Sudah dua kali setiap Zia nebeng pulang bareng Kenan pasti tidak langsung pulang, melainkan mampir dulu ke suatu tempat. Waktu itu makan bakso, sekarang Zia dan Kenan sudah berada di dalam mal. Untungnya hari ini Zia sedang membawa sweter, jadi bisa menutupi seragam sekolahnya.
Zia hanya bertanya sekali pada Kenan saat jalan yang mereka lewati bukan ke arah rumah Zia. Sekarang, ketika sudah sampai di mal Zia hanya mengikuti Kenan tanpa tahu mereka akan ke mana. Tak tahan diliputi penasaran, Zia memutuskan bertanya. "Nan, kita mau ke mana?"
Kenan sedikit menoleh pada Zia yang berjalan di sampingnya, ia juga sama memakai jaketnya, jaket yang dulu pernah dicuci Zia. "Ke mana ya? Gue juga bingung." Kenan terkekeh sambil mengusap tengkuknya.
"Lah gimana coba. Kirain ada yang mau dibeli gitu."
"Main aja yuk!" Kenan terlihat antusias saat mengajaknya bermain.
Main apa? Zia mengerutkan kening dengan masih menghadap depan. "Main apaan?"
"Timezone aja." Zia hanya mengangguk, dirinya mah terserah Kenan saja mau ke mana. Sampai di Timezone, Kenan membuka dompetnya dan mengeluarkan kartu Timezone juga uang untuk mengisi saldo. Melihat itu, Zia baru ingat kalau ia tidak bawa uang lebih. Ya, Zia kan mana tahu kalau mau diajak main, kalau tahu ia pasti akan membawa dompetnya. Kalau Zia bawa terus dompetnya nanti takut khilaf jajan terus.
"Yah, Nan lo sih ngga bilang kalo mau ke sini, jadinya gue ngga bawa uang lebih buat patungan isi saldo."
"Apaan sih, kan gue yang ngajak. Ngga penting ah. Tunggu sini gue isi dulu." Tanpa mendengarkan balasan Zia, Kenan segera berlalu menuju tempat isi saldo.
Selagi menunggu Kenan, ia mengeluarkan ponselnya yang dari tadi belum sempat ia pegang. Ada pesan dari Aiden yang bertanya sedang ada di mana. Zia membalas pesan Aiden, lalu memasukkan kembali ponselnya begitu Kenan berjalan menghampirinya.
Gulungan tiket yang keluar dari mesin permainan itu memberi tanda sebanyak apa mereka bermain. Kenan tadi berkata untuk menghabiskan semua saldonya karena percuma juga kalau tidak dipakai. Kenan jarang memakai kartunya karena memang jarang ke mal. Dia tidak punya adik yang bisa diajak bermain, begitu juga dengan Bayu dkk yang tidak suka main ke tempat seperti ini. Mereka lebih suka berkumpul di cafe atau di warkop langganan.
Puas bermain Kenan mengajak Zia untuk makan karena perutnya sudah lapar. Zia yang juga lapar ikut saja ketika Kenan mengajaknya makan.
Area foodcourt sudah terlihat di depan mata, namun tiba-tiba Zia menghentikan langkahnya ketika pundaknya ditepuk oleh seseorang. Kenan yang menyadari Zia berhenti juga ikut menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Kenan tidak lupa dengan orang yang menepuk pundak Zia.
Aiden, mantan Zia.
"Aiden."
Zia begitu kaget melihat Aiden berdiri di hadapannya dengan tatapan yang tidak bisa Zia baca. Entah, tapi Zia merasa ada kilatan marah di kedua matanya. "Kok bisa di sini, Den?" Zia berusaha untuk santai, meski jantungnya sudah berdetak lebih kencang. Ia jadi tidak enak dengan Kenan. Ini sudah seperti adegan cewek yang ketahuan selingkuh oleh pacarnya.
"Ngga penting lo tau gue bisa di sini. Sekarang gue mau ngomong sama lo," ujarnya tegas.
Ah, Zia ingat. Tadi ketika Aiden mengiriminya pesan, Zia memang memberi tahu bahwa ia berada di mal ini, yang Zia lupa adalah rumah Aiden berada tak jauh dari mal ini. Mungkin itu kenapa Aiden bisa sampai di sini begitu cepat.
Zia terkesiap. "Tapi, gue-." Belum sempat Zia menyelesaikan ucapannya, Aiden keburu menarik tangan Zia menjauh dari area foodcourt. Tidak terlalu kencang, namun tetap membuat Zia kesusahan untuk melepasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Past and Present ✓
Novela Juvenil"Segitunya ngga ada gue ya, Zi, di hati lo? Segitunya ngga ada gue di pikiran lo? Bertahun-tahun gue usaha buat lo, chat lo setiap hari, kasih perhatian buat lo, nurutin kemauan lo tanpa lo bilang ke gue, tapi ternyata emang gue ngga ada ya sedikitp...