Part 27

4.5K 163 0
                                    

Kilasan ingatan saat Rayn merebut keperawanannya, membuat Raya memegangi kepalanya. Asri berniat membantu Raya untuk duduk ditepi ranjang akan tetapi, Rayn mengibaskan tangan hendak menyuruh Asri keluar dari kamar.

Asri pun berlalu keluar dari kamar, sedangkan Raya menyentak tangan Rayn tanpa sadar menggunakan tangan kanannya ketika Rayn ingin menyentuh tangannya.

Rayn maju mendekat kearah Raya, ia memegang bahu Raya sambil menatapnya lembut. "Ada yang sakit hm?" Raya mengikis jarak lalu melepaskan kedua tangan Rayn perlahan yang berada di bahunya. "Ya, hati dan fisik gue sakit, jadi tolong lo keluar."

"Gue mohon sama lo, tolong keluar," lirih Raya berbalik badan membelakangi Rayn. "oke, aku keluar." Rayn menghela nafas sejenak sambil menatap Raya sendu. Kemudian, ia berlalu keluar dari kamar Raya.

Suara pintu tertutup membuat Raya langsung terduduk ditepi ranjang dengan meneteskan air mata. "Rasa ini buat gue pengen mati," lirih Raya sambil memukul-mukul dadanya. "Ini sakit banget...,"

Drrtt... Drrrtt...

Ponsel Raya bergetar di atas nakas, ia langsung mengambil ponselnya. Kemudian, menggeser tombol hijau.

"Hallo Rei."

"Dari tadi gue nelpon kenapa ga diangkat?" tanya Rei di seberang sana sambil berjalan mondar mandir dikamarnya.

"Maaf, hp gue mode senyap. Lo baik-baik aja kan?"

"Gue baik. Kalau lo gimana?"

"Syukurlah, gue juga baik nih," jawab Raya lalu mengigit bibirnya ketika tak ada respon dari Rei.

"Lo ga lagi bohong kan sama gue, Ray?"

"Gue beneran baik kok, udah dulu ya... Gue mau ketoilet, dah Rei."

"Hallo, Hallo Ray." Rei sedikit mengeraskan suaranya lalu ia menatap layar ponselnya yang ternyata, Raya sudah mengakhiri panggilan sepihak. "Lo ga bisa bohong sama gue Ray, gue tahu Lo ga baik-baik aja." guman Rei sambil menggenggam kuat ponselnya dengan tatapan tajam.

Rei membalikkan tubuhnya ketika ia mendengar suara derap langkah diikuti dengan suara tongkat Alvero menuju kamarnya. Knop pintu kamar dibuka oleh Hendratno. Kemudian, masuklah Alvero kedalam kamar dan tidak lupa Hendratno menutup kembali pintu.

"Bodoh .. Kakek sudah bilang jangan bertindak sendiri ..." ujar Alvero mengetuk tongkatnya kelantai sambil menatap Rei.

"Rayn, dia adalah ketua mafia callous. Dengan kau menelpon Raya, akan membuatnya curiga. Bukan hanya Raya yang menjadi korban tapi Afifah, dan ibunya .. sekarang berada di dalam genggamannya."

"..." Rei terdiam sejenak kemudian, melempar ponselnya dengan kasar kelantai.

"Anj*ng!!"

"Sekarang Rei harus gimana?" tanya Rei kepada Alvero.

Alvero mengkode Hendratno lewat tatapannya. Kemudian, Hendratno segera menghubungi anak buahnya.

"Mulailah bergerak tapi, jangan sampai mencurigakan."

"..."

"Jika kalian gagal, kalian tahu apa akibatnya?"

"..."

"Bagus."

Hendratno menutup panggilan. "Tuan, semuanya akan sesuai rencana anda." ujar Hendratno kepada Alvero.

"Kau tenang saja cucuku."

"Gimana Rei bisa tenang kek ..." jawab Rei sambil mengacak-acak rambutnya kasar.

"Percaya dengan kakek, Afifah akan segera menemui mu, dan -" Alvero menjeda katanya.

"untuk Raya, kakek rasa itu mustahil karena Raya ... sedang mengandung anak dari Rayn."

"..."

"NGGAK ... NGGAK MUNGKIN!" racau Rei sambil menumpu tangan kanannya di dinding.

"Kalau itu bener, gue sendiri yang bakal bunuh Raya. Bagaimanapun anak itu ga boleh lahir ke dunia .." Rei bergumam sambil mengepalkan tangan kanannya lalu memukul dinding.

---

Afifah bersimpuh menumpu kepala di jeruji sambil menggenggam erat jeruji dengan penampilan berantakan. Seragam putih abu-abunya kotor, wajah pucat dan rambutnya berantakan, serta telapak tangan terdapat goresan akibat menggenggam erat jeruji berkarat itu.

Seorang bodyguard, berdiri tepat di depan jeruji Afifah mendongak menatap bodyguard itu.

"Saya, diutus Tuan Rei untuk membebaskan anda."

"Akhirnya lo nolong gue Rei," batin Afifah sambil ia meneteskan air mata.

Bodyguard itu langsung melempar gumpalan kertas begitu saja kedalam jeruji besi ketika ada bodyguard lain yang datang.

"Hei, apa yang kau lakukan disini?" tanya salah satu dari 3 bodyguard itu.

"Hanya mengecek keadaan, takut-takut Tuan muda marah jika terjadi sesuatu dengan para sandera."

"Seperti nya saya sudah selesai mengecek, permisi," bodyguard yang berbicara dengan Afifah melenggang pergi dari hadapan ketiga bodyguard itu.

Para bodyguard itupun akhirnya ikut melenggang pergi hingga hilang di tikungan lorong.

"Huft ... hampir aja," Afifah menghela nafas berat sambil mengambil gumpalan kertas itu lalu membacanya.

 hampir aja," Afifah menghela nafas berat sambil mengambil gumpalan kertas itu lalu membacanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rayn&RayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang