Fourteen

1 0 0
                                    

Ian POV

Aku terduduk lemas diruang tunggu rumah sakit, menunggu mami yang sedang dalam perawatan didalam ruang IGD.

Aku tidak menyangka mami senekat ini karna menentang hubunganku dan Atika. Ah Atika aku baru ingat hari ini aku janji akan menjemputnya di kantor tempatnya training. Kulirik jam dipergelangan tanganku pukul 6:15, tadi pagi saat berbicara lewat telfon dia bilang kalau dia pulang jam 5 sore, pasti dia sudah pulang  kerumah tidak mungkin dia menungguku sampai satu jam.

Kurogoh saku celanaku dan mengambil ponsel bermaksud untuk menghubungi nya, kulihat sudah ada beberapa pesan dan panggilan dari Atika baru aku ingin membuka dan membalas pesan nya, seorang dokter keluar dari ruang IGD. Dengan cepat kumasukkan kembali ponsel ku kedalam saku lalu menghampiri dokter

"Dok mami saya gimana? Gak apa-apa kan?"

"Alhamdulillah, ibu Diana gak apa-apa. Beliau hanya sedikit syok dan beberapa luka dibagian lengan dan wajahnya" aku menghembuskan napas lega mendengar penjelasan dokter

"Saya boleh masuk gak dok?"

"Boleh. Silakan"

"Terimakasih dok" dokter pun pergi meninggalkanku setelah mempersilakanku masuk ke ruang IGD

Aku membuka pintu didepan ku perlahan lalu masuk dengan langkah pelan, mendekati tempat tidur dimana mami terbaring lemah. Kuraih tangannya dan menciumnya sambil berjongkok disamping nya, perlahan mami membuka mata lalu menatap ke arah ku, aku berusaha tersenyum

"Mami pikir kamu udah gak peduli lagi sama mami" mami berbicara dengan suara yang masih terdengar lemas

"Mami gak usah banyak bicara dulu. Keadaan mami masih lemas, lebih baik istirahat aja dulu bentar lagi mami dipindahin ke ruang rawat"

"Mami lebih baik mati daripada harus kehilangan anak mami satu-satunya" ucapnya lemah dan meneteskan airmata

"Ian gak peenah berpikir buat ninggalin mami"

"Tapi kamu lebih memilih perempuan itu daripada mami" air mata nya semakin deras membasahi pipi putihnya

"Gak mi, mami dan Atika adalah dua perempuan yang paling Ian sayang, berharga di hidup Ian. Ian gak pernah berpikir untuk meninggalkan mami begitupun Atika" wajah mami memerah kemudian bangun dan mencabut paksa jarum infus yang tertancap di punggung tangannya

"Lebih baik mami mati daripada harus mempunyai menantu yang berbeda kasta dengan kita" tidak memperdulikan darah yang menetes di punggung tangannya, mami berusaha berjalan keluar meninggalkan ku meski tertatih karena keadaan nya yang masih lemas pasca kecelakaan tadi

Aku berdiri dan mencoba mengejar mami tapi papi yang baru saja muncul dari balik pintu IGD lebih dulu menahan mami yang ingin meninggalkan ruangan ini

"Eh mami mau kemana?" Tanya papi begitu melihat mami dan lansung mendekapnya

"Mami gak mau disini, lebih baik mami mati daripada harus menahan aib" aku yang mendengar nya hanya mengusap wajah kasar, tidak tau harus berbuat apalagi

"Aib? Aib apa mi?" Papi yang baru saja tiba jelas tidak mengerti situasi yang sedang ia hadapi

"Lepas! Lepasin mami, mami mau pergi" mami yang terus-terusan memberontak dalam dekapan papi tidak masih tidak mempedulikan tetesan darah dipunggung tangan nya bekas tancapan jarum infus

"Maaf ini ada apa? Tolong jangan buat keributan di ruang IGD" salah seorang perawat menghampiri kami

"Sus, tolong bantu. Mami saya mencoba kabur" aku menjelaskan singkat dan perawat itu pun mencoba membantu kami memapah mami menuju tempat tidurnya dan terus memberontak.

Perawat tadi meninggalkan kami berlalu ke meja piket dan kembali dengan membawa sebuah suntikan baru dan sebotol cairan kecil, ia pun mengisi suntikan dengan cairan lalu dengan cepat dan hati-hati menyuntikkan cairan itu ke lengan mami dan beberapa detik setelahnya mami melemas dan berhenti memberontak hingga tertidur. Perawat pun kembali memasangkan jarum infus baru di punggung tangan mami yang kanan lalu pamit kembali ke meja piket

Setelah mami terlihat tidur tenang, papi mengajakku keluar. Kami pun duduk berdampingan diruang tunggu depan ruang IGD, papi menatap ke arah ku meminta penjelasan dan aku mencoba menetralkan perasaan dengan menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan

"Ian gak tau dan benar-benar gak ngerti apa yang buat mami jadi berubah pikiran dan jadi benci sama Atika" aku kembali menghela napas berat, dadaku benar-benar sesak memikirkan jalan keluar masalah rumit ini
"Mami dengan keras menentang hubunganku dengan Atika dan tiba-tiba jodohin aku dengan anak temen nya" papi menepuk pundakku pelan lalu menghela napas

"Sebaiknya kamu turutin apa mau mami kamu, hari ini saja mami sudah terlalu nekat" aku tersentak mendengar tanggapan papi

"Aku kira papi akan mendukungku, membantu aku meyakinkan mami untuk merestui hubunganku dengan Atika"

"Papi takut kalau kamu terus-terusan menentang mami, mami akan melakukan hal yang lebih nekat lainnya" papi membalas menatapku lekat, ada kesedihan di mata yang biasa nya menatap tegas itu

"Kamu mau kemana?" Tanya papi ketika melihatku bangkit dari duduk

"Aku mau sendiri dulu. Kalau mami bangun dan nyari aku, papi bilang aja aku pulang ganti baju" aku berbalik dan berjalan meninggalkan papi yang masih duduk terdiam menatapku berjalan menjauh.

Aku berjalan gontai menyusuri koridor rumah sakit berjalan ke arah parkiran dan melihat pak Haris-sopir papi duduk ditepi area parkir sambil merokok, aku menghampirinya dan meminta kunci mobil padanya, meskipun sempat menolak karna takut papi akan mencarinya tapi aku berusaha meyakinkan nya bahwa papi malam ini akan menginap untuk menjaga mami di rumah sakit dan menyuruhnya untuk pulang saja.

Aku masuk ke mobil, menyandarkan kepala pada jok kemudi setelah menutup pintu. Membayangkan senyuman Atika sejurus kemudian berganti dengan wajah merah padam mami, aku memukul setir kemudi dihadapan ku berharap bisa melampiaskan kekesalanku terhadap takdir yang dengan mudah dan cepat mempermainkan ku

Aku menyalakan mesin mobil lalu mengendarainya keluar dari area parkir dan menjauh dari gedung rumah sakit, aku mengendarai mobil menuju rumah Gibran-sepupu sekaligus sahabatku sejak kecil. Aku tidak ingin pulang malam ini, aku ingin menenangkan pikiranku, aku ingin bercerita pada Gibran berharap menemukan solusi dari perkara rumit ini.

🖤🖤🖤

Enjoy HIU 😘🤗

Hope Is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang