Airin menatap sendu kearah Rayn yang masih tertidur. Selang infus sudah terpasang dan banyak perban menempel ditubuh lelaki pucat itu. Wajah Rayn yang sudah bersih dari darah membuat Airin merasa sedih. Walau dalam keadaan pingsan, Airin merasa yakin jika sekarang Rayn sedang dalam masalah.
Dengan bantuan peziarah dan penjaga makam, Airin berhasil memindahkan Rayn kedalam mobilnya. Gadis itu langsung memacu kecepatan tinggi menuju rumah sakit terdekat. Karena sejak awal tujuannya kembali ke makam untuk berdamai, tak heran jika sekarang perasaan iba menguasai benaknya.
"Elo terlalu takut kalo gw kenapa-napa, sedangkan elo nggak mikirin keselamatan diri sendiri." Ujar Airin. Ia masih memandang lekat kearah Rayn.
Ujung bibir Airin terangkat. Entah kenapa ada sisi bersyukur didalam dirinya tentang keadaan Rayn yang terbaring lemas dirumah sakit ini. Ia jadi bisa memandang wajah Rayn tanpa takut ketahuan. Maklum saja, pertemuan pertamanya dengan Rayn setelah sekian lama malah harus diwarnai adegan kejar-kejaran. Sedangkan pertemuan keduanya, ia harus sebisa mungkin menahan pandangannya untuk melirik, karena pada saat itu ia harus bersikap cuek.
Airin menarik nafasnya. Ia masih belum bisa percaya jika ternyata Rayn masih hidup. Rasanya semua harapan yang sudah ia idam-idamkan sejak dahulu benar-benar terwujud.
"Elo beneran Rayn kan?" Batin Airin. Tanpa ia sadari, sekarang wajahnya sudah mulai mendekati Wajah Rayn.
"Bener-bener nggak berubah." Batin Airin mengamati kulit pucat Rayn.
Karena belum yakin dengan apa yang ia lihat, Airin menyentuh pipi pucat Rayn dengan ujung jarinya. Senyum tipis terbingkai dibibir tipis Airin ketika dirinya semakin yakin, jika Rayn yang ada didepannya sekarang adalah orang yang sama seperti 3 tahun yang lalu.
Airin mengerjap. Ia buru-buru menjauhkan ujung jarinya ketika kedua kelopak mata Rayn berkedut. Gadis itu buru-buru menjauh agar semua tingkahnya tadi tidak terbongkar.
Setelah mengetahui bahwa kedutan mata tadi tidak menunjukan bahwa Rayn sudah siuman, Airin mulai memasang tawa jahatnya. Ia ingin lebih memastikan kembali, ia akan menyentuh hidung Rayn kali ini.
Grep.
Airin mencengkram jari telunjuknya sendiri. Ia tak mau berjalan lebih dalam lagi. "Sadar Rin!! Sadar!!!" Gumamnya berusaha menyadarkan tingkahnya sekarang.
Airin menopang dagunya sembari memandang wajah Rayn. "Gw harus gimana sekarang?"
Airin mendengus. "Gw bodoh ya? Gw sampe mikir kemana-mana coba sekarang. Masak gw mikir elo masih punya perasaan yang sama."
"Nggak mungkin juga kan." Airin memanyunkan bibirnya. Walau sudah ditahan, ia tetap saja ingin mengobrol dengan Rayn yang masih terlelap.
"Nggak ada yang nggak mungkin." Celetuk Rayn.
Deg!!!!
Airin terbelalak. Saking kagetnya ia hampir saja terjerembab karena kursi yang ia duduki hampir terbalik karena dorongannya.
"E... Elo dah siuman?" Tanya Airin masih dengan mata melotot.
"Udah dari tadi." Jawab Rayn sembari melirik kearah Airin.
"Da... Dari tadi??" Tanya Airin sembari mengerlingkan matanya. Perasaan malu muncul ketika menyadari bahwa mungkin saja Rayn mendengar semua isi pikiran yang tadi ia utarakan tanpa berfikir dahulu.
Rayn mengangguk. "Ya. Gw udah sadar dari elo ngomong..."
"Syukur deh kalo elo dah sembuh!! Gw juga ikut seneng." Potong Airin. Ia tak mau tertangkap basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Regret
ActionSequel The Memory Of Angle Rasa kehilangan itu masih membekas, terbingkai kokoh dilubuk hati Airin yang terdalam. Kenangan.... Hal yang tidak akan bisa terpisah dari raganya hingga kapanpun. Gadis cantik itu terus mencoba, mencoba sedikit meredam ra...