Happy Reading
Aku menguap untuk yang kesekian kalinya. Dua gelas kopi telah kuhabiskan. Jam menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga belas malam.
Seperti biasa, hari Jumat penuh akan deadline. Laporanku masih belum selesai kukerjakan. Derita menjadi Back Office ya begini. Saat yang lain sudah pulang, aku masih berkutat dengan laporan.
Apalagi Mbak Ines memperpanjang masa cutinya. Alhasil aku selalu lembur.
Valdo, Gandi, dan Putra juga masih ada di kantor. Mereka sedari tadi berisik karena sedang tanding PES. Aku jadi nggak kesepian. Kantorku memang menyediakan Playstation, DVD, karaoke, tv, dan lain-lain yang letaknya di sudut. Biasanya jika sedang penat, karyawan boleh memakai fasilitas yang ada.
Usapan lembut di kepalaku membuat aku mendongak.
"Udah berapa persen yang selesai ?" Ya siapa lagi kalau bukan si bos.
Mas Radi, ehem enak ye manggilnya sekarang hehe, menarik kursi di kubikel Chelsea lalu duduk di sampingku.
Dia juga belum pulang karena harus meeting dengan manajer yang lain via video call.
"Huft... udah delapan puluh persen lebih dikit." Aku mendesah lelah.
"Mana yang perlu Mas bantu."
Aku menggeleng pelan. Aku tahu dia juga sama lelahnya denganku. Hari ini Mas Radi juga ikut kunjungan wilayah Bang Ridwan. Belum lagi pemeriksaan laporan yang kuyakin sangat banyak.
"Nggak usah, Mas. Aku masih bisa kok. Lagian tinggal dikit lagi."
"Ya udah Mas tungguin sampe selesai. Loh kok kamu minum kopi sampe dua gelas." Mas Radi menatapku kesal.
Aku tersenyum salah tingkah. Pasalnya tadi pagi dan siang aku sudah minum kopi juga. Mas Radi sempat melarangku agar nggak minum kopi lagi sebelum dia meeting tadi.
"Ngantuk, Mas. Nanti malah ketiduran trus laporan nggak selesai gimana coba."
Mas Radi berdecak kesal.
"Alasan kamu tuh pinter banget."
Aku kecup pipi kirinya biar dia nggak marah lagi.
"Jangan marah dong."
"Jangan diulang lagi. Nanti kamu bisa sakit."
Aku mengangguk-angguk saja biar dia nggak marah lagi.
Aku melanjutkan lagi pekerjaanku. Sudah lima belas menit berlalu tapi Mas Radi masih duduk diam di sampingku sambil menatapku intens.
"Ih jangan diliatin begitu." protesku. Aku kan jadi salah tingkah.
"Mas kan cuma liatin tunangan sendiri masa nggak boleh. Sayang kalo dianggurin, soalnya cantik." ujarnya santai.
Sudah pintar gembel eh salah gombal Mas Radi sekarang sejak Ibu memasangkan cincin di jari manisku.
Aku berdecak pelan lalu melanjutkan lagi pekerjaanku yang tinggal sedikit lagi. Aku membiarkan Mas Radi yang masih menatapku.
Hampir empat puluh menit pekerjaanku selesai. Aku merapikan meja lalu memasukkan barang-barangku ke dalam tas.
Saat keluar dari kubikelku, Valdo dan yang lainnya juga tengah bersiap untuk pulang.
Kami pun berjalan bersama ke parkiran.
"Bang, jangan belok ke hotel loh. Anak gadis orang itu. Belum halal." celetuk Gandi.
"Ngawur." sahut Mas Radi lalu meninju pelan lengan atas Gandi.
Aku hanya geleng-geleng kepala mendengar celetukan Gandi yang absurd.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titanium (TAMAT)
General FictionTitanium Elaksi Paramesti Menjadi sales executive sebenarnya bukan keinginan Tita. Tapi demi keberlangsungan hidup yang nggak abadi ini Tita rela menjadi sales executive rokok di salah satu perusahaan rokok ternama. Tapi bukan SPG loh ya. Kalau SP...