Part 33

4.3K 148 0
                                    

Ruangan bangsal 13.

Setelah 8 jam Comala tertidur akibat efek obat tidur. Ia akhirnya membuka kedua matanya perlahan sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Comala berusaha bangkit dari brankar hendak berdiri tetapi, ketika kaki kanannya menyentuh lantai ia malah terjatuh dengan posisi kepala menghantam ujung nakas cukup keras hingga mengeluarkan darah. Di detik-detik kesadarannya yang kian mulai menipis Comala berujar lirih. "Afifah, maafkan ibu .."

---

Didalam ruangan bernuansa biru muda yang menenangkan ada 2 orang berjenis kelamin berbeda. Seorang perawat perempuan menjelaskan perihal tentang masalah Comala kepada seorang dokter lelaki yang sedang duduk dikursinya. Terlihat jelas di atas meja kerjanya terdapat plang nama bertuliskan Dr. Spesialis Soeharto Xperio yang terbuat dari aluminium.

"Bangsal 13, kau sebaiknya tidak perlu melakukan apapun, agar nama rumah sakit ini tidak tercoreng. Yang perlu kau lakukan adalah merawat pasien. Kau boleh keluar sekarang."

"T-tapi pak ..

"Keluar!" bentak Rio sambil mengarahkan jari telunjuknya kearah pintu.

"..." tanpa mengatakan sepatah katapun perawat itu keluar dari ruangan.

Perawat itu berhenti sejenak mendengar suara bisik-bisik kedua perawat lain yang berpapasan dengannya di koridor. Walaupun samar-samar, ia bisa mendengar suara mereka.

"Aku dengar-dengar wanita paruh baya yang tadi pagi mengamuk tiba-tiba tidak sadarkan diri di lantai, apalagi banyaknya darah ..,"

"Kasihan sekali wanita itu, ditinggal oleh keluarganya."

"Jangan-jangan ...," gumam perawat itu lalu bergegas menuju bangsal 13.

Perawat itu menarik nafas panjang sambil menumpu tangan kanan di pintu menatap tubuh Comala terbaring di atas brankar dengan ditutupi kain kafan. "Rupanya aku terlambat, datang ya Bu .. maaf," perawat itu berjalan kearah brankar. Ia menekuk kedua lututnya menghadap Comala dengan kepala menunduk dalam. "Aku nggak bisa nempatin janji."

Perawat itu menutup mulut menahan tangisnya lalu berlari keluar dari bangsal dengan kencang tidak menghiraukan tatapan perawat lain disekitar koridor.

---

Setelah mendapat persetujuan dari Rama, Fernando mengode dengan gerakkan kepala kearah seorang bodyguard yang mendampinginya untuk membuka jeruji.

"Kamu bisa bertemu dengan orangtuamu lebih dulu. Besok, barulah bertemu dengannya," ujar Fernando berjalan dengan langkah pendek namun berat menyusuri lorong hendak keluar diikuti seorang bodyguard, dan Rama dari belakang.

Supir membukakan pintu mobil jeep wrangler untuk Fernando. Sebelum masuk ke dalam mobil Fernando menatap Rama sebentar. "Kita pisah disini, sampai bertemu besok." Kemudian mobil jeep wrangler hitam itu melaju dengan kecepatan sedang.

"Mari, saya hantar Tuan, mulai sekarang saya akan mengantarkan anda kemanapun," ujar seorang bodyguard kepada Rama yang hanya diam sedari awal.

"Oke."

Bodyguard itu langsung membukakan pintu mobil BMW agar Rama masuk ke dalam mobil. Rama menyenderkan kepala di kursi sambil menghadap keluar kaca mobil. Beberapa menit menempuh perjalanan, akhirnya sampai di depan gerbang mansion keluarga Savian.

"Udah lama ya .. gua gak pulang," gumam Rama melihat gerbang tidak kunjung terbuka. Rama pun turun dari mobil BMW putih itu, dengan keadaan memprihatinkan. Ia melambai ke arah cctv. "Buka gerbangnya cepet!" teriaknya.

Sedangkan di dalam mansion, seorang bodyguard melangkah secara tergesa-gesa hendak memberitahu apa yang ia lihat. "Ada apa?" tanya Pramudana melihat bodyguardnya yang tergesa-gesa dari atas tangga lantai 2.

"Den Rama .. dia ada di luar saya melihatnya ada di luar," ujar bodyguard itu gemetar saat mengucapkan nama 'Rama.

"..." Pramudana melangkah menuruni undakan tangga hendak menghampiri bodyguard itu. "Saya, saya tidak bohong Tuan, saya benar-benar melihat Den Rama di luar .."

"Pi," panggil Hilya dari arah pintu belakang mansion. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya menyiram tanaman bunga mawar di halaman belakang, tidak sengaja mendengar perkataan bodyguard itu.

"Bener?" tanya Hilya menatap suaminya lalu beralih menatap bodyguard itu.

"Jika Nyonya tidak percaya, Nyonya bisa lihat dari layar cctv," jawab bodyguard itu.

"Pi, apa salahnya kita percaya .. ayo," ajak Hilya. Pramudana merangkul bahu istrinya mengajaknya keluar mansion hendak memeriksa cctv.

---

"Gila! Badan gua sakit semuanya ini! Cepet buka! Nggak liat! Ini gua Rama!" teriak Rama, urat-urat lehernya terlihat jelas, akibat berteriak terlalu kencang.

Diruang cctv, Hilya menangis haru. "Tunggu apa lagi buka gerbangnya, Pi, itu Rama. Mami yakin, Pi."

"Tapi Mi, Rama .. udah meninggal, kita sendiri ada disaat dia, dia dikuburkan."

Pramudana mengambil mikrofon. "Jika kamu, benar putra saya, apa yang dapat kamu buktikan?" tanyanya memastikan bahwa apa yang ia lihat, dan dengar.

Rama berdecak lalu mendekat menendang gerbang dengan kasar, ia mendongak menatap cctv diatasnya.

"Rama Alterio Savian. Putra pertama Pramudana Alterio Savian, dan Hilya Melva Savian. Memiliki saudara kembar bernama Sarfaras Alterio Savian sedang berkuliah di university amsterdam. Karena kejadian dimasa lalu saat gua umur 6 tahun dia hampir bunuh gua, kalian memisahkan kami berdua, memilih merahasiakannya. Wajah dia mirip banget sama gua. Cuman sifatnya berbanding terbalik sama sifat gua. Dia memiliki kepribadian ganda, dan satu rahasia lagi kembaran gua seorang psikopat gila."

Dengan menggebu-gebu Rama menjelaskan bahwa ia benar-benar Rama. "Bagaimana mungkin kamu masih hidup Nak?"

"Belum saatnya gua mati kali ha-ha-ha, buru buka gerbangnya gua capek, njing!!" teriak Rama frustasi, kakinya gemetar berdiri terlalu lama, di tambah tubuhnya lemah.

Rayn&RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang