Part 33

474 26 0
                                    

"Sekarang aku harus memilih apa lagi?  Memilih membiarkan rasa benci ini terus tumbuh karena terlalu sakit,  atau melupakannya dan berdamai?  Kenapa kita berdua harus seperti ini?"

-Hanifa Vinanda-

🐛🐛🐛

Tap...tap..tap...

Suara itu memenuhi ruangan gelap ini.  Kenapa rasanya familiar?  Ah iya,  ia mengingatnya.  Ia mengingat tentang waktu,  waktu dulu saat ia berdiri di samping Dewina yang hendak menyiksa Hanifa dalam kegelapan. 

"Hani...!"

"Gue tau,  ini elo...!"

Pats...

Cambukan itu mengarah pada kakinya

"Akh..."

"Sakit,  begoo!"

Pats...

"Anj*ng!" Umpat Aleta

Plak...

"Stop,  Hani,  stop! Keadaan gue masih lemah!  Lo gila!? Lo mau bunuh gue hah!"

Tapi tak ada suara sedikitpun.

"Brengsek!"

Tak dapat di sangka sebuah pukulan tepat di bagian luka Aleta. 

"Ahkk,  stop! Hiks.. Sialan,  Hani stop. Sakit,  ahk.."

Aleta memegang perutnya yang sakit,  lukanya belum kering,  tapi sudah di pukul oleh Hani. 

"Ahkk.. Anjrt....darah!  Luka di perut gue basah, Han,  stop luka gue makin parah, Han,  gue mohon,  stop sakitin gue,  gue mohon Han,  gue masih mau hidup.." Ucap Aleta memohon,  gadis itu meringis kesakitan,  menangis memohon ampun pada orang yang telah menyakitinya seperti ini.

Orang itu menangkup wajah Aleta dalam kegelapan.  Melihat Aleta yang menangis ketakutan dan memohon untuk di beri kesempatan untuk hidup,  benar-benar hiburan yang menyenangkan. 

"Hiks... Gue mohon lepasin gue, hiks.." Ucap Aleta dengan mengkerutkan keningnya karena merasa kesakitan.

"Terus memohon sayang,  karena mama menyukainya."

Deg..

Air mata Aleta mengucur deras,  "hiks... Mama.. Apa yang mama lakukan sama aku. "

"Sakit,  ma.."

"Mama,  tolong lepasin aku.."

"Mama,  sakit,  ma.."

Kepala Aleta mulai merasa pening,  sepertinya dia mengeluarkan darah yang begitu banyak.  Gadis itu terus memohon pada Dewina,  tapi Dewina hanya tersenyum dalam kegelapan. 

"Ma, apa salahku?" Cukup kata itu yang terakhir kali Aleta ucapkan,  karena setelahnya gadis itu tak sadakan diri. 

Mungkin, dia akan menyusul sang ibu disurga.

---

Sementara itu,  Fero dan Belyna terus mencari Aleta. Belyna khawatir jika Aleta menjadi sasaran terakhir Dewina,  setelah wanita gila itu menghancurkan hidupnya dan juga Hanifa. 

Apalagi setelah mendengar kabar bahwa Aleta di bawa kabur dari rumah sakit.  Cukup membuat Belyna kalang kabut dibuatnya.

"Tuhan,  aku mohon beri keselamatan pada keluarga hamba.."

Fero hanya terdiam,  jika bukan karena melihat Belyna yang memohon dengan menangis,  Fero malas sekali mencari Aleta yang jelas-jelas sering menyakiti Hanifa,  pacarnya. Yah,  meski itu pengaruh Dewina si wanita ular dan obsesi Aleta pda dirinya. Tapi,  tetap saja di mata Fero, Aleta adalah seorang gadis yang egois dan jahat. 

"Awas aja,  kalau sampe bener Aleta sama wanita sialan itu,  gue bunuh juga tuh orang.." ucap Belyna berapi-api.

"Lo bisa diem nggak sih,  Bel? Berisik sumpah!" Protes Fero yang benar-benar kesal karena Belyna terus mengoceh sepanjang jalan yang tak tentu arah ini.  Masih mending jika yang mengoceh itu Hanifa,  bisa sangat di yakinkan bahwa ocehan Hanifa adalah sebuah anugrah yang ia dapatkan dari Tuhan. 

Drrttt....

Fero menepikan mobilnya, lalu mengangkat telpon. 

"Kenapa mom?"tanya Fero

"Hani, dia histeris nyebut nama Aleta,  kamu cepet pulang,  tolong tenangin dia,  momy sama Fera kewalahan di sini."

"Iya mom,  aku pulang sekarang."jawabnya lalu mematikan ponselnya. 

"Loh, loh...kok puter balik?" Protes Belyna.

Fero tidak menjawab,  laki-laki itu hanya fokus pada jalan,  agar ia cepat sampai di rumah.  Kekasihnya sedang membutuhkannya saat ini.

Sesampainya di kamar,   Fero menghela nafas,  melihat Hanifa yang sedang duduk di pojok kamar,  dan terus menangisi Aleta. 

Fero langsung menggantikan Fera yang memeluk Hanifa,  berusaha menenangkan gadis itu. 

"Ssssttt..sayang..." Ucap Fero dengan mengusap kepala Hanifa.

"Kamu tenang,  ini aku."

Hanifa mendongakan kepalanya,  gadis itu berada di pelukan Fero,  kepalanya yang di sandarkan di dada bidang itu,  sedikit membuatnya tersadar,  meski ada rasa takut yang terus menghantuinya. 

"Ar..kak Aleta, dia mati..." Ucap Hanifa dengan gemetar.

"Ar,  aku menembaknya,  Ar aku pembunuh Ar.."

Fero menggeleng " Nda,  dengar. Kamu nggak membunuhnya.  Kamu hanya berusaha menjaga diri kamu sendiri.  Aleta baik-baik aja,  okey. Kamu tenang,  Nda..."

"Tapi..."

"Kamu tenang oke,  Aleta baik-baik aja."

"Ar,  kata bunda Aleta kakak kandungku,  gimana ini, hiks.. Kenapa jadi begini.."

"Aku membencinya,  tapi dia kakakku.."

"Tapi,  nggak mungkin kan Aleta kakakku,  Ar?"

"Anak bunda cuma aku,  dia nggak punya anak lain sebelum aku kan Ar.."

Fero hanya terdiam,  bagaimana ia menjelaskan semuanya jika keadaan Hanifa masih syok seperti ini. 

Hanifa menangkup kedua pipi Fero " Jawab Ar,   bunda hanya bercanda kan? Aku cuma anak bunda satu-satunya, iya kan Ar."

Fero memejamkan matanya berusaha mengendalikan dirinya yang ingin sekali mengungkapkan semuanya,  tapi dia tidak bisa melakukan itu.  Hanifa,  kekasih tersayangnya,  dia tidak tega jika harus menjelaskanya sekarang. 

"Stop nyebut wanita sialan itu dengan kata  bunda!"

-TBC-

Choice ( SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang