16. Kelas Olahraga

1.2K 213 11
                                    

Pelajaran olahraga merupakan kesalahan besar, terlebih ketika matahari begitu terik seperti siang ini. Tidak semua orang suka olahraga kan? Pelajaran apalagi yang menyulitkan selain ini? Setidaknya pelajaran matematika tidak mengharuskanmu untuk ganti baju.

"Krist!" Nam muncul di sampingku, memberikanku botol air yang tak asing bagiku.

Aku tertegun, "Ah iya botol minum gue! Hampir lupa."

"Udah makan kan?" Tanya Nam khawatir. "Nanti lu sakit lagi kayak kemarin."

"Udah." Balasku. "Gak usah ngekhawatirin gue! Santai aja."

"HEY KALIAN PARA LESBIAN!" Teriak seseorang dari kejauhan.

Tentu saja pasti teriakan itu ditujukan untukku dan Nam. Ingat ketika aku pernah dirumorkan berpacaran dengan Nam? Memang benar sih. Sebenarnya rumit jika dijelaskan. Pada intinya mereka menganggapku sebagai perempuan dan bilang kalau aku dan Nam merupakan pasangan lesbian. Menyebalkan.

"Jadi hari ini bebas saja ya." Ujar Pak Tin, guru olahraga. "Untuk yang cowok bisa main bola."

"AYO KRIST KITA MAIN BOLA!!" Off, seseorang di kelasku, berteriak paling semangat.

Aku tahu ia hanya ingin menertawaiku saja. Ini juga bukan pertama kalinya Off dan teman-temannya melakukan hal ini padaku. Betul aku memang menjadi satu-satunya yang tidak bisa main sepak bola di kelas ini, lantas kenapa? Tidak semua laki-laki suka olahraga.

"Gak." Balasku dengan nada pelan.

Off mendekatiku, "Ayo dong, sekali-sekali lu tuh jadi jantan! Macho! Mau sampai kapan lu melambai begini?"

"Betul."

"Eh, Krist bibirnya merah banget."

"Iya ih, abis pake lipstik siapa?"

"Punya Krist sendiri dong! Kan dia emang suka pake lipstik."

"Ayo lah kita main bola Krist, apa perlu aku yang mainin bolanya?"

"UDAH AH!" Teriakan Nam membungkam Off dan teman-temannya. "Lagian emang kenapa sih kalo cowok gak bisa main bola? Ribet banget sih."

"Yuk, guys." Off melirik ke teman-temannya. "Lakinya udah dateng."

"Ngakak, bisa tebalik gitu ya?"

Selesai sudah suasana tak menyenangkan itu. Tapi dadaku masih sesak karenanya. Pipiku terasa nyeri karena menahan tangi. Jika saja aku sedang tak berada di sekolah, pasti aku sudah menangis sejadi-jadinya. Memangnya siapa yang mau dilahirkan begini? Aku pun juga benci padaku yang tak bisa main bola.

"Sorry ya." Ujarku pada Nam.

Nam melihatku heran, "Bukan salah lu juga. Merekanya aja yang sok."

"Gue ganti baju dulu."

Aku mengambil tas kecilku dan pergi ke ruang ganti. Sinar matahari masih menyilaukan mataku. Hari ini begitu cerah hingga aku iri padanya. Perasaanku kini campur aduk. Terlalu banyak hal yang harus kupikirkan.

Jika Marcel bisa menjadi gay dan diterima orang banyak, mengapa hanya aku yang setiap hari dicemooh begini? Aku menatap ke arah cermin. Menatap sinis karena tak puas dengan refleksi yang kulihan sendiri. Apa ini karena aku jelek? Parasku memang tak semenarik dia.

Rasanya aku tak bisa berhenti memikirkannya. Pikiran itu terlalu memberatkan hingga lututku seketika lemas. Tubuhku gemetaran. Segera aku berlari ke bilik kamar mandi dan menutup pintu, memastikan tak ada siapapun yang melihatku. Aku mendekap mulutku. Berusaha tak membuat suara apapun.

Idiosyncrasy - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang