggota yang lain. "Namaku Mark, aku konselor di group therapy ini. Mungkin nanti kita bisa kenalan sambil cerita—"

Pintu dibuka tiba-tiba, seperti seseorang mendobraknya dari luar. Semua mata tertuju padanya. Aku sendiri malas berbalik badan. Toh, aku juga tidak akan mengenalinya. Tapi terdengar nafasnya terengah-engah seperti habis berlari marathon.

"Maaf aku terlambat!"

Tunggu.

"Victor?"

"Fee, cukup." Panggil Mark pasrah akan sikap Fee. "Itu bukan Victor."

Percakapan mereka membuatku makin penasaran. Kenapa satu orang ini bisa membuat situasi group therapy seketika canggung? Belum lagi dramanya yang masuk mendobrak pintu tak jelas begitu. Bisa kutebak kalau orang ini pasti tak tahu diri dan menyebalkan.

"Akhirnya dateng juga si Simba ini!" Seseorang berseru kegirangan. "Udah lama banget lu gak kemari. Kemana aja?"

Dan benar.

"Krist?!"

Aku hanya menatapnya seakan tak kenal. Tapi ia seperti tak mau kalah. Jadi kami terus beradu mata. Berharap tiba-tiba aku bisa 'mengenalinya'. Sorot matanya tetap sama, begitu dingin namun menghangatkan. Bedanya kali ini aku tidak akan jatuh ke lubang yang sama.

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang