21. Gaydar

1.1K 210 4
                                    

Pernahkah kau merasa hidupmu begitu rumit? Hingga kau selalu curiga jika hidupmu bisa tiba-tiba merasa begitu bahagia? Lalu di mana letak sedihnya? Kau seperti sudah terbiasa dengan kesedihan itu hingga kau begitu menginginkannya kembali di hidupmu. Sampai kau susah-susah mencari letak sedihnya di tengah surga duniawi.

Sampai akhirnya kau mendapatkannya lagi, kesedihan itu. Dan kau pun tak lagi heran. Kesedihan seperti sudah menjadi habitatmu. Bahkan aku yang mencarinya sendiri.

Begitulah aku.

"Pada tau kan rumor soal Singto sama Chloe?" Tanya Marcel di tengah rapat. "Atau ini rumor yang cuman anak kelas dua belas yang tau?"

Aku mengangguk, "Oh, yang sering lomba figure skating?"

"Ada gunanya juga Krist deket sama dia." Marcel sambil mengacak rambutku. "Tapi harus tetep profesional ya?"

Profesional seperti... jatuh hati padanya?

"Eh ini siapa yang pesen makanan?" Tanya Tay sambil mengintip jendela kamarnya, melihat rumahnya tiba-tiba didatangi seseorang.

Seperti kejadian yang sudah-sudah, tempat di mana kami biasa pakai untuk rapat klub terpaksa dipakai guru. Nasib klub yang baru dibentuk memang. Jadi kami terpaksa menggunakan kamar Tay untuk rapat. Atau lebih tepatnya bergosip.

"Gue." Balas Marcel. "Lagi pengen traktir kalian aja."

Tay jadi yang paling semangat di antara kami. Sambil berteriak kegirangan, ia turun ke bawah menemui kurir makanan yang ternyata sejak tadi sudah menunggu. Melihat tingkat Tay, Earn yang tadinya memasang wajah jutek jadi ikut tersenyum.

"Makasih ya." Ujarku pelan.

Marcel menggeleng, "Bukan apa-apa."

Dua kotak pizza besar terhidang di hadapan kami. Mataku sampai terpejam demi menghayati harumnya. Tanpa basa-basi, kami langsung menyergap apa yang ada di hadapan kami. Junk food memang selalu jadi obat untuk segala pikiran jahat.

"Oh iya." Tay membuka pembicaraan sambil berselisih dengan pizza panasnya. "Soal yang Singto sama Chloe, gue pikir dia gay tau."

"Bener, bener, bener." Earn menambahkan sambil mengangguk berulang kali.

"Gak lah." Jawab Marcel. "Gue gak ngerasa dia gay. Dan lu semua pada tau kan hebatnya gaydar gue?"

"Ah gak ah." Earn menggeleng. "Gue sebagai fujoshi sejati, yakin banget kok! Paling enggak dia tuh biseks."

"Jangan begitu fokus pada apa yang bukan jadi medan lu, Earn."

Ia menatapku lalu kembali menatap kedua temannya yang lain. Sialan. Apa maksudnya? Apa selama ini Marcel tahu? Tapi jikalau dia memang punya gaydar yang hebat, bisa-bisanya ia melewatkan Singto yang jelas faktanya sudah menggodaku duluan.

"Menurut lu gimana, Krist?" Tanya Tay.

Aku menggeleng, "Kita liat aja kenyataannya sekarang, rumor soal dia dan Chloe udah di mana-mana. Belum pernah juga gue liat dia kayak gitu sama cowok. Pandangan kita harus objektif, kan?"

Marcel menepuk tangannya, "Bravo!"

"Tapi selama jadi temennya, lu gak ngerasa gimana gitu?" Earn masih penasaran.

"Gak." Balasku singkat. "Dia cuman laki-laki biasa. Gak ada hebat-hebatnya! Jadi stop deh praising dia berlebihan kayak anak jenius, ganteng, sempurna. Dia tuh— ih!"

Tay mengernyitkan dahi, "Idih. Perasaan gak ada deh yang bilang dia ganteng dan sempurna?"

Oh iya. Betul juga. Ha, karena itu aku yang selalu menganggap Singto seperti sosok yang sempurna. Sampai rela terjatuh karena menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi untuk seorang sepertinya.

"Ada." Timpal Marcel.

"Kepala sekolah." Jawab mereka semua berbarengan, kecuali aku.

Aku yang benar-benar menganggapnya sempurna.

"Tapi ada hubungan apa sih Singto sama kepala sekolah?" Tanyaku heran. "Kayaknya sering banget disangkut-pautin gitu."

"Ya— mereka deket gitu ga sih?" Jawab Tay. "Gak wajar aja soalnya. Masa semua lomba cuman dia yang ikut? Terus kalau dia ada masalah kayak lenyap aja kabarnya. Kayak ditutupin gitu. Emang lu gak tau cerita dia mukul orang sampe hampir mati?"

"Hah seriusan?!" Ujar Marcel kaget, dia juga seperti baru tahu. "Sinting!"

"Tuh kan? Bahkan temen seangkatannya sendiri gak tau?!" Tay semakin heboh membahas orang yang ia benci ini. "Fix banget ini mah ditutupin sama si kepsek anj—"

"Krist." Marcel meraih pundakku. "Hati-hati ya?"

"Ah, iya. Santai aja."

"Gue khawa—"

Menyadari kelakuan temannya, Tay dan Earn langsung berdeham.

Marcel langsung salah tingkah, "Maksud gue, kita semua khawatir. Kalau dia bawa lu ke tempat asing atau ngelakuin yang enggak-enggak, langsung kasih tau kita ya!"

Aku mengangguk. Mendengar percakapan tadi membutaku seperti belum mengenalnya sama sekali. Pertemuan singkat kita di rooftop, main truth or dare, tragedi sendal putus, semua bagaikan panggung sandiwara untuknya. Di mana ia simpan pribadi dia yang sesungguhnya? Justru orang yang membencinya lebih tahu banyak dariku. Apa selama ini aku hanya mainan?

Bodohnya bahkan akal sehatku sempat pikir kamu sempurna, Singto.

"Tay, kenapa gak lu aja yang nulis tentang dia?" Tanyaku penasaran. "Kurasa kau lebih banyak tahu dariku."

Wajah Tay langsung berubah masam, "Gue gak akan, sampai kapan pun, nulis tentang dia."

"Dendam kusumat banget kayaknya." Earn menatap Tay aneh.

"Emang." Balas Tay mantap. "Lu bakal paham kalo lu pernah kerja bareng dia."

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang