Akmal Brawijaya - pria tua yang sedang sekarat di atas tempat tidurnya - menatap satu persatu putranya yang hadir di kamar rumah sakit super megah itu. Penyakit ginjal telah menggerogoti semangat hidupnya, ia telah berbaring di atas tempat tidur itu hampir enam tahun.
Selama enam tahun terakhir, semua anak-anak dan juga cucu-cucunya tak pernah menyempatkan diri untuk melihat ke arahnya yang tak lagi berdaya. Mereka semua sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing dan selalu merasa pekerjaan itu jauh lebih penting. Di sisinya hanya tersisa satu orang cucu dari putranya yang telah meninggal. Cucunya itu merawat dan mengurusi semua keperluan Akmal meskipun dia sendiri berasal dari keluarga tak mampu.
Ya, dulu Akmal menentang keras pernikahan Almarhum putranya dengan Dahlia - Ibu dari cucunya - dan dengan tega tak memberikan apapun untuk bekal hidup putranya. Mereka hidup dengan sangat sederhana, tapi bahagia. Hingga saat Danu meninggal dan Dahlia mulai harus bekerja keras sendiri untuk membesarkan putranya, tanpa menikah lagi. Saat itulah Akmal baru menyadari kalau Dahlia menikahi putranya bukan atas dasar harta, melainkan cinta yang tulus.
Kini yang ada dalam hidup Akmal adalah penyesalan, karena putra-putra lainnya yang selalu ia banggakan ternyata hanya butuh dengan hartanya saja. Sangat berbeda dengan putranya yang telah meninggal.
Dokter mengabarkan kalau Akmal mungkin sudah tidak bisa lagi bertahan hidup, sehingga mereka semua berkumpul di kamar rumah sakit itu seakan bersiap-siap untuk menguburkan jasad jika benar-benar akan mati.
"Kenapa sih anak miskin ini selalu ada di sini? Cari muka ya? Biar dapat persenan harta?" sindir Nia - istri dari Bagas Brawijaya, sang putra pertama keluarga Brawijaya.
"Sudahlah Mbak Nia, nggak usah dipedulikan. Dia dan Ibunya itu sama saja, sama-sama munafik! Kelihatannya saja sok alim, padahal haus harta!" sindir Niken - istri dari Yoga Brawijaya, sang putra kedua keluarga Brawijaya.
Nata menggeram hebat di tempatnya duduk saat itu. Ia benar-benar tak terima mendengar Ibunya dijelek-jelekan oleh mereka. Seandainya saja ia juga punya kuasa yang besar dalam Keluarga Brawijaya, maka ia takkan segan-segan menyumpal mulut mereka semua agar tidak lagi menjelek-jelekan Ibunya. Sayangnya, ia tak punya kuasa apa-apa, dan hanya Allah yang punya semua kekuasaan.
Dahlia mendekat pada Nata untuk meremas bahu putranya. Nata tahu, Ibunya tengah meminta dirinya untuk tidak marah atas cemoohan yang diterimanya saat itu. Ibunya memang orang yang paling sabar, sehingga tak pernah ingin membalas apapun yang mereka katakan.
Akmal mendengar segalanya, ia tahu kalau Nata mungkin saja marah atas hinaan itu. Namun ia tetap tenang di atas tempat tidurnya, karena sebentar lagi pengacara akan datang dan membacakan wasiat yang sudah ia buat.
Tak lama kemudian, pengacara benar-benar datang dan langsung meminta semua orang berkumpul termasuk Nata dan Dahlia. Pengacara itu duduk di samping Akmal.
"Baiklah saya akan mulai membacakan surat wasiat yang sudah dibuat oleh Tuan Akmal Brawijaya," ujar Pranoto.
Semua mulai mendengarkan dengan seksama.
"Dua perusahaan yang saat ini ditangani oleh Bagas Brawijaya dan Yoga Brawijaya... ."
Niken dan Nia saling tersenyum satu sama lain. Mereka sudah bersiap-siap untuk menempati posisi sebagai Nyonya Brawijaya yang sah.
"..., akan diserahkan kepada Nata Giandra Brawijaya sebagai perwakilan dari Almarhum Danu Brawijaya yang selama ini tidak pernah menerima apapun dari Akmal Brawijaya."
Semua orang terlonjak dari kursi mereka masing-masing.
"Untuk Bagas Brawijaya dan Yoga Brawijaya, mulai dari saat wasiat ini dibacakan, mereka dan keluarganya masing-masing akan menerima uang belanja yang akan dianggarkan oleh Nata Giandra Brawijaya untuk kelangsungan hidup mereka. Selain itu, mereka tidak lagi diperbolehkan untuk ikut campur dalam masalah perusahaan yang akan dikelola oleh Nata Giandra Brawijaya. Untuk Dahlia Rismawati, terima kasih karena kami sudah mencintai putra bungsu saya dengan tulus dan memberikan keturunan yang shaleh seperti Nata. Mulai sekarang kamu yang akan tinggal di rumah utama Keluarga Brawijaya dan resmi menjadi Nyonya Brawijaya. Dengan ini, saya sahkan semua yang tertulis dalam wasiat saya. Akmal Brawijaya."
"TIDAK!!! INI TIDAK ADIL!!!" teriak Nia.
"Apa-apaan ini Pa? Papa selama ini tidak merestui pernikahan Almarhum Danu dengan Dahlia! Kenapa tiba-tiba Papa menjadikan Dahlia sebagai Nyonya di keluarga Brawijaya? Kenapa Pa?" tanya Niken yang ikut tak terima.
Akmal terkekeh di tempat tidurnya saat itu.
"Kemana saja kalian selama enam tahun terakhir ini? Kenapa baru sekarang kalian muncul dan tiba-tiba mempertanyakan keputusan Papa yang mengangkat Dahlia menjadi Nyonya Brawijaya?" tanya Akmal.
Semua terdiam di tempat masing-masing.
"Kalian pikir Papa sudah benar-benar sudah mau mati, sehingga kalian datang ke sini untuk bersenang-senang di atas makam Papa? Tenang, semua itu masih lama. Papa masih sehat, karena Dahlia dan Nata merawat Papa dengan sangat baik tanpa meminta bayaran apapun. Tidak seperti kalian, yang hanya menginginkan harta dengan berpura-pura peduli di awal-awal!" ujar Akmal, dingin.
Akmal menatap ke arah Pranoto.
"Kamu keluarkan semua pakaian mereka. Jangan ada satu barang pun yang mereka bawa dari rumah utama. Saya mau pulang hari ini bersama Nata dan Dahlia. Bilang sama Bi Inah, masak yang enak untuk mereka berdua," pinta Akmal.
Nia, Bagas, Niken san Yoga pun pergi dari kamar rumah sakit itu dengan wajah penuh malu. Nata dan Dahlia menatap ke arah Akmal dengan tatapan penuh kebingungan.
"Saya mungkin tidak bisa menebus kesalahan di masa lalu dengan baik. Tapi sekarang saya tidak mau menyia-nyiakan kalian berdua. Kalian adalah kenangan yang Danu tinggalkan untuk saya, agar saya bisa memperbaiki diri dan agar sadar bahwa saya sudah berjalan di jalan yang salah selama ini," ujar Akmal, ia hampir menangis.
"Tidak Pak. Bapak tidak salah apa-apa pada saya, Almarhum Mas Danu dan Nata. Bapak tidak boleh bicara begitu. Bapak adalah Orangtua bagi saya, dan di mata saya Bapak tidak salah sama sekali. Kami yang bersalah pada Bapak, kami yang tidak mendengar kata-kata Bapak," ujar Dahlia tak enak hati.
"Kalau Danu mengikuti kata-kata saya, maka saya tidak akan memiliki cucu seperti Nata. Saya hanya akan menjerumuskan Danu seperti saya menjerumuskan Bagas dan Yoga," Akmal kini benar-benar terisak ketika mengingat semua keegoisannya.
"Kakek, sudah ya, jangan terlalu banyak pikiran. Kakek harus banyak istirahat, nanti sore kita belajar mengaji bersama lagi ya," bujuk Nata.
Akmal pun menganggukan kepalanya. Ia setuju untuk beristirahat. Pranoto lega saat Akmal akhirnya bisa menerima Dahlia dan Nata seperti keinginan Almarhum Danu.
'Kamu benar, kesederhanaannya dan kesabarannya lah yang akan membawanya pada kebahagiaan.'
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Qadarullah
Spiritual[COMPLETED] Menerima setiap takdir yang Allah berikan bukanlah perkara mudah bagi setiap manusia di dunia ini. Namun itulah yang dilakukan oleh Nata, sebagaimana yang selalu diajarkan oleh Ummi dan Almarhum Abinya sedari kecil. Namun ketika akhirnya...