Part 24

442 33 0
                                        


Hari semakin sore,  matahari mulai turun seolah mengatakan sudah waktunya ia istirahat dan digantikan oleh bulan.

Nenek Tinah dan Reina sangat khawatir karena sampai saat ini Hanifa belum pulang.  Mereka juga sudah meminta pertolongan ke warga untuk mencari Hanifa.  Tapi,  tidak semua orang tahu wajah Hanifa seperti apa,  jadi begitu sulit untuk orang-orang mencari Hanifa,  yang mereka tahu ciri-cirinya adalah rambut panjang berwarna stowbery blonde,  memakai kaos hitam dan celana jens putih.

"Gimana ini,  Na.  Perasaan nenek tidak enak. Nenek takut Hani kenapa-kenapa."

"Nenek tenang dulu ya. Lebih baik sekarang nenek pulang dan istirahat. Biar Ina yang cari Hani dan memantau keadaan di sini. "

"Tapi--"

"Nek,  kesehatan nenek itu lebih penting. " tutur Reina dengan lembut.

Tinah menghela nafas berat,  " Ya sudah,  tapi tolong secepatnya temukan Hani ya,  Na."

"Iya nek,  percayakan aja sama aku."

Setelah itu Tinah pulang ke rumah dengan khawatir.

---

Prakk...

Fero terkejut ketika foto dirinya dan Hanifa terjatuh, hingga kaca bingkai foto itu pecah. 

Hatinya mendadak merasa tidak enak,  firasanya mengatakan hal buruk.

"Nda?" gumamnya lirih. 

Lelaki itu langsung menelpon Kenzie dengan tergesa. 

"apa?" tanya Kenzie to the point

"Lo ada kabar tentang  Hani nggak? perasaan gue nggak enak."

"Belum,  bentar nanti gue tanyain ke nenek gue."

"Cepet kasih tau gue ntar."

"Iye brisik."

Fero menggerutu saat Kenzie mematikan ponselnya begitu saja,  lalu ia membersihkan pecahan kaca yang berserakan itu.

Setelah semuanya bersih,  Fero memandang foto Hanifa yang terlihat tersenyum dengan bahagia.  Melihat itu,  kapan terakhir Hanifa tersenyum bahagia seperti itu.  Setelah di ingat-ingat itu adalah foto dirinya dan Hanifa saat masih sekolah dulu,  masa dimana Aleta belum muncul dan menghancurkan segalanya. 

Drrtt..

Ponselnya bergetar,  tertera nama Kenzie di sana. 

"Gimana, Ken?"

"Hani menghilang."

"Lagi!?  Lo nggak usah bercanda dan jangan sembunyiin Hani dari gue lagi,  Ken."

"Gue serius, Fer.  Hani ilang di kebun teh milik nenek gue.  Warga juga bantuin nenek buat nyari Hani."

"Sial."umpat Fero lalu membanting ponselnya. 

Lagi-lagi dia kehilangan Hanifa.  Satu minggu lagi,  Fero harus menikah dengan Aleta.  Tapi,  Hanifa lebih penting. 

Rencana itu harus ia tunda,  ia harus segera pergi ke Jogja untuk ikut mencari keberadaan Hanifa. 

"Mom, tolong urus soal Aleta,  aku mau ke Jogja,  Hani ilang dan belum di temukan." ucap Fero dengan langkah yang tergesa-gesa. 

Friska hendak menanyakan tentang Hanifa,  tapi ia urungkan ketika melihat Fero yang sedang terburu-buru.

"Hati-hati." cuma kata itu yang keluar dari mulut Friska,  wanita paruh baya itu juga ikut khawatir,  karena mau bagaimana pun ia menyayangi Hanifa,  tapi karena ia harus mengikuti alur permainannya,  akhirnya ia hanya terdiam dan melanjutkan permainan. 

Pada akhirnya Friska memberitahu Willy,  agar Willy menyelesaikan semuanya.  Sepertinya sudah cukup mereka bermain-main. 

---

Seorang Lelaki yang sedang berjalan pulang,  ia mendengar seseorang meminta tolong. 

"Njirr,  serem banget ada suara cewek minta tolong. Manusia apa kunti ya?"

Menghiraukan pertanyaan absurnya itu,  ia pun berlari ke arah sumber suara. 

"Ternyata manusia." ucapnya datar

"To-lonng.. "

"Duh,  mbak. Ngapain tiduran di tanah.?" tanyanya.

Hanifa ingin mengumpat,  tapi tenaganya sudah tidak ada lagi,  setelah terjatuh dari tebing yang tidak terlalu tinggi itu,  badannya terhempas ke bebatuan pinggir sungai,  rasanya sangat sakit,  ditambah luka-luka kecil di lengan dan kakinya. 

Laki-laki tersenyum " Maaf,  cuma bercanda kok mbak. Rumah mbak dimana?  Biar aku antar."

"Di--" ucapnya terpotong karena rasa sakit di kepalanya , gadis itu mengaduh kesakitan dan memegang kepalanya.  Ternyata ada darah yang mengalir dan semuanya terasa gelap.

"Waduhh,  ini sih serius. Mbak bangun mbak. Sadar,  ini jauh dari rumah sakit." seru lelaki itu yang masih bertingkah bodoh. 

"Aduh,  gara-gara mbak nih,  aku harus ninggalin hasil kebunku." keluhnya  lalu menggendong Hanifa.

"Untung kamu enteng mbak, kurus sih." monolognya.  Sepertinya lelaki itu memang kurang waras. 

-TBC-

Choice ( SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang