Detik ini, Hanifa nampak penuh dengan api membara, setelah dipikir-pikir ia memang harus membalas semua yang ia rasakan selama ini. Dia percaya dengan perkataan Belyna karena Dewina sendiri pun mengatakan bahwa dia bukan anaknya.
Dengan mata panda yang menghitam parah, karena gadis itu tidak bisa tidur nyenyak semenjak kejadian waktu itu. Gadis itu berjalan paling depan, dengan diikuti Fero, Fera, dan Belyna.
Mereka begitu semangat untuk membalaskan semuanya. Mungkin seperti geng anak SMA yang ingin melakukan tawuran, mereka nampak kompak dengan mata sadis mereka. Mungkin mereka tidak menyadari umur mereka yang menginjak 23 tahun, kecuali Belyna yang masih berumur 22 tahun.
Saat memasuki mobil, Fero masih diam menunggu arahan dari kekasihnya.
"Kok diem aja sih kak?" tanya Fera
"Nunggu arahan dari tuan putri emang kita mau kemana?"
Hanifa menepuk jidatnya " Oh iya, kalian kemarin udah cari Aleta kemana aja?"
"Hampir ke bogor, sih." jawab Belyna.
"Udah pernah nyari ke rumah bunda belum?"
"Eh ralat, udah pernah ke rumah papa yang dulu belum?"
Mereka menggeleng kompak, Hanifa menganggukan kepalanya.
"Baiklah, sepertinya Aleta di sana deh. Karena bund-- eh duh nih mulut kebiasaan manggil bunda."
"Soalnya tu orang kan nggak punya tempat lain selain rumah itu dan rumah papa kan?"
"Ar, kamu masih inget jalannya kan? " tanya Hanifa
"Ingetlah, banget." ucap Fero dengan tersenyum.
"Iyalah inget, masa kecil kalian berdua kan disana." ejek Fera, sementara Hanifa dan Fero hanya terkekeh.
Setelah itu Fero pun melajukan mobilnya.
"Eh, rencananya kalau bener Aleta di bawa si dewi ular itu, mau kita apain tuh orang?" tanya Fera dengan semangat.
"Lo siapa sih Ra, semangat bener mau bales dendam?" tanya Belyna.
"Wooo, jangan salah, gue itu adik iparnya kak Hani, jangan macem-macem lo sama gue."jawab Fera
"Gini-gini gue kesel tau, gara-gara tuh orang, kakak ipar gue ini jadi depresi. Kan gue juga ikut repot. Gue nggak bisa hangout sama temen-temen gue, karena harus jagain kak Hani, dia kan kesayangan gue. Nggak kek Fero noh, diem-diem aja, berasa nggak punya sodara." sambungnya
"Ra, jatah uang jajan lo ngga gue kasih lagi." seru Fero
"Ah, lo mah nggak asik. Kak Hani, tuh Fero nyebelin."
Hanifa hanya terkekeh geli melihat Fera yang selalu usil pada Fero.
"Hei, back to topic! Jadi kita mau ngapain ntar?"tanya Belyna.
"Mau gue jambak rambutnya!" seru Fera
"Kalo gue, mau gue tendang rahimnya!" ucap Belyna.
"Njir, sadis lo!" timbal Fera.
"Kalo, kak Hani mau ngapain?"
Hanifa nampak berfikir, dengan mengetuk-ngetukan jarinya di pelipisnya.
"Gue mau, cambuk orangnya pake rantai besi, mau gue cekek, mau gue kuliti mukanya, trus gue potong-potong tubuhnya, udah gitu gue masak pake bumbu rendang, trus gue kasih deh ke anjing peliharaan si Kenzie."
Fero yang mendengar itu menghentikan mobilnya. Lalu Fera, Fero dan Belyna menatap Hanifa bingung.
" Gue nggak kenal Hani yang ini." ucap mereka bersamaan.
Sementara Hanifa tertawa terbahak-bahak, " Aduh, perut gue sakit. Yaampun kalian lucu banget, astaga. Padahal gue bercanda, hahahaha.."
Mereka pun menghela nafas, "Syukurlah, cukup Aleta aja yang sadis. Gue nggak mau punya kakak sadis semua." ucap Belyna.
---
Cukup membutuhkan waktu dua jam untuk sampai ke rumah itu. Tapi, sesampainya mereka ke tempat itu, tempat itu sudah ramai banyak orang, ada satu ambulans dan juga mobil polisi.
Tanpa banyak bicara mereka turun dari mobil. Mereka berusaha untuk memasuki kerumunan itu, dan sampai di depan rumah.
Ada seseorang yang dibaringkan di stretcher, lalu di bawa keluar menuju Ambulance. Belyna memekik histeris ketika melihat Aleta yang tergeletak tak berdaya di atas stretcher itu.
"Al! Aleta, ini gue! Al bangun, jangan tinggalin gue kaya mama. Gue butuh lo Al, maafin gue yang telat nolongin lo, hiks.."
"Han! bangunin Aleta! tolongin gue, bangunin Aleta."
"Maaf, apa anda keluarganya?"
"Iya sus, kami keluarganya." jawab Hanifa.
"Kalau gitu, ikut kami ke rumah sakit. Pasien harus segera ditangani."
Hanifa mengangguk, " Ra, lo temenin Bela ke rumah sakit. Gue harus urus yang ada di sini." ucap Hanifa pada Fera.
"Bel, lo pergi ke rumah sakit sama Fera. Inget apapun yang terjadi kasih tau gue, jangan nangis, lo harus kuat, lo harus berdoa buat nyelamatin Aleta." tambahnya.
Fera pun mengangguk setuju dan menemani Belyna ke rumah sakit.
Sementara Hanifa menatap Fero dengan tatapan yang tidak dapat dijelaskan lagi. Air matanya sudah tidak bisa ia tahan lagi, gadis itu langsung menghamburkan dirinya pada pelukan Fero.
"Kenapa jadi gini, Ar?"
Fero mengusap punggung Hanifa dan mencium puncak kepala Hanifa.
"Tenang ya, aku tau kamu kuat. Kamu harus yakin, setelah hujan pasti ada pelangi. Sebentar lagi, semua rasa sakitmu terbayar dengan kebahagiaan yang tiada tara."
Seseorang memegang pundak Fero, cukup membuat Fero terkejut.
"Dad? Kenapa bisa di sini?"tanya Fero pada Willy.
"Iya, Daddy udah urus semuanya. Lebih baik kalian pergi ke rumah sakit. Kondisi Aleta kritis, Daddy punya firasat buruk tentang itu."
Fero mengangguk setuju " Makasih, Daddy selalu bantu aku." ucap Fero.
Willy mengusap puncak kepala Hanifa.
"Setelah ini, jadi mantu yang bahagia ya. Jangan cemberut terus. Kasian Fero, dia sayang banget loh sama kamu." ucap Willy cukup membuat Hanifa tenang.
Fero hanya tersenyum melihat ayahnya yang perhatian pada Hanifa. Ternyata ayahnya sudah merestui mereka.
"Iya om, makasih."
"Mulai sekarang, panggil saya Daddy sama seperti Fero dan Fera. " ucap Willy dengan tersenyum.
Hanifa pun membalas senyum itu, selama ia datang ke rumah Fero. Willy tidak pernah berbicara padanya selain menyapanya saja. Tapi sekarang, Willy melakukan sesuatu hal yang membuat Hanifa bahagia, yaitu sebuah 'restu'.
-TBC-
KAMU SEDANG MEMBACA
Choice ( SELESAI)
Teen FictionPeringkat #1 'depresi' Agustus 2020 Peringkat #1 'berat' Oktober 2020 Peringkat #3 'mandiri', Oktober 2020 Peringkat #6 'sederhana' Oktober 2020 Peringkat #7 'choice' Oktober 2020 - Selesai- Liku-liku kehidupan seorang gadis bernama Hanifa Vinanda...