Aku suka kamu. Kamu suka dia. Dari sini aku belajar, kalau sesuatu yang kamu suka bukan berati bisa kamu miliki.
———
Entah sudah berapa kali aku melihat Mahesa atau yang biasa dipanggil Esa itu, terus-terusan memandang sendu ke arah lapangan.
Rasanya aneh, melihat orang yang biasanya tertawa senang, menebar senyum yang bikin candu itu tiba-tiba menjadi diam dan gelisah.
Esa galau?
Kenapa?
Aku mengikuti arah pandangan Esa, yang mengarah tepat ke arah gadis yang sedang mengobrol hangat dengan teman-temannya.
Ah, gadis itu ya?
Jadi benar kalau Esa memang menyukai gadis itu?
Tiba-tiba saja, hatiku terasa sakit, ngilu karena tahu kalau apa yang aku rasa ini tidak akan pernah berbalas, sampai kapan pun juga.
Aku dan Esa tidak jauh beda, sama-sama diam dengan perasaan yang dipendam masing-masing. Hanya saja, orang yang kusuka adalah Esa, tetapi orang yang Esa suka bukanlah aku, melainkan orang lain.
Bukannya hidup memang begitu? Kita menyukai seseorang dan orang itu pun menyukai orang lain pula.
Tidak akan ada ujungnya.
Mengabaikan perasaan yang terasa menyesakkan dada, aku berjalan santai ke arah Esa, meraih ponselnya dengan paksa. Aku tahu, pemuda itu terkejut bukan main lewat ekspresinya itu, tapi aku sudah bertekad, jadi aku tetap melanjutkan misi ini.
Aku sempat mendengar suara lirih Esa yang berusaha menghentikanku, "heh, lo mau apa?"
Tapi aku tidak perduli, malah mempercepat langkah menuju gerombolan adik kelas yang sibuk membicarakan eskul.
"Hai!" sapaku ramah pada semua.
Mereka yang merupakan adik-adik kelasku itu membalas sapaanku, tersenyum ramah lalu menunduk secara otomatis. Ah, aku seniornya.
"Kakak ini ikut eskul musik, kan? Kalau nggak salah, kakak pinter main gitar," seru salah satu dari mereka yang saat kulirik name tag-nya, namanya Sheril.
Aku mengangguk semangat, "oh iya, kalian eskul musik juga?" tanyaku berbasa-basi terlebih dahulu.
Beberapa dari mereka mengangguk, meski banyak yang tidak. Aku melirik gadis yang sedari tadi menyita atensi Esa.
Cantik, tinggi dan ramah.
"Ehm, boleh minta nomer hapenya, nggak?" tanyaku pada gadis itu.
"Oh boleh Kak, nama aku April, 10 IPS 1," katanya memperkenalkan diri dengan suka rela, yang kubalas dengan senyuman tulus. Serius, aku benar-benar tulus melakukannya. Cuma Esa yang bisa jadi satu-satunya alasan aku melakukan ini.
Aku menyodorkan ponsel yang kurampas dari pemuda yang masih berdiri di ujung koridor. Dan April dengan senang hati memberikan nomor teleponnya.
"Makasih ya, nanti kakak chat untuk grup eskul musik," ujarku beralasan.
"Yah Kak, kok cuma nomernya April, aku nggak sekalian?" tanya Sheril yang iri karena hal itu.
"Nanti kakak kan tinggal minta dari April, tenang, kakak save satu-satu kok," jawabku.
Mereka berseru heboh, cuma karena alasan yang kubuat. Padahal, aku bukan senior famous yang dikenal banyak orang.
"Kakak duluan ya, bye bye!"
Aku tersenyum miris melihat kontak yang sudah tersimpan di ponsel Esa, meski buru-buru aku mengendalikan eskpresiku, menghampiri pemuda dengan tahi lalat di dekat dagu yang kelihatan menahan kesal karena ulahku ini.
"Lo kenapa sih?" tanya cowok itu dengan nada tak bersahabat, dia juga langsung merampas ponselnya dari genggaman tanganku.
Aku mencoba tertawa, "cuma bantu kali, Sa. Kasian, temen gue cuma bisa liatin doinya dari jauh," jawabku santai, meski hati ini serasa dihantam godam, retakannya terasa, sakitnya menjadi-jadi.
"Lain kali nggak usah gitu, gue bisa sendiri," kata Esa tegas.
"Iya iya. Semangat mengejar cinta, Mahesa!" seruku disertai pose semangat berupa kepalan tangan di udara, tak lupa senyum manis yang kupaksa ini. Tapi jujur, ini tulus.
Esa tersenyum tipis, kemudian berjalan meninggalkanku di koridor.
Itulah yang bisa aku lakukan, membantunya mengejar cinta tanpa perduli bagaimana kondisi hatiku yang semakin hari semakin tak beraturan. Mungkin sudah berantakan, tapi masih terus kupaksakan.
Kalau memang mencintainya berarti harus merelakan perasaanku, aku akan berusaha melakukan itu.
Karena tidak semua cinta bisa digenggam.
Ada cinta yang hanya bisa dipendam dalam diam.
Dan kisah ini akan membuat kalian sadar, kalau cinta bukan hanya tentang nyata yang bisa dilihat dengan mata, tapi juga rasa yang tidak semua orang mampu membalasnya.
16 juni 2020, Mahesa.
———Lee Eunsang as Aksara Mahesa Adhari
———
Wahh, tiba-tiba dapat inspirasi buat nulis cerita ini. Padahal awalnya, aku lagi rajin nulis ceritanya Dio (spin off Akai Ito) tapi karena aku juga bucinnya Eunsang, jadi aku mau merealisasikan kehaluan lewat Mahesa. Haha.
Tentang cerita Dio, kurasa akan lanjut setelah cerita ini, atau bisa jadi saat cerita ini berjalan. Karena keduanya punya latar dan scene yang bersinggungan.
Aku harap, ada yang nunggu update-an ceritaku, ada yang add cerita ini ke perpustakaan, atau ke reading list, meski aku tau kurangnya masih banyak di sana sini. Tapi, apa salahnya berharap?
Sebenernya, aku juga pengen ada yang comments ceritaku, kritik atau saran, nggak papa, tapi sejauh aku bikin cerita, yang comment jarang. Miris? Iya sih, tapi balik lagi, aku nulis cerita ini sebagai hobi, nggak apa meski lapakku sepi, karena aku kan penulis pemula, aku sadar kurangnya aku.
Intinya, untuk semua pembacaku, atau yang membaca cerita karyaku, silahkan dinikmati perjalanan ini. Aku harap kalian suka, tertarik dan bisa membuat kalian bahagia saat membacanya.
Dari aku, penulis yang masih belajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHESA
Teen Fiction"Jangan suka sama gue, Ra. Pergi, lupain gue."-Mahesa. "Sekali aja, gue mau jadi apa yang Esa harapkan. Gue mau jadi dunianya Esa."-Mutiara. ****** Tidak semua cinta bisa digenggam. Ada cinta yang hanya bisa dipendam dalam diam. Dan kisah ini akan m...