"Everyone can change everytime, to be good or bad that's a choice."
- Jehanan-
-
Setelah pulang dari pemakaman kemarin, seharian Hanan mengabaikan apapun termasuk beribu pesan dari Jefrin, Vano, maupun Alden. Hanan pun memperingatkan kakaknya untuk tidak memberitahu hal ini pada Vano ataupun Jefrin.
Gadis bersurai cokelat tua itu kembali menangis saat membaca ulang surat peninggalan dari sang bunda. Di dalamnya terselip tiket pesawat yang sudah dipesan jauh hari. Setelahnya Hanan sibuk merapihkan barang-barang karena besok sudah waktunya gadis itu pergi. Hanan tetap berangkat ke salah satu negara favoritnya yang berada di Eropa, namun bersama adik sepupunya.
Hanan kemarin sudah membujuk kakak satu-satunya itu untuk ikut pergi bersamanya, tapi laki-laki itu memang pada dasarnya keras kepala sama seperti Hanan. Ketika keputusannya sudah tidak, akan tetap tidak. Jegan beralasan bahwa ia tidak bisa meninggalkan rumah kosong dan soal pekerjaannya, juga soal kuliah yang menginjak semester akhir.
Senin ini rencana awalnya Hanan ingin pergi menghabiskan waktu bersama empat serangkai alias Jefrin, Vano, Reva, dan Hendra. Namun gagal karena gadis itu tidak sama sekali memberi kabar dan sengaja menghilang dari kemarin. Membuat teman-temannya bertanya. Terutama Jefrin dan Vano. Dua laki-laki yang sedang berada di kelas tidak sama sekali fokus dengan penjelasan guru di depan. Keduanya sibuk mengecek ponsel tiap menit.
Jefrin menoleh ke arah belakang, bertanya pada pada Vano melalu isyarat matanya dan Vano menjawab dengan gelengan. Sampai pada akhirnya,
"Jefrin! Dari tadi saya perhatiin kamu nengok terus ke belakang. Ada apa? Ada cem-ceman?" Jefrin sedikit terlonjak ketika sang guru menyerukan namanya dan membuat seisi kelas tertawa. Laki-laki itu meringis pelan.
"Siapa cem-ceman kamu? Jevano?"
Vano yang sedang menunduk reflek mendongak dan melebarkan pupilnya. Lagi-lagi seisi kelas tertawa. Apalagi Hendra yang duduknya berada di depan Vano, laki-laki itu terbahak bahagia sekali. Vano dan Jefrin hanya diam memasang wajah jengkel.
"Iya Jevano? Dari tadi saya perhatiin kalian berdua tatap-tatapan terus, ngobrol pake bahasa isyarat segala lagi."
"Iya tuh bu! Vano kan emang cmiwiw-nya Jefrinㅡwadaw!" celetuk Hendra yang langsung mendapat pukulan maut diubun-ubunnya oleh Vano.
"Sembarangan lu," geram Vano hampir ingin menjambak rambut Hendra namun wanita kepala empat yang sedang mengajar itu menegur Vano kembali.
"Vano berhenti berulah! Hendra kamu mau saya hukum juga?" Seketika Hendra mengatupkan bibirnya dan langsung membenarkan posisi duduknya. Netra wanita itu kembali menatap Vano dan Jefrin bergantian.
"Vano, Jefrin, kalian saya hukum bersihin toilet di lantai satu. Sekarang!" perintah guru tersebut dengan tegas.
Mau tak mau dua sejoli itu mengiyakan dan bangkit dari duduknya. Sebelum meninggalkan kelas, Vano yang jalan melewati Hendra tak lupa memberi tendangan maut dahulu dengan tampang tidak berdosanya membuat temannya itu hampir saja menceploskan kata-kata kasar di depan wanita berkepala empat yang bisa dibilang sangat sensitif. Memang maksud Vano licik, ia ingin mengajak Hendra untuk dihukum bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
this is what it takes [1] ✓ (TERBIT)
Fanfiction[handwritten series #1] ㅡfollow me first before read this bookㅡ ❝ I'll break down these walls that are in our way. If this is what it takes ❞ Hanan, sosok gadis kuat yang memendam apapun sendiri. Gadis itu selalu terlihat baik-baik saja, tetapi ken...