Enam

48 7 3
                                    

Hari sabtu. Itu tandanya hari ini Zia akan pergi ke puncak bersama Kenan. Semalam saat Zia bertukar pesan dengan Kenan, cowok itu berkata akan menjemput Zia pada pukul delapan pagi. Saat Zia bertanya lebih jauh soal tujuan mereka, Kenan tidak mau memberi tahu meski sudah dipaksa. Dan karena Zia malas berdebat dengan Kenan, jadilah ia berhenti bertanya.

Sekarang sudah pukul setengah delapan. Zia sudah siap dengan kaus hitam yang dibalut kardigan juga celana kulot. Sambil menunggu Kenan datang ia membalas pesan dari Alita dan Niki yang masih saja membahas tentang dirinya dan Kenan. Zia sudah pasrah apabila akan terus diledek oleh mereka asal dengan syarat mereka tidak membocorkannya pada siapapun.

Begitu pesan dari Kenan muncul yang mengatakan bahwa ia sudah sampai, Zia pamit pada mamanya dan keluar rumahnya. Zia menghampiri Kenan di depan rumahnya yang sedang bersandar pada motornya. Sementara Kenan yang menyadari ada seseorang yang mendekatinya lantas mengangkat kepalanya yang sebelumnya tertuju pada ponsel.

Kenan mengerutkan keningnya bingung melihat Zia yang datang tanpa membawa helm. “Lo pergi jauh nggak pake helm?” tanyanya heran.

“Pake dong. Kalo nanti ditilang gimana?”

“Terus helmnya mana?”

“Loh kirain lo bawa buat gue, Nan.”

“Lah ngapain?”

Zia mendengkus sebal mendengar jawaban Kenan. Lantas ia berbalik lagi ke dalam rumahnya untuk mengambil sebuah helm. Saat Zia kembali Kenan sudah siap di atas motornya. Segera saja ia memakai helmnya itu dan naik ke motor Kenan.

“Udah?”

“Udah, ayo!”

Selama perjalanan tidak banyak percakapan antara Kenan dan Zia karena keduanya juga bingung ingin membahas apa. Namun, di dalam pikirannya Zia penasaran sebenarnya tujuan utama perjalanan mereka itu ke mana? Karena jujur saja Zia tidak tahu sekarang mereka lagi berada di jalan mana.

Motor yang dikendarai Kenan berhenti ketika lampu merah. Tak bisa membendung penasarannya, Zia akhirnya bertanya, “Kita mau ke mana sih, Nan?”

“Ke Bogor.”

Zia memutar bola matanya, merasa sebal dengan jawaban Kenan. “Iya tau gue, tapi kan Bogor luas banget, Nan...” jawabnya gemas.

“Ke Curug Cilember mau nggak?” tanya Kenan sambil menengok ke belakang.

“Ke Curug, Nan? Air terjun dong?” Zia tentu kaget mendengarnya karena ia pikir Kenan tidak akan mengajaknya ke tempat yang ada airnya. Masalahnya Zia tidak ada persiapan apa-apa. Ia tidak bawa baju ganti, ia juga hanya memakai flatshoes yang tidak cocok untuk dipakai di tempat ekstrem seperti Curug.

Saat Zia masih diam dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba Kenan melajukan motornya dengan kencang hingga Zia terhuyung ke depan dan refleks memegang pinggang Kenan. Kemudian setelah tenang dari keterjutannya, ia menepuk pundak Kenan dengan keras sambil mengomelinya.

***

Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, khususnya bagi Zia yang kini bokongnya sangat pegal, akhirnya sampai juga mereka di Curug Cilember. Begitu sampai Kenan berkata untuk istirahat terlebih dahulu di sebuah tempat makan yang berada di sana sebelum nantinya mereka akan naik menuju air terjun yang ada di curug tujuh dan enam.

Zia duduk di salah satu kursi di sana sambil mengusap peluh di dahinya, sementara itu Kenan memesan minuman untuknya dan Zia. Sesudahnya Kenan kembali dengan membawa dua minuman, disodorkannya salah satu minuman itu ke hadapan Zia. Zia mengernyit bingung ketika menemukan sandal jepit yang masih baru ada di depannya.

Past and Present ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang