PROLOG

5.4K 682 590
                                    

"Atan selalu jadi bidadarinya Bang Awan. Atan akan selalu sayang sama Abang, walaupun dua orang itu memisahkan kita."

Saat semua hal-hal yang tidak di inginkan terjadi, apa yang kalian lakukan? Berdiam diri untuk para bocah, bertindak untuk para remaja. Lalu, bagaimana untuk menyelesaikan masalah jika umur belum mencapai 10 tahun? Berdiam diri meratapi nasib. Apa yang terjadi, Tuhan?

Dia masih kecil, masa kecil berakhir dengan buruk. Apa Tuhan akan menggantinya menjadi kebahagiaan suatu hari nanti? Ini sulit untuk dijalani, gadis kecil yang imut berlarian mendekati lelaki yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

"Atan boleh duduk gak, Bang?" tanyanya dengan senang hati.

"Boleh, Kok."

Nathania Angela gadis kecil dengan usia enam tahun, sedangkan Bang Awan berusia delapan tahun. Mereka saling bertatap, melontarkan senyuman indah pada keduanya. Nathania berdehem pelan dengan bersenyum tak henti-hentinya. Bang Awan tampan dimata gadis ini.

"Bang, kalo udah gede, Atan akan terus jadi bidadarinya Bang Awan 'kan? Iya 'kan? Iya dong, Bang!" serunya. Nama panggilan dalam keluarga adalah Atan, gadis kecil yang cerewet bertingkah sama seperti Awan.

"Akan selalu," jawab Awan dibalas dengan senyuman manis terukir dari bibir kecil gadis itu.

"Iya, ya? Awas aja bohong! Dosa tau!" balas Nathania.

"Iya Atan, iyaaaaa!" geram Awan menahan kekesalannya.

"Bang, kalo udah gede. Abang suka sama cewek harus bilang dulu sama Atan, kalo gak bilang, ntar gak Atan restuin!" Awan tersenyum menatap adiknya dengan gemas.

"Iya, bidadari kecilnya Abang." lelaki ini mengacak-acak rambut adiknya.

"Bang, apapun yang terjadi nanti, kita harus sama-sama terus, ya? Atan gak mau pisah apalagi jauh-jauh dari Abang, Atan sayang sama Abang," ujar Nathania menatap mata Awan lekat.

Prank!
Terdengar suara pecahan piring dari arah dapur membuat Nathania dan Awan menghampiri sumber suara. Namun, langkah kaki kecil mereka terhenti saat melihat kedua orang tuanya sedang bertengkar hebat.

PLAK! Titin Fatriwi menampar pipi kanan Beni Triandi, sepasang suami-istri yang selalu bertengkar. "Berani-beraninya kamu ngeduain aku?!" Beni tersenyum sinis padanya.

"Aku ngeduain kamu, karena kamu terlalu sibuk dengan urusanmu sendiri. Sampai kamu lupa untuk memberi kasih sayang pada anak-anak!" sergah Beni.

"Ma," panggil Nathania pada Titin yang sedari tadi menangis tak henti-henti.

"Mama sama Papa berantem lagi? Gak capek, ya berantem terus? Awan yang liat aja capek. Bosen," sahut Awan.

"Awan, kalian itu masih kecil. Kalian gak tau apa-apa," kata Beni dengan suara lembut pada Awan.

"Dan kamu Titin, mulai detik ini, kamu aku talak!" suara lantang itu keluar dari mulut Beni.

"Kamu gila?! Nathania sama Awan masih kecil, mereka gak pantes diginiin!" balas Titin tak terima.

"Kita mempunyai dua anak. Satu punyamu, dan satu punyaku," jawab Beni.

"Okeh! Nathania, aku yang bawa!" bentak Titin menarik tangan mungil Nathania yang sedari tadi digenggam oleh Awan.

"Silakan! Rumah ini aku berikan untuk Nathania, dan sisa buku rekening simpanan punyaku. Itu semua untuk Nathania!" balas Beni menggendong Awan lalu beranjak pergi dari wajah Titin yang memuakkan.

"Papa!" jerit Nathania mengikuti langkah Beni dari belakang. Gadis ini menjatuhkan air matanya, air mata yang jatuh karena seorang Ayah dan Abang berpamit untuk pergi.

Beni menurunkan Awan dan menundukkan tubuhnya untuk menatap jelas putri kecilnya ini."Atan jangan nangis, Atan gak sendirian di sini. Bang Awan punya temen, namanya Steven Gioliem. Anak komplek sebelah," ujar Beni.

"Hmmmm, Papa bawa Bang Awan kemana?"

Beni memeluk erat Nathania,"Kita pergi ke London," jawabnya.

"Jauh banget!" seru Nathania membuat telinga Beni sakit mendengarnya. Beni melepaskan pelukan itu dan membiarkan Awan mendekati Nathania.

Awan memeluk adiknya, bocah tengil ini juga menjatuhkan air mata."Gak bakal lama, kok. Abang akan kembali, tapi bukan sekarang. Steven itu baik, Atan harus sama dia terus, ya?"

Perlahan Awan melepaskan pelukan itu. Lelaki ini mengeluarkan kalung dengan mainan kecil berbentuk love putih terisi dengan foto mereka berdua. Foto berseragam tentara cilik, saling memegang pistol mainan. Nathania menerimanya dengan senang hati, pandangan gadis ini tidak beralih lagi saat sudah menatap foto dikalung itu.

"Itu kenangan," ucap Awan. "Kalo kita gak ketemu lagi, itu hadiah terakhir dari Abang."

"Kita pasti ketemu, Atan bakal cari Abang. Walaupun harus keliling dunia," jawab Nathania tersenyum pada Awan.

Beni kembali menggendong Awan dan memasukki mobil mewah mereka. Kini, tinggal kenangan di sini. Apa dia akan kembali lagi? Tuhan, jangan lama-lama buat pertemukan Nathania dan Awan. Hampir tidak terlihat lagi, gadis ini masih berdiri di depan rumahnya.

"Abang bener-bener pergi." batin Nathania.

•••

Author Note: Cerita berjudul Tentang Nathania yang sedang kalian baca sekarang ini adalah karya kedua. Karya pertama berjudul 'The Story Of Eight Student' sudah dihapus total dari platform menulis manapun termasuk note hp.

Cerita Tentang Nathania dibuat karena pada saat itu terus terang merasakan kebosanan, agustus 2019. Langsung nulis, tanpa belajar lebih dalam tentang kepenulisan, KBBI dll.

Sudah dipikirkan bulat-bulat enggak ada ujungnya untuk 'tidak menerbitkan cerita acakan ini' alasannya adalah ... biar semua orang tau karyaku yang pertama ataupun kedua, tidak sempurna. Semua dimulai dari nol, sendirian, bangkitkan rasa percaya diri, dan hapus keraguan.

Semua ada prosesnya.

Btw, note yang ini ditulis pada tanggal 20/08/21

•••

Tentang NathaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang