Aiden berbalik badan ketika merasa pintu di belakangnya dibuka dan menampilkan seseorang yang ia sangat rindukan. Setelah berbulan-bulan lamanya tidak bertemu, Zia masih tetap sama di matanya. Raga Zia memang masih sama dan tak pernah berubah, namun Aiden tahu hatinya sudah berubah sejak lama. Aiden tersenyum saat Zia berjalan mendekatinya dengan raut wajah bingungnya yang kentara.
"Hai, Zi!"
Zia sudah berada tepat di hadapannya lalu membalas sapaan Aiden dengan canggung. "Hai, Den. Ada apa ya?"
Aiden mengusap tengkuknya terlebih dulu sebelum menjawab, "Ngga apa-apa, sih. Cuma mau ngasih ini." Aiden menyerahkan bungkusan yang dari tadi ia bawa, namun luput dari pandangan Zia. Isinya tentu saja sesuatu yang menjadi kesukaan Zia Saira.
Zia mengambil bungkusan itu dan melihat isinya. "Ini buat gue?" Zia mendongak untuk melihat Aiden karena tingginya yang jauh berbeda dengan Aiden.
"Iya buat lo." Aiden terdiam sebentar sambil memikirkan ucapan yang akan ia katakan selanjutnya. "Sebenernya gue mau minta maaf sama lo," ujarnya. Aiden melihat Zia mengernyit seperti tidak paham apa maksudnya.
"Maksudnya apa, Den?" Sebelum Aiden menjelaskan maksudnya, Zia mempersilakan Aiden untuk duduk di kursi teras setelah ia sadar kalau mereka masih berdiri sejak tadi. Juga karena Zia merasa obrolan ini akan panjang, maka akan melelahkan kalau mereka tidak duduk. Aiden duduk di sebelah kiri dan Zia di sebelah kanan dengan meja yang memisahkan mereka.
"Gue ngerasa perlu minta maaf soal kejadian waktu itu. Gue sadar kalo saat itu gue emosi dan jujur gue takut kalo lo benci sama gue."
Aiden takut dengan kemungkinan Zia membencinya atas segala hal yang sudah ia lakukan. Maka dari itu, Aiden melakukan ini semata-mata untuk menebus rasa bersalahnya pada Zia. Bagaimanapun juga dari dulu Aiden sudah sadar Zia sudah mengirimkan sinyal-sinyal yang memperlihatkan ketidaksukaannya pada Aiden. Zia juga sering memberi tahunya untuk move on, namun itu merupakan hal yang sulit ia lakukan. Alhasil Aiden terus mengikat Zia karena ia begitu takut gadis itu menjauhinya. Alasan kedatangannya menemui Zia karena ada satu hal lagi yang ingin ia sampaikan karena bisa saja ini menjadi pertemuan terakhir bagi mereka.
"Ngga, Den. Gue ngga benci dan gue juga udah maafin lo. Sempet gue marah, tapi lo tau kan gue gimana. Gue ngga bisa marah lama sama orang," Zia tersenyum kecil. "Lagian setelah gue pikir lagi, bukan cuma lo yang salah. Tapi, gue juga salah, Den. Kita berdua punya kesalahan masing-masing," lanjutnya.
Aiden mengangguk setelah Zia menyelesaikan ucapannya. Dirinya juga baru sadar kalau bukan hanya Aiden saja yang merasa bersalah, namun Zia juga merasakan hal yang sama. Mereka sama-sama egois dan tidak ingin mengalah satu sama lain. Aiden tidak ingin Zia pergi meninggalkannya, tetapi cara yang diambil Aiden salah dan Zia yang tidak jujur pada apa yang selama ini ia rasakan.
"By the way, Zi. Sebenernya tujuan gue ke sini juga karena gue mau ngasih tau lo sesuatu."
"Apa?"
"Ini saatnya, Den," ucap batinnya. Aiden menguatkan hatinya lalu menghela napasnya sebentar. "Mungkin ini jadi pertemuan terakhir kita yang disengaja. Karena setelah ini gue janji ngga akan hubungin lo lagi. Gue ngga akan ganggu lo lagi. Kedatangan gue ke sini selain mau minta maaf dan mastiin lo ngga benci sama gue, juga karena gue mau pamit."
Sejak Aiden berkata janji, Zia merasa pandangannya buram oleh air mata, namun sebisa mungkin ia tahan. Ketika Aiden berkata akan pamit, Zia melebarkan matanya terkejut akan ucapan Aiden. "Maksud lo apa, Den?"
"Masih lama sih emang. Tapi, gue mau pamitnya sekarang," Aiden terkekeh. "Gue berencana kuliah di luar kota, Zi. Makanya gue ke sini mau pamit sama lo." Aiden tersenyum mengakhiri ucapannya.
Zia termenung beberapa saat sampai Aiden memanggilnya dan melambaikan tangannya barulah gadis itu tersadar. Zia melihat Aiden yang juga masih sama seperti terakhir bertemu kecuali tambahan kacamata yang bertengger di hidungnya. "Kenapa, Den?" tanya Zia.
"Emang udah rencana dari dulu sih. Kuliah maunya di luar kota gitu. Nyari pengalaman juga sama belajar mandiri."
"Kenapa harus pamit sekarang?"
Aiden menaikkan salah satu alisnya. "Karena mau nanti atau sekarang ngga ada bedanya, Zi. Gue tetep akan pergi. Lagian sekarang kan lagi sibuk-sibuknya ujian, ini aja gue sempetin ke sini." Aiden menjelaskan yang dibalas Zia dengan anggukan saja.
Beberapa saat kemudian obrolan sudah tidak secanggung tadi dan mengalir begitu saja. Membahas rencana kuliah Zia, sharing tentang ujian, dan hal lainnya. Terlalu senang bisa mengobrol dengan Zia membuat Aiden lupa kalau ini sudah malam dan rasanya tidak baik berduaan seperti ini.
"Gue balik ya, Zi. Udah jam segini soalnya." Aiden berdiri dan sedikit merapikan bajunya yang membuat Zia juga ikut berdiri.
"Hati-hati di jalan, Den."
Aiden berbalik badan hendak menuju motornya, namun seperti teringat sesuatu ia berbalik lagi menghadap Zia. "Oh iya, Zi. Ini emang pertemuan terakhir kita, tapi kalo nanti kita ketemu lagi di tempat lain, mungkin artinya takdir Tuhan masih sama kita. Hubungin gue kapanpun lo butuh gue ya. Gue masih orang yang sama kok. Satu lagi, kalo nanti kita ketemu ngga sengaja panggil gue aja ngga usah malu." Aiden tertawa lalu melambaikan tangannya pada Zia. Sementara itu, Zia hanya tersenyum dan membalas lambaian tangan Aiden.
Di malam dingin penuh bintang di atas sana, keduanya sama-sama mengucapkan terima kasih dan maaf yang biasanya mereka lakukan. Dalam jarak yang membentang keduanya berusaha melepas kepergian masing-masing. Keduanya sama-sama hanya bisa menyerahkan keputusan pada yang Maha Kuasa. Mengenai takdir setiap manusia memang tidak ada yang pernah tahu, maka yang patut dilakukan manusia hanya berusaha dan menyerahkan segala sesuatu pada-Nya.
Seperti halnya Aiden yang pada akhirnya belajar untuk mengikhlaskan Zia. Ia belajar untuk ikhlas bukan untuk melupakan. Karena seperti nasihat yang didengarnya, sekeras apapun kita mencoba untuk melupakan, kita tak akan bisa lupa dengan apa yang sudah kita alami baik hal yang baik maupun yang buruk. Aiden menempatkan Zia pada salah satu sisi ruang di hatinya yang mungkin tak akan bisa digantikan oleh siapapun. Karena baginya, mengenal Zia adalah salah satu takdir terindah yang diberikan Tuhan padanya.
Apabila kita mencintai seseorang, namun takdir Tuhan berkata lain maka yang harus kita lakukan adalah melepaskannya terlebih dahulu. Kalau seseorang itu memang ditakdirkan untukmu, bagaimanapun caranya Tuhan pasti akan menyatukan kembali. Jika tidak tandanya dia memang bukan untukmu dan tentunya Tuhan pasti akan menggantikan dengan yang lebih baik.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Past and Present ✓
Teen Fiction"Segitunya ngga ada gue ya, Zi, di hati lo? Segitunya ngga ada gue di pikiran lo? Bertahun-tahun gue usaha buat lo, chat lo setiap hari, kasih perhatian buat lo, nurutin kemauan lo tanpa lo bilang ke gue, tapi ternyata emang gue ngga ada ya sedikitp...