Raya tidak sengaja bertemu dengan Rayn yang saat itu sedang tawuran dengan sekolah lain justru membuat Rayn jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Raya. Akan tetapi, ketika mengetahui Raya telah bertunangan perasaan Rayn mulai berubah menjadi Obs...
Raya duduk di closet kamar mandi dengan gelisah menunggu hasil testpack.
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh," Raya langsung berdiri menyambar testpack di wadah sikat gigi.
Raya mematung melihat hasil testpack menunjukkan jelas dua garis biru.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Raya secara kasar meletakkan testpack dipinggir wastafel. Kemudian berjalan keluar dari kamar mandi sambil menggelengkan kepalanya.
"Hiks .. Hiks .. i-ni nggak mungkin!!"
"Ak-u nggak mungkin hamil, kan?" tanya Raya pada dirinya sendiri sambil terkekeh. "Ya, aku nggak mungkin hamil .."
"Benci, aku benci .. hiks, hiks ..," Raya duduk didekat ranjang menekuk kedua lututnya. "Aku .. nggak mau hidup kayak gini .. hiks,"
"Raya kangen mama .." lirih Raya semakin terisak-isak
---
Tok.. tok...
"Masuk." Rayn meletakkan surat itu diatas meja lalu menyenderkan punggungnya dikursi. Anggoro menatap kearah pintu dengan tersenyum tipis melihat bodyguard yang ditugaskan menjaga kamar Raya masuk.
"Ada apa?" tanya Rayn.
"N-nona .. tiba-tiba berteriak histeri-," sebelum bodyguard itu menyelesaikan kalimatnya, Rayn langsung bangkit berdiri mengebrak meja dengan kasar lalu buru-buru keluar dari ruangan menuju kamar Raya.
"Raya ..." Rayn berjongkok di depan Raya yang hanya menatap Rayn tanpa ekspresi. Kemudian, mendorong Rayn sambil menangis histeris. "Gara-gara kamu! Aku hancur!"
"Aku minta maaf," ujar Rayn dengan suara bergetar. Raya mengetuk jari telunjuk didagu. "Aku maafin kamu asal .. kamu balikin keperawanan aku, dan Rama. Apa bisa?! Nggak!!" teriak Raya lalu matanya berkaca-kaca menatap Rayn.
Rayn berdiri mendekati Raya yang terduduk di lantai dengan kedua tangan terkepal. "Aku terlihat baik di depan kamu, bukan berarti aku nggak bisa lebih jahat."
Rayn mencekik Raya hingga ia berdiri kemudian menghempaskannya keatas ranjang secara kasar. Raya memegangi lehernya sambil menangis.
Anggoro sedari tadi diam menatap prihatin Raya. Sebenarnya ingin menolong, tapi apa yang bisa ia lakukan? Melawan Rayn sama saja ia menghantarkan nyawa. Lelaki kejam seperti Rayn tidak segan untuk menghabisi siapapun yang menghalangi jalannya. Keluarga, teman, lelaki maupun wanita, dan orang yang dicintai sekalipun. Jika tidak menuruti perintah, maka kematian satu-satunya jalan.
Rayn berlalu keluar dari kamar dengan tatapan tajam ia memberikan perintah kepada para bodyguard yang berjaga di luar. Setelah itu pintu tertutup rapat, dan dikunci terdengar jelas di telinga Raya.
"Sa-kit .."
---
Suara derap langkah kaki seseorang menggema di lorong menuju kearah jeruji besi dimana Afifah berada.
Afifah memegang kaki kanannya agar bisa berdiri. "Rama," panggil Afifah pelan sambil menatap jeruji besi di depannya.
Sedikit penerangan didalam jeruji besi di depannya itu membuat Afifah sedikit menangkap sosok Rama yang sedang duduk di pojok jeruji.
Afifah mengigit ibu jarinya ketika tidak ada pergerakan dari Rama. Ia tersentak melihat Rama melangkah mendekat ke arah jeruji besi. "Apa bisa dipercaya?" tanya Rama kepada Afifah.
"Lo denger kan suara langkah kaki? Gue bakal bebasin Lo juga, tapi sekarang gue butuh benda tajam," jawab Afifah tanpa ragu.
Rama tersenyum tipis mendengar jawaban Afifah. "Bebas hm .. ok, gua pegang kata-kata lu kalau lu ingkar, gua bakal bunuh lu. Sebelum keluar dari tempat ini ..."
"Gue janji. Tapi nggak sekarang .. gue bakal bebasin Lo setelah gue keluar, janji," jelas Afifah kepada Rama, berharap ia akan mengerti. Tetapi sepertinya tidak ketika Rama melempar sebuah pisau kecil tajam mengenai bahu kirinya.
"Aw ..." suara kesakitan Afifah mencabut pisau kecil tajam itu. "Anggep aja sebagai salam perpisahan," kata Rama sambil menyeringai menatap kearah Afifah yang sedang kesakitan. Ia berbalik membelakangi Afifah dengan melambaikan tangan kanannya sebelum ia hilang didalam kegelapan, suara Afifah terdengar. "Gue bakal nempatin janji, dan makasih buat luka ini," ujar Afifah.
Afifah menatap ke sekeliling lorong tatapannya terkunci kearah seorang bodyguard yang ia kenal. Ia langsung mengarahkan pisau kecil tajam itu ke lehernya sambil memejamkan mata hendak menggores lehernya. "Ssss ..." desis Afifah ketika mulai menggores lehernya lalu ia tersenyum tipis menjatuhkan diri. "Gedebug! ...."
Suara bodyguard minta tolong terdengar nyaring di lorong, membuat para bodyguard yang berjaga berdatangan.
"Sandera bunuh diri! Kita harus bagaimana?! Tuan Muda pasti marah!"
"Apa!!"
"Kita semua bisa celaka!"
"Sial! .."
"Buang saja mayatnya, jika Tuan Muda bertanya .. dia meninggal akibat depresi, dan membentur kepalanya kedinding .." saran bodyguard itu sambil menatap Afifah.
"Serahkan semua ini padaku, kalian tidak perlu khawatir," lanjutnya.
Salah seorang bodyguard menepuk pundak bodyguard itu kemudian berlalu pergi menjalankan tugas mereka masing-masing.