Dua

43 6 2
                                        

"Maaf kalo sampe saat ini, gue belum bisa balikan sama lo. Gue tau banget lo masih berjuang buat gue. Tapi, gue juga nggak bisa maksain perasaan gue."

Setelah putus dan menyadari perasaannya tak lagi sama untuk seseorang yang kini sedang duduk di depannya, Zia Saira terus menyelipkan kata maaf dan terima kasih padanya. Terima kasih untuk semuanya dan maaf juga untuk semuanya. Begitu pula dengan Aiden yang akan mengatakan hal yang sama. Hingga tak terhitung berapa kali kata itu terucap.

Zia tidak menyesalkan kisah mereka, namun kata maaf itu ditujukan untuk sikapnya yang tidak bisa menerima Aiden kembali sebagai kekasih, seperti dulu. Ia tidak ingin memaksa perasaannya sendiri karena bila ia menerima ajakan balikan Aiden dengan terpaksa, bukankah itu juga akan menyakiti Aiden? Jadi, Zia lebih memilih untuk mereka berteman saja. Meski kadang Zia sering merasa dirinya masih suka bergantung pada Aiden.

Zia tidak tahu apakah Aiden menyadari perasaaannya untuk Aiden berubah atau tidak. Zia tidak pernah mengatakan secara jelas kalau perasaannya sudah berubah seiring berjalannya waktu. Menurutnya, banyak faktor kenapa mereka tidak bisa kembali menjalin hubungan, salah satunya adalah karena ego masing-masing yang sama-sama kuat.

Setelah Aiden menjawab tidak tahu pada pertanyaan yang Zia lontarkan sebelumnya, Zia membalasnya dengan kalimat maaf tadi. Aiden tersenyum mendengar balasan Zia, yang sejujurnya membuat hatinya teriris. "Nggak apa-apa, Zi. Gue tau kok," balas Aiden.

Pesanan datang setelahnya, membuat mereka mau tidak mau menghentikan obrolan itu. Aiden yang tidak ingin berlarut-larut dalam kecanggungan kembali membuka topik obrolan lain di sela-sela mereka makan. Keduanya memilih pulang ketika sudah selesai makan karena Aiden berkata ada janji setelah ini.

"Makasih ya, Den. Hati-hati di jalan. Kabarin kalau udah sampe," ucap Zia setelah memberikan helm yang dipakainya pada Aiden.

"Sama-sama. Salamin ya buat Tante."

Zia mengangguk. "Iya, nanti disalamin."

Kemudian motor Aiden melaju meninggalkan rumah Zia yang berlantai dua itu. Zia masuk ke rumahnya setelah Aiden sudah tidak terlihat lagi. Di dalam mamanya terlihat sedang sibuk berkutat di dapur tengah membuat kue bolu. Sebelumnya memang mamanya cerita pada Zia akan membuat kue untuk dibawa ayahnya ke kantor. Namun, Zia tidak tahu ada acara apa di kantor ayahnya karena mamanya tidak memberi tahu.

"Mama."

Mama Zia terlonjak kaget mendengar seseorang memanggilnya. Karena terlalu sibuk mencampurkan adonan ditambah suara mixer yang nyaring, jadi tidak mendengar anaknya datang. "Kaget Mama."

"Aku udah salam padahal," jawab Zia. Ia melirik pekerjaan mamanya kemudian terpikir untuk membantu, akan jadi anak durhaka ia kalau malah santai-santai saja. "Aku mau bantuin dong, Ma."

"Bantuin apa? ini udah mau selesai kok," jawabnya dengan fokus masih pada adonan kue.

Zia mengerucutkan bibirnya. Giliran ia ingin membantu malah tidak ada yang harus dikerjakan. Nanti saat ia santai malah dibilang tidak mau membantu, serba salah memang. "Bantu apa kek gitu, nanti aku dibilang ngga bantuin Mama kalo ngga kerjain apa-apa."

"Ya, udah itu ambil loyang yang bulet itu terus dikasih mentega."

Zia langsung bergegas mengambil loyang seperti yang disuruh mamanya. Sambil melapisinya dengan mentega, ia teringat salam dari Aiden untuk mamanya. "Mama tadi ada salam dari temen aku."

"Yang anterin kamu?"

Zia hanya bergumam membenarkan. Keduanya tidak saling menatap karena fokus dengan pekerjaan yang sedang mereka lakukan. Mama Zia selesai mencampurkan adonan itu kemudian mengambil loyang tadi untuk dimasukkan ke sana. Setelahnya mamanya memasukkan ke dalam oven yang berada di dekat Zia.

"Buat apa sih, Ma? Ini kan hari sabtu, emang Ayah kerja?" Zia duduk di kursi meja makan sambil memperhatikan mamanya yang bergerak ke sana kemari.

"Ada acara di kantor Ayah. Mama mau kasih ini gitu lho." Mamanya lanjut membersihkan alat-alat yang digunakan untuk membuat kue. "Kamu udah makan? Beli aja sana, Zi. Mama belum masak soalnya Ayah juga pasti makan di sana." Mama Zia menoleh sebentar untuk melihat anaknya.

"Aku udah makan tadi. Ya, udah aku ke kamar dulu ya, Ma."

***

"Gue sebel banget sama Kenan. Kenapa sih dia nggak pedulian banget orangnya. Gampang banget nyuruh-nyuruh tau nggak?!"

Suara yang tidak kecil itu membuat beberapa orang menoleh ke sumber suara. Mereka sudah hapal sebenarnya akan suara siapa itu, tetapi tetap refleks melihat. Begitu juga dengan Zia yang melihat orang itu, yang sekarang ini sedang duduk di kursi menghadap ke arahnya. Terlihat muka salah satu sahabatnya itu yang sangat tidak enak sekali dipandang.

"Kenapa lagi Kenan?" tanya Zia santai. Ia sudah terbiasa mendengar omelan nyaring dari Niki. Apalagi kalau menyangkut Kenan, teman sekelas mereka. Padahal Niki dan Kenan ini sudah kenal hampir seumur hidup mereka. Kenan dan Niki tetanggaan, tetapi malah jarang akur. Kebanyakan Niki yang sebal dengan sikap Kenan yang acuh dan kadang suka menyuruh-nyuruh.

Menurut Niki dan beberapa teman perempuan lain, Kenan itu sebegitu tidak pedulinya pada orang. Dia tidak dingin atau anti sosial, tetapi memang cuek dan kadang suka tidak mau apabila dimintai tolong. Beberapa dari mereka juga mengaku sering sakit hati mendengar ucapan Kenan.

"Ah, udahlah males gue ngomongin dia." Sahabatnya itu kemudian menempelkan kepalanya di meja sembari bermain ponsel. Beberapa menit tidak ada yang bersuara, Zia juga tidak ingin bertanya lebih jauh. Hingga kemudian Niki mulai berbicara lagi. "Kenapa gitu kalo lo yang ngomong dia pasti nurut-nurut aja? Bingung tau gue. Makanya kalo lagi terdesak pasti lo yang kita suruh buat ngomong sama Kenan. Ya, karena lo orangnya sabar kali ya makanya bisa jinakin dia."

Zia mendelik pada Niki, dikira hewan apa pakai dijinakin segala. Meski sebenarnya ia membenarkan apa yang diucapkan Niki. Kenyataannya memang begitu, kadang Zia memang disuruh oleh teman-temannya untuk sekadar bicara pada Kenan. Zia juga merasa kalau saat berbicara dengannya, Kenan itu tak seperti yang dibicarakan teman-temannya. Meski begitu Zia tetap tahu kok bagaimana sikap buruk Kenan. Hanya saja bila bersama Zia lebih banyak baik-baiknya, dalam artian biasa saja tidak seburuk itu.

Entahlah, mungkin benar yang dibilang Niki. Namun, di satu sisi karena ia mengerti kalau sebenarnya Kenan itu baik, hanya caranya berkata saja salah.

Zia mengedarkan pandangan ke sekeliling kelasnya. Hingga tatapannya itu berhenti saat melihat Kenan yang tengah bermain ponsel bersama teman laki-lakinya yang lain. Mereka berkumpul di belakang dekat tembok yang biasanya dipakai juga untuk rebahan. Tidak ada perasaan apapun melihat Kenan, bukan baru kemarin mereka kenal, tetapi sudah dari kelas sepuluh hingga kini sebelas di kelas yang sama.

Sebuah notifikasi chat membuat Zia memutus pandangannya pada Kenan dan beralih melihat pesan itu. Sebuah pesan penawaran dari seseorang yang merupakan cinta monyetnya jaman SMP.

AidenW
Mau dijemput nggak, Zi?

***

Past and Present ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang