Dua puluh sembilan

18 4 2
                                    

Setelah kejadian itu, Zia berniat untuk mendatangi Kenan dan berbicara padanya. Zia merasa perlu untuk minta maaf dan meluruskan itu semua. Entah, tapi Zia langsung terpikir seperti itu. Namun, niat hanya tinggal niat karena kenyataannya ia justru sibuk selama seminggu ini. Mengerjakan tugas-tugas, mengikuti kelas tambahan, dan kegiatan lainnya yang membuat ia pulang sekolah tidak seperti biasanya. Kadang sampai rumah bisa saat magrib atau kurang. Kalaupun Zia bisa pulang cepat, waktunya ia gunakan untuk istirahat.

Selama seminggu itu juga Zia tidak berinteraksi dengan Kenan. Kalau berpapasan dengan Kenan di sekolah, cowok itu hanya meliriknya sekilas lalu setelahnya lanjut berjalan lagi. Zia juga belum berani untuk berbicara dengan Kenan dan rasanya kurang cocok apabila membicarakannya di sekolah.

Hari ini, tepatnya hari sabtu setelah pulang dari kelas pemantapan, Zia akan mengunjungi rumah Kenan. Semoga saja orang yang dicarinya ada di rumah. Ketika di perjalanan, Zia mengetikkan pesan pada Niki yang isinya memberi tahu kalau ia akan ke rumah Kenan.

Begitu sampai Zia tidak langsung mengetuk pintu rumah di depannya itu. Berkali-kali ia menarik napas dan mengembuskannya. Begini saja sudah gugup setengah mati. Semoga ketika pintunya dibuka yang muncul adalah Kenan bukan orang tua atau siapapun itu.

Cowok. Yang buka pintunya cowok. Tapi, bukan Kenan. Dan Zia belum pernah melihat cowok ini. Ini sih bukan cowok, tapi lelaki. Dari perawakannya terlihat sudah dewasa mungkin umurnya sudah 25 ke atas. Zia sontak mundur dari tempatnya ketika melihat lelaki dewasa itu.

"Cari siapa ya, Dek?"

Zia bingung manggilnya apa. Om? Takut ketuaan nanti tersinggung. Kak? Tapi, yang di depannya tidak seperti kakak-kakak. Mas? Apa mas aja kali ya, lebih sopan juga. Dengan gugup Zia menjawab, "Kenan ada, Mas?"

"Temennya Kenan?" Melihat tamunya mengangguk kemudian ia melanjutkan, "Oh, Kenannya lagi ngga ada, Dek."

Aduh, malu.

Ah, ya sudahlah kalau Kenan tidak ada berarti memang belum diizinkan untuk bertemu. "Gitu ya, Mas. Ya udah, makasih ya." Setelah pintu ditutup, Zia melemaskan pundaknya. Lalu berbalik badan hendak mengunjungi rumah Niki. Takdir tidak berpihak padanya kali ini.

Sudah terlalu sering ia main ke rumah Niki, jadi begitu masuk sehabis menghampiri Ibu atau Ayah Niki, Zia langsung meluncur ke kamar sahabatnya itu.

"Kok lemes gitu, Zi? Udah ketemu Kenan?"

Masuk kamar dengan punggung yang lemas membuat Niki mengerutkan keningnya bingung dengan sahabatnya. Zia langsung menidurkan dirinya di kasur empuk itu sambil merentangkan kedua tangannya. Ia mendesah frustrasi menjawab pertanyaan Niki.

"Haaah... Kenan ngga ada di rumah. Tadi yang bukain mas-mas gue ngga kenal."

"Mas-mas?" Niki mengingat-ingat siapa yang dimaksud Zia. Oh, mungkin maksud Zia adalah kakak Kenan. "Itu kakaknya Kenan, Zi namanya Mas Indra. Lagian lo ngapain sih ke rumah Kenan segala? Tumbenan berani."

"Gue belum cerita sama kalian kejadian seminggu lalu."

"Apa? Cerita cepet!" todong Niki pada Zia. Diceritakannya dari awal Kenan menawarkan tumpangan, lalu ke mal main di Timezone, hingga perdebatannya dengan Aiden.

"Akhirnya ya, Zi."

Zia menoleh bingung dengan respon pertama Niki saat dirinya selesai bercerita. "Apaan?"

"Akhirnya urusan lo kelar juga sama orang itu. Nah terus hubungannya kejadian itu sama lo ke rumah Kenan apa?" Zia memutar dua bola matanya mendengar jawaban Niki. Ada benarnya juga memang. Akhirnya setelah bertahun-tahun perjalanan cintanya berakhir seperti ini.

"Ya... Gue mau minta maaf aja sih. Takut dia ngerasa gimana gitu. Kejadiannya kan ngga ngenakin banget, Nik."

"Dih, peduli amat ama curut itu. Santai kali, dia juga kan yang nyuruh lo buat selesain masalah ama Aiden."

"Tetep aja, Nik gue ngga enak sama dia."

"Ah, lo mah orangnya ngga enakan. Atau jangan-jangan sebenernya lo marah sama Aiden karena kencan lo diganggu ya?" Niki mengacungkan telunjuknya ke depan muka Zia.

"Apaan, sih lo. Ngaco deh. Beneran sumpah, soalnya pas gue liat muka dia kemarin tuh kayak nahan emosi gitu. Ya coba lo bayangin aja, lagi enak-enak jalan tiba-tiba diganggu. Gue berasa kepergok selingkuh tau."

"Lagi enak-enak jalan. Hm, ketauan kan emang lo seneng jalan sama dia. Ngga usah ngelak lagi deh, Zi. Suka juga ngga apa-apa kok. Ngga ada yang larang. Gue ikhlas lahir batin."

"Dih, kenapa ngga lo aja yang sama dia. Udah kenal dari kecil terus rumah tetanggaan. Gue juga ikhlas lahir batin kalo lo sama dia. Nanti, undang-undang gue, ya."

"Sinting! Amit-amit, Zi gue sama dia. Ngga pernah ada dalam bayangan hidup gue. Ngga seru banget pacaran lima langkah doang."

"Kan kayak lagu dangdut, Nik," celetuk Zia tertawa.

"Receh lo."

Perdebatan mereka terhenti dan dilanjutkan dengan pembahasan suasana kelas Niki yang begitu ramai, lalu meledek Niki yang selama tiga tahun di sekolah menengah tak pernah memiliki rasa dengan cowok manapun. Dia hanya dekat dengan teman SMP-nya kalau Zia tidak salah ingat. Itupun hanya sekadar chat biasa saja.

Hingga tidak terasa sudah lumayan lama Zia berada di sana. Kemudian ia pamit pada Niki dan Ayah Ibu Niki untuk pulang. Walaupun, hari ini ia harus menelan kenyataan pahit tidak bisa bertemu Kenan, tetapi mungkin nanti lain kali ia bisa berbicara dengan Kenan.

Menuju gerbang rumah Niki, Zia mengedarkan pandangannya sekedar melihat siapa tahu masih ada secercah harapan untuknya. Dan begitu ia benar-benar keluar dari rumah Niki, Zia melihat sosok yang dicarinya sedari tadi lewat dengan motor merahnya.

Sontak saja Zia bergegas menghampiri Kenan yang baru turun dari motornya. Zia menarik napasnya lagi sebelum kemudian menyapa Kenan. Kenan yang sudah melepas helmnya terkejut melihat Zia yang berdiri di hadapannya.

"Eh, Zia. Abis main dari rumah Niki?" tanyanya sambil melirik rumah Niki.

"Iya, tapi sebenernya gue mau ketemu lo dari tadi. Tapi, pas gue ke rumah lo, katanya lo lagi pergi. Jadi gue ke rumah Niki." Zia tersenyum canggung selesai mengatakan itu.

Wajah Kenan terlihat bingung, untuk apa Zia ke rumahnya? Tanpa bilang-bilang dulu sebelumnya. "Oh ya? Ada apa emang, Zi?"

"Bisa kita ngomong sebentar, Nan? Di sini juga ngga apa-apa kok. Sebentar doang paling," pinta Zia dengan wajah memohon.

"Ya, boleh aja sih. Mau masuk ngga? Jangan di depan rumah begini."

"Ngga apa-apa? Ada kakak lo kan di rumah."

"Ada kakak gue? Oh, gue ngga tau, Zi. Tadi pagi pas berangkat belum ada soalnya. Ya udah keluar aja, yuk! Cari tempat buat ngobrol sekitar sini."

Daripada di dalam rumah diganggu oleh kehadiran Mas-nya lebih baik bicara di luar saja. Sepertinya yang mau Zia bicarakan serius dan tidak mungkin hanya sebentar.

***

Past and Present ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang