Brian tersenyum menatap layar ponselnya. Beberapa kali jempolnya terlihat menggeser sesuatu di layar itu. Ada satu dua kali ia tertawa kecil, sangat kecil sehingga tawanya malah terdengar agak mengerikan. Apalagi yang mendengarnya itu adalah Davin sang adik.
"Gila lo bang." Ucap Davin menatap ngeri Brian.
Brian mengalihkan padangannya dari ponsel dan menatap Davin heran. Tidak mengerti apa yang dimaksud Davin sekaligus heran dengan tatapan Davin padanya. Apa yang salah dengannya?
"Gue tahu lo pusing kerja, pusing ngurus anak juga, cerita dong kalau ada masalah tapi gak gini juga bang. Lo gak kasihan sama Clary kalau bapaknya gila? Udah gak ada ibu, masa bapaknya juga ninggalin dia." Nasihat Davin, mulut Davin memang terkadang tidak tahu diri.
Davin sedari tadi menatap apa yang dilakukan sang kakak. Setelah diperhatikan beberapa menit ia jadi bergedik ngeri sendiri. Takut kakaknya gila karena menatap ponsel sambil tersenyum-senyum. Ia pikir kakaknya memang sudah terlalu frustasi dengan cobaan di kehidupannya.
"Apaan sih Vin! Sotoy banget lo. Gue gak gila. Gue sehat walafiat nih." Sangkal Brian setelah mengerti maksud ucapan Davin, membuat kesal saja.
"Lah terus? Lo ada masalah gitu sampai begitu frustasinya?"
"Gak ada elah. Kenapa sih otak lo mikirnya begitu?"
"Terus kenapa lo senyum-senyum gitu sambil lihat ponsel? Gue ngeri. Apa jangan-jangan kantor lo ini banyak penunggunya terus elo ketempelan?"
"Gue gak ketempelan Davin. Kalau ketempelan juga gue maunya repotin lo biar lo jera terus kapok mampir ke kantor gue." Jawab Brian asal, Davin cemberut mendengar jawaban Brian.
Brian buru-buru mematikan layar ponselnya, akan menyimpan semua apa yang ia lihat hanya untuknya.
"Lo ngapain dah ke sini?" Brian berjalan menuju sofa tempat Davin duduk tadi pula.
"Eh bang kalau gue gak nyerah lo gak akan duduk di tahta ini ya. Sombonk amat!" Kata Davin sewot.
"Gue nanya bego malah sewot." Kesal Brian.
Davin tidak peduli dan memilih menyeduh kopi. Brian memang memiliki mesin penyeduh kopi di dalam ruangannya. Brian memang semalas itu untuk meminta tolong dibuatkan atau dibelikan kopi. Kalau punya mesinnya sendiri ia bisa sepuasnya minum.
Selagi Davin fokus pada kopi maka Brian lagi-lagi membuka ponselnya. Lagi-lagi kejadian tadi terulang. Brian senyum-senyum sendiri sampai membuat Davin bingung sekaligus takut.
Pelan-pelan Davin berjalan ke belakang Brian. Brian sama sekali tidak memperhatikan atau fokus pada Davin. Davin mengerutkan keningnya ketika melihat Brian sedang memperhatikan sebuah foto.
Davin mengambil ponsel itu sampai membuat Brian terkejut, "Vin, balikin!" Kata Brian panik.
"Astaga jadi lo dari tadi senyum-senyum gak jelas gara-gara lihat foto Clary tidur sama..."
"Kak Egi?!" Kaget Davin.
"Vin!" Kesal Brian.
"Lo... jadi bener lo... enggak. Lo ada apa-apa sama Kak Egi?" Kata Davin masih dengan wajah tidak percaya.
"Gak gue gak ada apa-apa sama Egi." Elak Brian.
"Tunggu! Kok sampai Kak Egi tidur sama Clary? Lo inepin Kak Egi di rumah selagi gue gak ada?" Heboh Davin.
"Enggak Davin. Gila aja gue inepin anak cewek orang di rumah. Lo sendiri tahu gue duda!" Kilah Brian.
"Lalu foto tadi?"
"Clary kan sakit waktu itu Vin. Egi datang cuma buat bantu ngurusin Clary. Malamnya dia pulang kok. Tanya aja anak-anak yang lain. Mereka nengokin Clary waktu itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana | ✔️
General FictionRenjana /rênjana/ (n) rasa hati yang kuat (rindu, cinta kasih) #1 - dayvelvet (28-07-2021) #17 - egian (28-07-2021) #25 - seulbri (28-07-2021) Cover by PUTRI_GRAPHIC