Empat puluh (END)

39 2 8
                                    

Hawa sejuk Kota Bandung di malam hari tak membuat orang-orang yang tinggal di sini atau para pelancong meredupkan semangatnya untuk berjalan-jalan. Menikmati keindahan malam hari Kota Bandung ditemani jajanan pinggir jalan yang rasanya tak mampu dicoba semua. Begitu banyak pedagang yang menjual beragam makanan, mulai dari yang berat hingga yang ringan. Setiap orang yang ke sini sudah pasti tidak akan melewatkan acara kulineran.

Di hari kedua ini, mereka sempat mengunjungi perkebunan teh di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali. Ide ke kebun teh itu awalnya tercetus dari Aldo yang ingin sekali melihat hamparan kebun teh. Katanya, selama ini ia hanya melihatnya di tayangan FTV dan ingin melihat langsung. Usul itu disetujui oleh yang lainnya.

Kini Zia dan yang lain baru pulang sehabis berburu makanan dan belanja oleh-oleh karena besok mereka sudah harus pulang. Yang perempuan memilih langsung masuk ke dalam kamar untuk bersih-bersih. Sedangkan para lelaki masih duduk-duduk di ruang tengah. Bayu masih sibuk memakan jajanannya bersama Aldo, Reza yang sedang rebahan di sofa panjang, Kenan duduk memainkan ponselnya di sofa yang lain. Mas Indra masih duduk di luar karena ingin menelpon kekasihnya.

Zia keluar kamar setelah berganti pakaian menjadi celana panjang dan kaus juga jaket. Ia berpikir, mereka tidak akan mungkin tidur secepat itu meski jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Maka Zia memilih memakai jaketnya karena ia kurang suka dingin.

Begitu keluar kamar, ponsel yang berada di genggamannya berdering. Ketika dilihat ternyata ayahnya yang menelpon. Ia sedikit cepat berjalan keluar melewati orang-orang yang ada di ruang tengah itu. Sampai di luar ternyata Mas Indra masih ada di sana sedang duduk memainkan ponselnya.

"Kok keluar, Zia?"

"Mau angkat telpon Ayah, Mas," jawabnya sambil mengangkat sedikit ponselnya. Setelah itu Mas Indra beranjak ke dalam karena tidak ingin mengganggu Zia.

Obrolan itu tidak jauh dari pertanyaan layaknya seorang ayah yang sedang jauh dari anaknya. Terakhir Ayahnya bertanya besok pulang jam berapa pada Zia. Setelah lima belas menit sambungan telepon itu terputus.

Zia dikagetkan dengan kehadiran Kenan di belakangnya saat Zia berbalik badan hendak masuk ke dalam. Kenan berdiri di sana dengan pakaian yang sudah berganti. Zia berjalan menuju pintu yang ada di belakang Kenan. Namun, sebelum itu panggilan dari Kenan menghentikan langkahnya.

"Bisa ngobrol bentar ngga, Zi?" Kenan bertanya usai Zia sepenuhnya melihat ke arahnya.

"Boleh kok. Mau ngobrol apa?"

"Kita jalan-jalan aja sekitaran villa ini, yuk!" Zia hanya bisa menurut dengan ajakan Kenan. Ia tidak berpikir macam-macam ketika itu, toh masih di sekitaran villa kan.

Mereka berjalan bersisian di bawah langit gelap Kota Bandung. Zia sesekali merapatkan jaketnya untuk menghalau hawa dingin yang menerpa. Dalam hatinya ia bertanya-tanya ingin ke mana tujuan mereka sebenarnya. Dari tadi berjalan, tetapi Kenan belum juga mengeluarkan suaranya.

Zia yang tidak tahan untuk diam saja lalu membuka mulutnya siap untuk bertanya, namun sebelum itu Kenan sudah memotongnya. "Kita duduk aja di sini ya." Zia melihat memang ada bangku taman di dekat mereka.

Diam lagi. Ya, meski Zia anaknya tidak banyak bicara, tetapi kan hanya diam seperti ini juga tidak enak. Zia melihat Kenan yang sesekali menarik napasnya seperti sedang gugup. "Ini mau ngapain sih sebenernya?" Zia berucap dalam hati.

"Gue bingung mau ngomongnya gimana." Terlihat Kenan yang menggaruk kepalanya dan meringis kecil.

"Ngga apa-apa, Nan. Ngomong aja." Kenan saja bingung, apalagi Zia coba.

"Gue ceritain dari awal aja deh ya," Kenan berhenti sebentar untuk melihat respon Zia yang hanya mengangguk. "Dari awal gue kenal lo, gue ngga ngerasa ada hal yang spesial sampe gue harus merhatiin lo terus. Ya meskipun lo sebenernya bukan orang biasa juga sih. Secara lo juara kelas gitu kan."

Past and Present ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang