"Kalau lu mau rapat gue lagi gak bisa." Suaraku mulai serak.
Pertahahanku runtuh juga. Aku menutup wajahku seraya air mata mulai membasahi tanganku. Tak tega melihatku, Marcel langsung memelukku seperti menyelamatkan identitasku dari orang-orang yang lewat. Isakanku semakin terasa seperti rasa sakit yang dirasa dalam hati. Kalau kutahu begini rasanya, tak lagi aku menertawai L ketika patah hati.
Marcel mengelus rambutku, "Kita ke ruang rapat ya."
***
Sesampainya di ruang rapat aku juga masihi menangis di pundak Marcel. Terlalu banyak hal alasan yang harus ditangisi entah aku tak tahu harus berfokus ke mana. Tapi yang pasti aku merasa begitu bodoh karena sudah membiarkan Singto masuk ke kehidupanku. Seharusnya aku sadar diri kalau aku tak pernah bisa sampai ke hatinya. Aku bukan siapa-siapa, hanya orang bodoh yang banyak inginnya hingga jatuh ke dalam ekspektasinya sendiri.
"Kenapa, Krist?" Tanya Marcel. "Gue tau lu memang orang yang suka dipendem sendiri kalau ada masalah. Tapi siapa yang tega sih liat lu begini?"
Aku menggeleng, "Gue bego banget, Cel."
"Enggak... Enggak." Balasnya sambil kembali mengelus rambutku. "Lu tuh gak bego. Kalau lu bego, gak mungkin lu bisa gue pecaya buat masuk kl—"
"Bukan itu, Cel." Tangisku kembali pecah. "Gue bego banget soal cinta! Gue gak tau kalau gue dimainin selama ini. Gue bener-bener tolol sampai gue tungguin dia berhari-hari cari alesan kenapa dia marah cuman buat nemuin dia main sama cewek ke apart."
Tunggu, semoga ia tak dengar kalimat yang terakhir.
"Siapa yang udah nyakitin lu, Krist?!" Suara Marcel seketika memuncak.
Aku menggeleng, "Ada lah, temen kakak gue. Lu gak mungkin kenal."
"Oh." Marcel mengangguk. "Gue gak tau lu udah pacaran."
"Memang belum."
"Krist." Ia menggenggam tanganku. "Gue udah nganggep lu kayak adek gue sendiri. Jadi lu kalau ada apa-apa mending langsung cerita ke gue. Gak janji sih gue bisa bantu, tapi setidaknya bikin lu lebih lega kan?"
Aku mengangguk setuju, "Thanks ya."
"Udah sekarang lu jauhin aja dia. Lu lebih berharga, Krist. Daripada lu main-main sama dia, mending cari yang pasti aja. Lagipula cowok masih banyak di dunia ini."
"Hah?" Seketika aku menoleh ketika menyadari ada yang aneh dari kalimatnya.
Marcel menggeleng sambil tersenyum, "Gue udah tau dari awal."
"Oh gitu." Balasku pelan. "Gue juga tau lu—"
"Ya elah." Marcel merenggangkan tubuhnya. "Itu mah satu dunia juga tau."
Pintu tiba-tiba terbuka pelan. Tay dan Earn mengintip lalu perlahan masuk ke dalam kelas. Buru-buru aku menyeka air mataku meski sebenarnya percuma juga. Orang rabun saja sepertinya pun tahu kalau aku habis menangis.
"Krist." Earn memelukku. "Kenapa?"
Aku menggeleng, "Udah yuk rapat aja."
"Jangan nangis sih." Ujar Tay dengan nada iba.
Begitulah yang terjadi, mungkin karena aku terhitung yang paling muda di klub ini. Mereka sudah menganggapku seperti anak kecil. Sebenarnya tak apa, mengingatkanku kalau masih banyak orang yang peduli padaku. Daripada aku harus repot mengurusi seorang bajingan?
"Ini udah gue bawain kentang goreng, susu, coklat, permen, ciki, pokoknya semua yang gue liat gue beli deh!" Tay menaruh dua bungkus penuh berisi makan di sampingku.
"Lu ngehibur gue atau mau bikin gue gendut sih?" Protesku sambil tertawa.
"Ya habisnya ada yang panik banget di grup liat lu nangis." Balas Tay.
Wajah Marcel seketika memerah, "Lho, gue sebagai kakak kalian semua memang harus mengayomi. Earn lagi bocor aja gue yang beliin pembalut."
"JANGAN DIBAHAS WOY!" Earn memukul bahu Marcel berkali-kali.
Benar juga, hidupku sudah cukup menyenangkan. Tak perlu kupusingkan hal lain.
![](https://img.wattpad.com/cover/226150769-288-k73913.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]
FanficSetiap orang pasti punya kekurangan. Entah mereka menguburnya dalam-dalam atau justru menjadikannya sebagai ajang untuk mencari perhatian. Percuma saja sebenarnya. Bagaimana pun cara mereka menyikapi kekurangan itu, pada akhirnya akan terendus juga...