Di sebuah ruangan yang begitu ramai ini, Hanifa berdiri menjadi saksi sebuah pertunangan seseorang yang sangat ia sayangi bertunangan dengan kakak tirinya yang licik.
Sangat terlihat jelas, semirik licik yang di perlihatkan Aleta kepadanya. Namun ia tidak bisa lari dari kenyataan, karena Aleta dan bundanya tersayang menyuruh dirinya untuk menjadi pembawa cincin di pertunangan Aleta dan Fero. Jika ia tidak mau melakukannya, Aleta akan melukai Belyna.
Ia sangat tahu betul, ancaman Aleta memang tidak pernah main-main. Gadis psikopat itu bukanlah tandinganya saat ini, kecuali jika ia juga seorang psikopat seperti Aleta.
Gadis itu sudah tahu semua cerita yang sebenarnya. Ternyata Fero melakukan ini karena demi menyelamatkan dirinya. Padahal jika tau harus begini, lebih baik dia mati saja.
Lamunan Hanifa terhenti ketika sang bunda alias Dewina menginjak kakinya.
"Aw..sakit bunda."lirih Hanifa
Sementara Dewina menatapnya dengan lembut dan juga tersenyum manis " Hani, cepat berikan cincinnya, semua orang sudah menunggu." tuturnya lembut.
"Ah, iya. Aku terlalu senang melihat kakakku bertunangan." jawab Hanifa dengan tersenyum tipis.
Lalu menatap Fero sekilas dan langsung memberikan cincinnya.
"Ini, calon kakak ipar." ucapnya dengan tersenyum lebar.
Tapi, mata indah itu tidak bisa membohongi, jika ada sekumpulan air mata yang sedang berusaha ia tahan untuk tidak keluar dari sarangnya.
"Terima kasih." jawan Fero yang memikiki arti lebih dalam, dan Hanifa tau arti kata itu.
Iya, terima kasih atas dirinya yang masih hidup, terima kasih atas dirinya yang tetap tersenyum dan menahan air mata itu agar tidak jatuh, terima kasih yang masih mencintainya.
Setelah bertukar cincin, semua orang pun bertepuk tangan. Tapi, tidak dengan Hanifa yang langsung pergi begitu saja. Sungguh, dia tidak bisa lagi untuk berpura-pura bahwa dia baik-baik saja.
----
Jika ada hal yang bisa dilakukan saat ini, Hanifa hanya bisa terduduk, melamunkan semua yang terjadi.
Rasanya, perjuanganya telah berakhir. Lalu, untuk apa ia sembunyi selama itu jika pada akhirnya Aleta tetap memiliki Fero.
Terkadang Hanifa heran, kenapa bundanya selalu berpihak pada Aleta, karena baginnya mana mungkin seorang ibu lebih mementingkan anak tirinya daripada anak kandungnya.
Jika ada kesempatan, Hanifa sangat ingin menanyakan hal ini pada sang bunda. Tapi, sepertinya akan sangat menyakitkan untuk mendengar jawaban dari sang bunda.
Pada akhirnya Hanifa pergi dan kembali ke rumah. Iya, dia kembali pulang ke rumah Vania, tantenya yang selalu merawatnya selama ini.
Tok...tok..tok...
"Tante.. " panggil Hanifa
"Ini, Hani. Tante Hani pulang.." ucapnya
Krieet..
Vania membulatkan bola matanya, wanita paruh baya itu langsung memeluk Hanifa.
"Haniku sayang, kamu pulang nak." seru Vania
"Iya, tante. Hani pulang." lirihnya.
Vania menangis haru, akhirnya gadis kecilnya pulang, kembali dalam pelukannya. Begitu pun dengan Hanifa, gadis itu menangis haru, karena hanya sedang bersama Vania lah, ia bisa merasakan hangatnya pelukan seorang ibu, iya dia merasakan pelukan Dewina ada pada Vania.
Setelah mengusap air matanya, Vania langsung membawa Hanifa masuk.
"Mas, cepat sini!" seru Vania.
Fadil yang sedang berada di dalam kamar pun langsung keluar. Pri paruh baya itu tersenyum lebar, " Hani? Ini benaran Hani?" tanyanya
"Iya, Hani pulang, om."
Fadil langsung menggendong Hanifa dan berputar, " Putri cantik om udah pulang!"
"Ahaha...Om hentikan! " teriak Hanifa
Sementara Vania dan Fadil tertawa bahagia.
"Akhirnya, keluarga ini lengkap lagi." ucap Fadil setelah menurunkan Hanifa di sofa.
"Iya, ya. Jadi selama ini kamu dimana, sayang? " tanya Vania.
"Aku di rumah ayah."
Vania dan Fadil saling menatap, seolah saling bertanya.
"Kok bisa?"
"Iya, gimana ya pokoknya waktu itu ayah bawa aku pulang. Emang ayah nggak kasih tahu? " jawab Hanifa
"Enggak." jawab Fadil dan Vania bersamaan.
Hanifa memutar bola matanya sebal, " Ih, dasar Ayah menyebalkan!"
"Haha, enggak kok. Ayah kamu udah kasih tau semuanya. Tante ngerti, selanjutnya teruskan hidup kamu ya. Lupakan semuanya, mungkin saja takdir tidak memihakmu, sayang. " ucap Vania
"Jadi, setelah ini. Kamu kerja aja di tempat tante."
Hanifa mengkerutkan keningnya, seolah-olah mempertimbangkan perkataan Vania. Lalu gadis itu tersenyum " Ah, itu ide yang cemerlang, tante!" serunya.
"Anak pintar.." seru Vania.
---
Pagi ini, Hanifa nampak sibuk dengan bunga-bunga yang ada di hadapannya saat ini.
"Nganti lali rasane tresno, opo pancen wes ra ono roso..."nyanyian Hanifa terhenti ketika seseorang masuk ke dalam toko.
"Selamat datang, ada yang bisa saya--" lagi ucapnya terhenti ketika melihat seseorang yang berdiri di hadapannya.
"Aku mau beli bunga mawar putih, tolong di rangkai dengan baik. " ucapnya.
Hanifa nampak terdiam, beberapa detik kemudian gadis itu mengangguk.
Setelah merangkainya dengan baik. Hanifa pun memberikanya.
"Harganya seratus lima puluh ribu."
"Baiklah, ini."
"Terima kasih. Semoga tunangan anda suka." ucap Hanifa.
"Sebentar."
"Iya, ada apa?"
"Berhenti bersikap tidak mengenaliku, Nda."
"Kita semua sudah selesai, jadi lepaskan tanganku, Ar."
Fero memegang tangan Hanifa satu lagi, lalu memberikan bunga itu untuk gadis itu.
"Bunga inu buat kamu, terus berjuang sayangku. Tunggu berbagai kejutan untukmu nanti." bisik Fero, lalu meninggalkan Hanifa yang mematung, berusaha mencerna arti perkataan Fero.
Baiklah, memang sepertinya kali ini gadis itu kurang peka.
-TBC-
KAMU SEDANG MEMBACA
Choice ( SELESAI)
Fiksi RemajaPeringkat #1 'depresi' Agustus 2020 Peringkat #1 'berat' Oktober 2020 Peringkat #3 'mandiri', Oktober 2020 Peringkat #6 'sederhana' Oktober 2020 Peringkat #7 'choice' Oktober 2020 - Selesai- Liku-liku kehidupan seorang gadis bernama Hanifa Vinanda...