24. Memikirkan

600 93 5
                                    

Egi terdiam menatap rooftop kantornya. Matanya memejam menikmati hembusan angin yang memberantakan rambutnya. Dinginnya malam itu atau gelapnya malam itu tidak membuatnya takut sama sekali.

"Ahh! Panas!" Pekik seseorang.

Egi tersentak kaget dan menoleh. Hera dengan dua cup kopi panas di tangannya yang sudah ia letakkan di bangku taman rooftop. Hera menyengir ketika mendapati tatapan heran dari Egi.

"Gue tanya anak-anak lo di mana, katanya di sini."

Hera memberikan salah satu cup kopi. Egi malah masih menatapnya heran. "Cepetan panas nih." Keluh Hera.

Buru-buru Egi mengambilnya dan mengucapkan terima kasih. Ia menyeruput kopi panas itu perlahan. Kehangatan langsung menjalar ke tubuh Egi.

"Lembur juga lo?"

"Iyalah. Gue kejar deadline demi biaya nikah nih." Hera tertawa keras.

"Iya sih yang udah mau lamaran."

"Lo sendiri?"

Egi menoleh karena tak paham pertanyaan Hera, "Lo sendiri kapan mau lamaran sama Pak Brian kayak gue?"

Egi langsung kaget, "Lo..."

Hera terkekeh, "Gue lihat lo gandengan tangan dari parkiran ke lift. Udah jadian kan? Gak mungkin gak jadian ya kalau udah gandengan gitu. Awww so sweet."

"Lo... lihat semuanya?"

Hera mengangguk, "Lo bercanda dan ketawa bareng." Hera senyum menggoda.

Melihat respon Egi membuat Hera tertawa keras lagi. "Gak usah nutup-nutupin lah kalau sama gue. Gue gak akan bocor kok ya walau gue ini ratunya gosip kantor."

Egi hanya menghembuskan napasnya. Mau bagaimana lagi kalau sudah ketahuan begini.

"Keren banget sih lo bisa dapetin Bapak Brian Pradipa."

"Lebay deh lo Ra."

"Beneran tahuuuu. Cewek-cewek di kantor pada bersaing mendekati Pak Brian, eh elo si anak baru diam-diam menghanyutkan udah jadian aja."

Egi hanya tertawa masam.

"Lo ada masalah ya?" Tanya Hera lagi.

"Masalah?" Egi menyerngit.

"Lo beberapa hari ini kelihatan murung mulu. Terus fokus kerja mulu. Sampai-sampai jarang banget bareng sama kita."

"Hahaha enggak kok. Perasaan lo aja kali." Elak Egi.

"Bukan cuma gue yang ngerasa, tapi satu divisi loh." Ini sudah tembakan telak bagi Egi.

"Masalah apa sih kalau gue boleh tahu juga? Siapa tahu lo perlu temen cerita." Kata Hera.

Mata Egi masih menerawang jauh melewati gedung-gedung tinggi lainnya yang bersaing dengan kantor mereka. Mendiamkan lama pertanyaan Hera, bahkan sampai kopi di tangannya berubah dingin.

"Kelihatan banget ya?"

"Banget Gi. Tiap hari lo murung mulu, kecuali rapat sama klien. Itu pun palsu deh senyum lo. Lo juga gak pernah nyapa orang-orang lagi. Jutek deh bawaannya." Jelas Hera menggebu.

"Curhat nih lo ceritanya gara-gara gue jutek?" Egi balik bertanya.

Hera terkekeh, "Ya gitu deh."

"Ya masalah biasalah."

"Kalau masalah biasa gak akan buat lo segini pusingnya deh kayaknya."

"Masalah keluarga lah."

Hera tersenyum kecil mendengar jawaban Egi. Egi memang masih enggan terlalu terbuka padanya, ia memaklumi. Apalagi mereka baru kenal, tidak mungkin Egi akan langsung berbicara banyak.

Renjana | ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang