Dua puluh dua

28 3 3
                                    

"Mana yang mau dikasih ke Niki, Ma?"

Kenan berjalan menuju dapur sembari membawa kunci motornya. Tadi ketika habis mandi, Mamanya meminta untuk sekalian membawa bingkisan dari Kakak pertama Kenan, Indra yang habis dari luar kota untuk diberikan pada Niki. Kebetulan Kenan memang ingin pergi ke cafe menemui teman-temannya.

"Itu di meja makan." Mama Kenan keluar dari kamar mandi dan mendekati anaknya. "Eh tapi ini masih sisa satu lagi, kasih siapa ya, Nan?"

"Emang tetangga udah kebagian semua?"

"Udah lah makanya Mama bingung ini buat siapa." Mama Kenan terdiam sejenak untuk berpikir. Kemudian ada satu orang yang terlintas di benaknya. "Temenmu siapa itu namanya yang pernah ke rumah?"

Kenan mengangkat alisnya bingung, "banyak yang pernah ke sini."

Mama Kenan berdecak. "Yang itu perempuan, yang temennya Niki juga terus pernah ke sini bawain kue pesenan Mama."

"Zia?"

Wajah Mama Kenan berubah sumringah mendengar nama Zia. "Nah iya itu. Kasih Zia aja lah, kamu tau kan rumahnya?"

Kenan mengangguk menyetujui suruhan Mamanya, lalu membawa dua bingkisan tersebut keluar setelah berpamitan pada Mamanya. Kenan mengetuk pintu rumah Niki disertai salam hingga pintu itu terbuka.

"Ngapain lo?"

"Nih dari nyokap gue." Kenan menyerahkan salah satu bingkisan itu yang diterima Niki.

"Terus itu satu lagi buat siapa?" tanya Niki penasaran.

"Kepo aja lo."

Niki memutar bola matanya mendengar jawaban Kenan. Kemudian ia teringat dengan Kenan yang waktu itu memboncengi Aleysa.

"Kemaren lo nganter Aleysa pulang?"

"Lo liat?" Niki mengangguk. Mulanya Kenan agak terkejut mendengar pertanyaan Niki, namun ia langsung biasa lagi. "Ngapain nanya lagi."

"Giliran gue aja ngga pernah ditebengin padahal rumah sebelahan gini. Tapi ngga apa-apa juga sih pas gue tau kayaknya cuma Zia doang yang sering lo tebengin. Ngga taunya Aleysa juga. Gue sebagai tetangga lo merasa ngga dihargai."

"Ngomong apa sih, Nik? Santai kali, besok deh gue tebengin."

Sebenarnya Niki hanya bercanda berkata seperti itu. Niatnya ingin mengorek informasi, tetapi sepertinya susah. "Udah sono, bilang makasih buat nyokap lo." Setelah itu Niki masuk ke dalam rumahnya tak lupa menutup pintunya.

Kenan memakirkan motornya di depan rumah Zia yang halamannya sepi. Sebenarnya ia juga tidak tahu Zia di rumah atau tidak. Kenan mengetuk pintu berulang kali, namun tidak kunjung dibuka. Akhirnya Kenan memutuskan untuk menelepon Zia yang untungnya berdering meski agak lama diangkat.

"Hallo."

Suara Zia terdengar serak seperti bangun tidur. "Lo di mana?"

"Ini siapa?"

Kenan berdecak, rupanya memang Zia baru bangun tidur hingga tidak melihat siapa yang meneleponnya. "Kenan."

"Hah? Kenapa, Nan?"

"Gue di depan rumah lo."

"Ngapain?"

"Udah buka aja pintunya buruan."

Setelah itu Kenan mematikan sambungan teleponnya dan duduk di kursi halaman rumah Zia. Lima menit kemudian pintu rumah itu terbuka menampilkan pemilik rumah yang mengenakan kaos dan celana selutut. Terlihat dari wajahnya yang masih ada sisa-sisa air, sepertinya Zia baru saja cuci muka.

Past and Present ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang