Di sepanjang perjalanan, Nathan dan perempuan bernama Caca itu tidak berbicara. Sepertinya Caca sedang sibuk mengurus ini itu.
"Sorry, gue belom tau nama lo?" Perempuan itu tiba-tiba menoleh dengan dahi berkerut.
"Gue Nathan. Nama lo Caca?"
Wajah perempuan itu sedikit memerah "Jangan panggil gue Caca! Gue Rissa. Larissa. Yang manggil gue Caca cuma Hugo."
Walaupun nama Larissa terdengar familiar di telinga Nathan, yang laki-laki itu lakukan hanya ber-o ria.
"Caca sounds cuter, anyways."
"That's why I don't like that nickname. Ga cocok sama image gue." Jawab Rissa sok cuek.
"Maksudnya?"
"Iya. Semua orang bilang gue galak, gue jutek, gue tegas. Terus lo fikir gue bakal biarin mereka manggil gue Caca?" Rissa menjelaskan sekaligus bertanya balik.
Nathan melirik Caca sebentar lalu ia tersenyum miring "Menurut gue engga tuh."
"You don't know me. Seenggaknya gue masih ga punya alasan buat galak sama lo." Jawab Rissa yang masih sibuk dengan handphonenya.
Diam-diam Nathan setuju. Tidak mungkin Rissa galak pada orang yang baru ia temui. Apalagi disini Nathan sebagai orang yang membantunya. Justru aneh bukan kalau Nathan malah dimarahi?
"Lo kenal Revan?" Tanya Nathan ketika mengingat dimana ia pernah mendengar nama Larissa.
Rissa menoleh "Kenal. Kementrian keuangan BEM. Why?"
"Nope. Cuma nanya. Gue kayak pernah denger nama lo dari dia. Ternyata lo ikut BEM juga?"
"Gue wakil ketua BEM kali! Emang bener-bener mahasiswa zaman sekarang, bisa-bisanya ga kenal sama pengurus BEM nya sendiri?? Menyedihkan." Rissa mendecak.
Nathan mengerutkan dahinya "Gue ga merasa perlu kenal sama pengurus BEM. Toh kalaupun gue kenal, ga bakal bikin gue lulus cepet kan?"
Rissa mematikan ponselnya dan menatap Nathan.
"Di hidup ini tuh, lo bukan cuma harus tau apa yang lo mau tau doang. There are so many things yang suatu saat bisa lo butuhin, dan lebih baik lagi kalo lo punya rasa penasaran tinggi buat hal-hal yang menurut lo ga penting itu." Ucap Rissa.
"Gue masih ga merasa itu semua penting." Jawab Nathan lagi.
Rissa menghela nafas "Lo sama Hugo sama aja. Emang ya, pergaulan bisa menentukan segalanya."
Mobil Nathan berhenti di lampu merah. Lelaki itu menatap gadis bermata kucing yang masih menatapnya malas.
"Semua orang punya jalan hidupnya sendiri. And I just do what I want to do. Gue ga butuh aturan, karena gue punya aturan yang gue bikin sendiri."
Rissa terdiam. Kemudian Nathan mengeluarkan sebuah kotak makan dari styrofoam dan ia menurunkan kaca mobilnya. Ada dua orang pengamen cilik yang sedang menodongkan tangan pada mobil-mobil yang berhenti.
Nathan memberikan kotak makan tersebut tanpa banyak berbicara.
"Makasih banyak kak" ucap salah satu pengamen yang lebih tinggi.
"Iya sama-sama dek."
Nathan kembali menutup kaca mobilnya dan langsung menjalankan mobilnya karena lampu sudah berubah warna menjadi hijau.
Rissa masih mencoba memproses apa yang barusan terjadi. Baru kali ini ia tidak bisa menganalisa seseorang 100%. Dan Rissa anggap Nathan sebagai objek analisanya yang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ethereal | Ineffable vol.2 [END]
General Fiction[Ineffable Universe Phase 1] [END] "Dari sini gw belajar, musuh lo bisa jadi temen lo, temen lo bisa jadi musuh lo, dan orang yang ada disisi lo sekarang, belum tentu jadi pendamping masa depan lo" -Abercio Arjuna Danendra from;13 Juli 2020