Epilog

986 68 20
                                    

Empat Bulan Kemudian

"RSIA Hari Bahagia, ya." Ujar Brian pada ponselnya, rupanya ia sedang menelepon.

"Oke siap." Jawab orang di seberang teleponnya.

Brian kembali fokus pada Egi setelah sambungan telepon terputus. Tadi pagi Egi mengeluhkan perutnya yang luar biasa sakit. Menurut Egi itu adalah kontraksi. Brian langsung membatalkan semua jadwalnya untuk menemani Egi takut-takut ini kontraksi asli setelah sebelumnya beberapa kali hanya paslu. Kemudian menuju siang air ketuban Egi pecah. Segera saja mereka ke rumah sakit.

Brian menyugar rambut Egi. "Masih sakit, yang?"

Egi hanya bisa mengangguk. Sesekali air matanya keluar saking tidak bisa menahan sakitnya. Maka Brian akan terus menggenggam Egi dan mendengar semua keluhannya.

"Ibu udah jalan ke sini sama Davin. Mami sama papi juga barengan Clary nanti."

Egi menatap Brian, "Evan gak ada? Kok ibu sama Davin?"

"Evan masih di jalan, sayang. Dia aku suruh langsung ke sini aja. Lagian Davin kan nganggur juga. Kasihan Evan capek nanti kalau bolak-balik."

Egi mengangguk tanpa protes. Ia terlalu tidak sanggup untuk bersuara. Rasa sakit hendak melahirkan sudah menguasai dirinya sepenuhnya. Ia hanya bisa pasrah dengan semua yang Brian lakukan.

Seorang perawat dan dokter masuk. Mereka memeriksa Egi lagi. Egi meringis sakit saat dokter memeriksa pembukaannya.

"Selamat siang Ibu dan Bapak." Ujar dokter ramah.

"Saya periks, ya." Egi dan Brian mengangguk.

Brian bergeser sedikit memberi ruang untuk perawat dan dokter agar bisa memeriksa Egi. "Masih belum bukaan sepuluh ya, Bu. Masih harus nunggu sebentar lagi."

Egi rasanya langsung lemas mendengar itu. Ia hanya bisa mengangguk pasrah. Tangannya masih menggenggam kuat Brian.

"Emang gak bisa lebih cepet ya, dok?" Tanya Brian yang sudah kasihan melihat Egi.

"Memang harus nunggu, Pak. Kecuali mau operasi."

"Mau operasi, Gi?" Tawar Brian.

Egi menggeleng, "Aku mau normal, Yang." Jawabnya lemah.

Brian hanya menggeleng, "Kita tunggu lagi, dok."

Dokter mengangguk kemudian pamit keluar. Katanya mereka akan ke sini setelah beberapa saat lagi. Syukurnya Egi sudah hampir mencapai bukaan sepuluh. Tinggal tunggu beberapa waktu lagi.

"Mau duduk?" Tawar Brian, Egi mengangguk.

Brian membantu Egi untuk duduk. Brian juga ikut duduk di sebelah Egi, mengelus perut Egi sambil sesekali merapalkan doa berharap kelahiran Egi dilancarkan.

"Ibu masih lama datang, ya?" Tanya Egi.

"Kayaknya bentar lagi. Sabar sebentar, ya."

Tepat setelah itu Davin dan Liana datang. Wajah Liana terlihat sangat khawatir. Ia langsung mendatangi Egi begitu Brian salim.

"Kata dokter gimana?" Liana menatap Egi dan Brian.

"Masih belum bukaan sepuluh, tapi katanya tunggu sebentar lagi." Jelas Brian.

"Bu..." Ujar Egi memelas.

"Gue ke depan sambil nunggu Mami Papi deh. Bu, Davin ke depan dulu ya." Pamit Davin.

Davin ingin memberikan ruang untuk Egi dan Liana.

"Iya, Nak." Jawab Liana.

Liana menyugar rambut Egi. "Maafin semua kesalahan yang pernah Egi buat ya, Bu. Maafin semua perkataan dan perbuatan yang bikin Ibu sakit hati juga. Egi mohon ampun sama Ibu." Egi menciumi punggung tangan Liana.

Renjana | ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang