Azan zuhur yang berkumandang dari pengeras suara membuat setiap umat muslim yang mendengar sejenak menghentikan aktivitasnya. Koridor lantai tiga yang tadinya ramai oleh suara-suara mendadak sepi karena suara azan. Ya, meski sebagian dari mereka tidak benar-benar menghentikan aktivitasnya. Begitu juga dengan Kenan dan teman-temannya. Mereka memang diam, tetapi atensinya tetap pada ponsel yang digenggaman.
Sejak tadi Kenan sudah mendengar kalau hari ini merupakan pengumuman SNMPTN yang hasilnya akan keluar jam satu siang. Ujian Sekolah hari ketiga telah selesai dari jam setengah dua belas lalu, namun mereka yang namanya bisa mendaftar jalur undangan itu lebih memilih menunggu di sekolah alih-alih di rumah. Kenan bukan termasuk dari orang-orang itu, ia masih berada di sekolah karena ikut penasaran apakah Zia diterima atau tidak.
Hatinya yakin kalau Zia pasti mendapat jalur undangan itu. Karena seperti yang sudah diketahui kalau Zia adalah siswi berprestasi di sekolahnya. Kenan tidak bertanya langsung apa jurusan yang dipilih Zia, ia hanya melihat itu dari grup angkatannya yang mana ada guru BK mereka juga. Anak-anak yang namanya bisa mendaftar disuruh menuliskan universitas beserta jurusan yang dipilih. Dari sanalah Kenan tahu kalau Zia memilih universitas masih sekitaran Jakarta.
Ada rasa lega di hatinya saat mengetahui itu. Karena dirinya juga berencana untuk kuliah di Jakarta saja. Kenan tidak tega kalau harus meninggalkan Mamanya sementara ia di luar kota. Kakaknya memang belum menikah, tetapi sudah ada rencana akan melanjutkan ke jenjang yang lebih serius bersama kekasihnya. Jadilah Kenan memilih tetap bersama Mamanya di sini.
Beberapa saat setelah azan selesai berkumandang digantikan dengan selawatan, Kenan bersama temannya beranjak dari kelas menuju masjid sekolahnya. Hampir sampai di masjid ia melihat Zia, Alita, dan Niki juga sedang berjalan melewati tangga khusus untuk perempuan. Masjid sekolahnya terdiri dari dua lantai, lantai satu untuk jamaah laki-laki dan lantai dua untuk jamaah perempuan.
"Subhanallah Satria bisa solat juga ternyata."
Satria yang sedang duduk mengarah kiblat refleks mendongak begitu mendengar perkataan bernada jenaka itu. Satria mendengkus. "Enak aja. Gue gini-gini masih solat ya. Walaupun suka telat."
Raka yang duduk di sebelah kirinya sontak tertawa. "Lo pasti mau berdoa kan biar nanti keterima SNM?"
"Setiap hari juga gue berdoa ya," sangkalnya. Satria hanya mendiamkan Raka yang masih mengejeknya.
Kenan duduk di sebelah kanan Satria menepuk-nepuk punggung cowok itu. "Semoga dapet hasil yang terbaik ya, Bro. Jangan lupa makan-makan nanti kalo dapet." Kenan tertawa melihat perubahan ekspresi Satria dari yang tersenyum menjadi mendelik ke arahnya. Tak lama setelah itu salat berjamaah dimulai diimami oleh salah satu guru mereka.
Kenan melirik jam di dinding selesai salat usai. Raka dan Satria masih berada di masjid membuat Kenan juga tidak beranjak dari sana. Ia memilih menidurkan dirinya di atas karpet masjid dengan lengan kanannya menutupi matanya. Niatnya hanya ingin memejamkan mata saja, namun karena hawa sejuk masjid membuat ia terlelap.
Kenan bangun karena mendengar seruan heboh di dekat telinganya. Ia membuka mata dan melihat Satria sedang sujud syukur. Di sampingnya juga ada Raka yang memegang ponsel milik Satria.
"Woy, Nan! Satria lolos."
Dua kata itu menyadarkan Kenan situasi apa yang tengah terjadi. Rupanya mereka bersorak heboh karena Satria lolos. Kenan tersenyum bangga pada temannya itu. "Selamat, Sat," ucapnya pada Satria. Ia memberikan selamat dengan mengepalkan tangannya ke arah Satria yang dibalas dengan kepalan tangan juga.
Temannya itu kembali melihat ponselnya, mungkin masih tidak percaya akan anugerah yang diterimanya. Sementara Kenan belum memegang ponselnya dari tadi, ia hanya diam seperti sedang mengumpulkan nyawanya sehabis tidur.
"Alhamdulillah gue sekampus sama Zia. Oh, sama Niki juga nih."
Mendengar itu Kenan buru-buru melihat grup angkatannya yang sudah dipenuhi dengan pesan. Ia melihat nama-nama siswa yang diterima jalur undangan itu. Benar saja, tertulis nama Zia beserta universitas dan jurusannya. Rupanya Niki dan Alita juga diterima, hanya saja Alita beda universitas dengan Zia dan Niki. Kenan tersenyum melihat itu.
Kenan pamit lebih dulu naik ke atas untuk mengambil tas dan pulang. Ia menaiki tangga sambil menggenggam ponselnya di tangan kanannya. Kemudian belok menuju kelas ujiannya berada. Namun, sebelum sampai di kelasnya, ia melihat Zia yang sedang berjalan dengan tergesa-gesa. Juga ekspresi wajah cewek itu yang seperti sedang mencari sesuatu.
"Zia? Lo nyari apa?"
Zia menatap Kenan dengan raut wajah kaget, tetapi setelah itu berubah normal kembali. "Cari case hp gue, Nan."
Kenan terdiam sejenak. "Case hp?" Ia bertanya sekali lagi untuk memastikan.
Zia mengangguk. "Warnanya hijau ada love di tengahnya. Lo ada liat ngga?"
"Ngga, Zi." Zia mendesah frustrasi di depannya. "Lo udah cari ke mana aja?"
"Kelas sama kantin." Zia menggigit bibirnya, khawatir kalau case itu benar-benar hilang. Tadi setelah dari masjid ia dan dua temannya ke kantin karena ajakan Niki. Lalu ketika kembali ke kelas dan membereskan tasnya, Zia baru sadar kalau ponselnya tidak memakai pelindung apa-apa. Meskipun Zia masih tidak tahu siapa yang mengirimkannya case itu, tetapi tetap saja ia harus menjaganya bukan malah menghilangkannya.
"Tadi lo ke masjid kan?"
Zia langsung tersadar atas ucapan Kenan. Benar, masjid. Tadi ia salat mungkin saja case-nya berada di sana. "Oh, iya bener. Gue ke masjid dulu ya, Nan." Zia langsung berlari meninggalkan Kenan sendirian di koridor lantai tiga.
Kenan lupa belum mengucapkan selamat pada Zia. Ia buru-buru masuk ke kelas dan mengambil tasnya dan menyusul Zia. Hitung-hitung bisa sekalian mengantar Zia pulang.
Sampai di halaman masjid Kenan melihat Zia yang turun dari lantai dua, tangannya memegang case hijau itu. Kenan tersenyum lega, ketemu juga barang itu.
Zia melihat Kenan berdiri di sana memandang ke arahnya. Zia berjalan menghampiri Kenan untuk mengucapkan terima kasih karena sudah membantunya. "Ketemu, Nan. Bener, ada di masjid ternyata. Makasih ya." Zia tersenyum sambil menunjukkan pelindung ponsel itu pada Kenan.
"Sama-sama. By the way, selamat ya, Zi. Tadi gue liat di grup lo keterima."
Zia makin tersenyum lebar mendengar ucapan selamat dari Kenan. "Makasih, Nan."
"Lo udah mau pulang?" Zia mengangguk sebagai jawaban. "Mau gue anter?" tawarnya.
Zia melihat ponselnya sebentar lalu menatap Kenan lagi. "Maaf, Nan. Udah dijemput Ayah," ringisnya.
"Oh, gitu. Ya udah, ngga apa-apa kok. Kirain belum tau pulang sama siapa." Kenan mengusap tengkuknya sambil memaksakan senyum.
"Kalo gitu, gue duluan ya, Nan."
Setelah Zia pergi Kenan menghela napas dan membuangnya kasar. Lagi-lagi tak ada kesempatan untuk ia mendekati Zia lagi. Setelah terakhir kali Kenan mengantarnya saat Zia sakit waktu itu, beberapa kali Kenan berusaha untuk dekat lagi dengan Zia. Namun, karena ujian mereka membuat Zia lebih cepat meninggalkan sekolah.
Apalagi dua minggu setelah Ujian Sekolah mereka akan melaksanakan Ujian Nasional. Hal itu pasti akan membuat Zia dan Kenan makin tidak bisa mengobrol. Mungkin memang belum waktunya untuk Kenan mendekati Zia lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Past and Present ✓
Ficção Adolescente"Segitunya ngga ada gue ya, Zi, di hati lo? Segitunya ngga ada gue di pikiran lo? Bertahun-tahun gue usaha buat lo, chat lo setiap hari, kasih perhatian buat lo, nurutin kemauan lo tanpa lo bilang ke gue, tapi ternyata emang gue ngga ada ya sedikitp...