Part 9

532 43 5
                                    

Pagi ini,  Hanifa berangkat kesiangan karena harus menolong nenek-nenek menyebrang.

Langkah kaki yang tadi berjalan begitu cepat, kini ia mengurangi kecepatannya semakin pelan. 

Menatap tatapan aneh dari para siswa yang berada di luar kelas.  Entah apa kesalahannya,  tapi seperti terjadi sesuatu hari ini.  Perasaanya sudah merasa tidak enak hati,  gadis itu kemudian menggelengkan kepalanya,  lalu fokus ke depan menuju ke kelasnya.

Namun,  kembali ia mendapatkan tatapan aneh itu dari teman-teman sekelasnya.  Sebenarnya ada apa hari ini,  sampai semua orang menatapnya aneh.

Padahal kemarin saat ia masuk sekolah,  semuanya berjalan normal seperti biasanya.

Hanifa duduk di samping Zeina,  karena dari tadi gadis itu memintanya segera duduk.

"Ada apa sih Zen?" tanyanya pelan

"Lo tadi lihat nggak di mading?"

"Enggak?  Emang kenapa?"

"Nih gue kasih tau,  udah gue foto tadi."

Semua berita tentang dirinya di masalalu tertempel jelas di mading sekolah.

Kali ini lebih dari dulu,  yang semua orang menganggap semuanya gosip belaka.  Tapi sekarang, seakan bukti itu menjelaskan bahwa begitu buruknya masalalu Hanifa.

Foto masa kecilnya bersama ayah dan ibunya yang begitu bahagia,  lalu foto dirinya yang berada di psikolog,  seakan menunjukan bahwa dirinya adalah orang gila,  meski faktanya itu benar terjadi.  Tapi ada tulisan yang benar-benar membuat dirinya merasa tertusuk beribu pisau tumpul.

" Hanifa Vinanda,  seorang anak Haram yang menginginkan derajat tinggi,  sampai dia menjual tubuhnya pada Arfero P.  Alviano." bacanya lirih

Hanifa menatap Zeina,  " Lo percaya sama gue kan,  Zen?  Ini semua nggak bener."

Zeina menatapnya ragu, tapi gadis itu kemudian mengangguk " Gue tau,  lo orang yang seperti apa."

Hanifa memeluk Zeina erat,  melirik seseorang seolah tau siapa ulahnya. 

"Makasih,  Zen." ucapnya haru.

---

Setelah membuang semua kertas dan foto tentang dirinya yang sangat memuakan itu,  Hanifa pergi ke perpustakaan. 

Dia ingin bertemu bu Milla,  ibu kedua setelah Vania.

"Bu,  aku mau duduk di bawah lagi ya."

Seolah mengerti,  bu Milla pun mengizinkannya.

"Jangan kasih tau siapapun ya,  kalau aku di sini lagi."

"Iya,  ibu tau. Kamu diam saja disitu,"

"Sabar ya,  sebentar lagi ujian sekolah. Kamu harus kuat." tambahnya

Hanifa tersenyum lalu mengangguk. Duduk di bawah meja,  dan menyandarkan kepalanya di paha bu Milla. Memejamkan matanya lalu tertidur,  karena dia begitu lelah.

Setelah Hanifa tertidur,  bu Milla menyandarkan Hanifa ke Meja.  Mengambil karpet dan juga jaketnya,  kemudian membaringkan Hanifa dan menyelimutinya. 

Bel masuk pun sudah berbunyi,  dari tadi Fero sudah melihat Hanifa,  tapi dia diam saja,  membiarkan gadisnya tertidur untuk istirahat, ia tau kejadian hari ini benar-benar berat,  dia sendiri juga tidak menyangka ada berita seburuk itu. 

"Istirahatlah sayang,  aku akan membereskan semuanya."

Sementara itu seseorang melangkahkan kakinya,  mengangkat tubuh Hanifa lalu membawa pergi dari sekolah. 

Sedangkan Fero tidak mengetahui itu. Ia masih sibuk dengan pelajaran hari ini.

---

Hanifa membuka matanya perlahan,  menyipitkan matanya ketika melihat ruangan yang begitu asing.

"Aku dimana?" monolognya

Ranjang yang empuk,  ruangan berwarna pink ini bukan kamarnya. Bukan pula perpustakaan di sekolah.

Melihat ke arah samping,  seseorang telah terduduk manis memperhatikan Hanifa.

Sementara Hanifa membulatkan matanya,  "Kenapa bisa?"

Seseorang itu tersenyum." Apa tidurmu nyenyak,  anakku?".

"Apa ini mimpi?" tanya Hanifa

"Kamu nggak mimpi,  sayang."

"Bu.. nda.." seru Hanifa lalu menghambur ke dalam pelukan sang Bunda. 

"Kenapa bunda,  baru datang lagi. "

"Aku kangen sama Bunda."

Dewina mengusap kepala Hanifa lembut, "anak bunda udah gede ya sekarang."

"Kamu tumbuh dengan baik." ucapnya tersenyum.

"Kenapa bisa,  adikku tersayang merawatmu dengan baik seperti ini.." geramnya.

"Aarggghhh,  bunda sakit.." erang Hanifa berusaha melepaskan tangan sang bunda yang sedang menjambaknya.

"Bunda,  lepasin.. hiks.."

"Dengar,  aku sudah menyuruhmu, jangan pernah memanggilku dengan sebutan yang menjijikan itu. "

Hanifa meringis kesakitan,  gadis itu menggeleng meminta ampun.

"Lepasin,  sakit...hiks.."

Dewina menangkup wajah cantik itu,  "Kemarin, aku sudah memperingatkan kamu,  tapi kenapa kamu nggak melakukan apapun,  Hah!?"bentak Dewina

"Bunda...kenapa bunda begini sama Hani.. hiks..sakit bunda.."

"Matikan lampunya!" teriak Dewina seolah memberi perintah pada seseorang.

Setelah lampunya mati,  hanya jeritan menyayat hati yang terdengar dalam ruang itu. 

-TBC-

Choice ( SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang