Part 10

640 38 6
                                        

Tepat pukul empat sore, Hanifa kembali ke sekolah, semuanya sudah sepi, tersisa motornya saja yang terparkir.

"Syukurlah.." gumamnya lirih

Karena keadaanya begitu hancur, badannya terasa sakit, gadis itu pun mengambil tasnya di kelas. Ternyata ada beberapa siswa yang masih ada, dan mereka adalah anggota osis yang sedang rapat.

Menghiraukan orang-orang itu. Hanifa segera kembali ke parkiran dan menjalankan motornya dengan perlahan. Rasanya sakit ketika tubuhnya di paksakan untuk bergerak.

"Shh... " wajahnya terlihat baik-baik saja, tapi luka di tubuhnya benar-benar menyiksanya.

Dia tidak pernah merasakan luka sesakit ini.

"Aku pulang."

Vinanda yang sedang berada di dapur langsung menghampiri Hanifa, memastikan Hanifa baik-baik saja.

"Kamu dari mana saja? Tadi Fero dan teman-teman kamu nyariin, katanya nggak ada di sekolah."

Hanifa tersenyum " Aku tadi ketiduran di perpustakaan tan, hehe."

"Trus tadi tuh aku bilang ke bu Milla jangan kasih tau aku sama siapapun kalau aku lagi di kolong mejanya. Eh, malah ketiduran nyaman banget, nggak ada yang bangunin, masa." tambahnya dengan senyuman jahil

Vania masih menatapnya curiga, sedangkan Hanifa membuang nafas kasar, " Kalau tante nggak percaya, bisa tanya bu Milla."

"Ya sudah, kamu mandi gih. Lain kali jangan kaya gitu lagi, bikin khawatir tau."

"Iya tanteku sayang." jawab Hanifa, lalu langsung pergi ke kamarnya.

---

Setelah mengunci pintu dan menutup jendela kamarnya, gadis itu berdiri di depan cermin. Menatap miris lebam kebiruan yang saat ini menyelimuti tubuhnya.

Hanifa tersenyum miris, harus kembali menelan kenyataan pahit bahwa sang bunda tidak pernah berubah.

Kenapa bundanya selalu mengatakan hal kotor tentang dirinya, kenapa bundanya selalu melakukan apapun demi anak kesayanganya itu yang padahal bukan anak kandungnya, sampai bundanya itu lebih memilik menyiksa anak kandungnya sendiri.

"Sshh... bunda sakit.. "Ucapnya saat menyentuh lukanya.

Gadis itu mengeluarkan obat yang ia beli di apotek saat pulang tadi.

Untuk saat ini, bolehkah ia berharap pada sang ayahnya.

"Ayah, bawa aku pergi dari sini." ucapnya lalu terlelap tidur.

---

Sepertinya mulai saat ini, sekolahnya menjadi terganggu.

Hanifa sudah mulai tidak bisa berfikir jernih, masa depannya begitu terlihat hancur, kecuali jika ia bisa keluar dari permasalahan ini.

"Zen, gue ke UKS dulu ya, semalem bergadang malah jadi pusing gue." ujarnya pada Zeina.

"Kalo lo sakit pulang aja Han."

"Enggak kok, cuma pengen tidur bentar."

"Ya udah, mau gue anter?"

"Yaelah, gue cuma ngantuk bukan sakit. Lo di sini aja."

Zeina menatap ragu pada Hanifa, semenjak kelas tiga, gadis itu malah menjadi terlihat murung, tidak pernah bisa fokus pada pelajaran. Tapi, Hanifa tidak menceritakan apa yang terjadi, sehingga Zeina dan Belyna menjadi bingung sendiri.

Menjitak peliplis Zeina, Hanifa tersenyum " Nggak usah mikirin aneh-aneh tentang gue. "

"Sakit tau. Hih, ya udah sana hush pergi!"

"Jangan rindu, Zeina sayang!"

Sedangkan Zeina hanya bergidik ngeri mendengar kata sayang dari Hanifa.

"Gue masih normal!"

Hanifa hanya tertawa mendengar jawaban dari Zeina.

Setelah diperbolehkan sang guru, Hanifa pun pergi ke UKS, untuk menenangkan diri.

Menatap kosong ke atas ruangan, gadis itu terbaring bagaikan tak bernyawa, tak ada gerakan sekalian anggota tubuh bagian dalamnya.

Memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa menyelesaikan permasalahanya.

Memilih, adalah permasalahan Hanifa saat ini.

Dari dulu, ia membenci ketika ia harus di hadapkan sebuah pilihan dan tidak pernah menguntungkan dirinya. Karena pilihanya hanya terjun bebas ke jurang tanpa ujung atau memilih untuk menyerahkan diri untuk di makan hewan buas, sama saja dirinya mati dengan cara yang berbeda, antara mati secara perlahan dengan keadaan tersiksa, atau langsung mati dengan luka yang besar.

"Aku tau kehidupan memang selalu ada pilihan, Tapi, haruskah aku memilih orang orang yang sangat aku sayangi. Tak bisa kah kita hidup berdamai dan bersama sama " ucap Hanifa Vinanda

----

Merasakan ada tangan yang mengusap kepalanya, Hanifa terbangun dari tidurnya.

Yang ternyata pemilik tangan itu adalah Fero.

"Udah bangun?"

"Menurutmu aku masih merem nggak?"

" hehe iya dah bangun."

"Kemarin kemana?"tanyanya

"Ketiduran di perpus."

"Bu Milla panik nyariin kamu."

"Kamu panik nggak?"

"Ya iyalah, "

"Kemarin aku bangun trus pergi ke kantin, tidur lagi."

"Pantes nggak ada, kemarin lupa nggak cek kantin sih."

"Trus kenapa sekarang jadi sering tidur, kamu sakit?"

"Aku bergadang terus buat belajar, mau ngejar snmptn."

"Belajar boleh, tapi jangan lupa sama kesehatan ya."

"Iya."

Semuanya kembali hening, tak seperti biasanya Hanifa tidak banyak bicara. Sesaat Fero merindukan ocehan gadis itu lagi.

"Kamu mikirin apa?"tanya Fero

" Enggak, aku cuma kepikiran cari cadangan universitas biar aku bisa kuliah."

"Nggak usah cemas, kan ada aku." ujar Fero berusaha menenangkan gadis itu.

"Aku nggak bisa bergantung terus sama kamu tau."

Fero memutar bola matanya malas, " Apa gunanya pacar kamu yang tampan dan kaya ini, astaga. Gunakan aku sesuka hatimu, sayang."

"Baru tau, kamu tadi bersikap seperti barang." ucap Hanifa dengan nada mengejek

"Nggak papa jadi barang, asal bisa sama kamu terus."

Kini Hanifa yang memutar bola matanya
" Mulai, modus terosss." serunya meragakan nada suara emak-emak khas negara +62.

-----TBC-----

Choice ( SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang