Cahaya matahari masuk melalui jendela kamar yang bening. Sinarnya menyilaukan mata siapapun yang mencoba untuk menatapnya pagi itu.Yoga akhirnya memutuskan keluar dari kamar setelah dua hari tak pernah melakukan apapun. Ia merasa begitu lelah menjalani semuanya dengan perasaan yang kosong. Netranya berpapasan dengan Nata yang baru saja akan berangkat ke pesantren di ruang depan.
"Paman Yoga, Paman ingin sarapan?" Nata menawarkan.
Yoga menggeleng seraya tersenyum pada Nata.
"Boleh Paman ikut kamu? Paman bosan berada di rumah," pinta Yoga.
Nata menganggukan kepalanya.
"Tentu, Paman boleh ikut denganku. Tapi, Paman mungkin akan bosan berada di pesantren, karena kegiatan di sana tidak sama seperti kegiatan yang ada di kantor," ujar Nata.
"Tidak masalah. Setidaknya Paman tidak terkurung di dalam rumah ini seperti orang bodoh," balas Yoga.
Nata pun mempersilahkan Pamannya untuk berjalan lebih dulu menuju ke mobil. Bagas memperhatikan mereka dari balkon lantai dua bersama Akmal saat melihat dua sosok itu berjalan bersama.
"Papa tidak mau mencegah Yoga pergi?" tanya Bagas.
"Jangan. Biarkan dia pergi bersama Nata. Nanti juga dia pulang lagi setelah Nata selesai mengajar," jawab Akmal.
Mobil Nata mulai melaju meninggalkan kediaman keluarga Brawijaya. Yoga duduk dengan tenang di samping Nata. Ia meraih Al-Qur'an yang tersimpan di dalam laci dashboard saat ia membukanya. Nata melihatnya tersenyum sambil terus memperhatikan Al-Qur'an itu.
"Ada apa Paman? Apakah ada yang aneh dari Al-Qur'an itu?" tanya Nata.
"Ini Al-Qur'an hadiah dari Almarhumah Nenekmu. Beliau memberikan tiga buah Al-Qur'an saat malam tahun baru islam pada kami bertiga waktu itu. Al-Qur'an milik Mas Bagas entah berada di mana sekarang, sementara milik Paman sepertinya masih disimpan oleh Niken tanpa pernah disentuh. Waktu itu Paman menggunakan Al-Qur'an pemberian Nenekmu sebagai mahar ketika menikahi Niken. Jadi, Paman begitu senang saat melihat Al-Qur'an milik Almarhum Abimu ini dan bersyukur karena Al-Qur'an ini sepertinya sering dibaca," jawab Yoga, mengenang masa lalu.
Nata pun tersenyum.
"Paman tahu tidak, aku dan Ummi sering berebut ketika akan membaca Al-Qur'an itu sejak aku masih kecil," cerita Nata.
Yoga menatap Nata tak percaya.
"Oh ya?"
"Iya. Biasanya Abi akan menertawai kami jika terus saja berebut Al-Qur'an itu saat akan mengaji. Padahal kami sudah diberi Al-Qur'an masing-masing oleh Abi, tapi kami tetap lebih suka membaca Al-Qur'an itu. Aku baru tahu, kalau itu adalah Al-Qur'an pemberian Almarhumah Nenek, Abi tak pernah menceritakannya selama ini," jelas Nata.
Yoga pun kehilangan senyumannya. Ia terlihat seakan sedang mengingat sesuatu yang begitu buruk.
"Ya, Abimu takkan menceritakannya. Dia tak suka membicarakan Almarhumah Nenekmu. Dia sangat terpukul dengan kepergiannya, sehingga dia sangat tak suka membicarakannya," ujar Yoga.
Nata pun mengerenyitkan keningnya seketika. Ia kebingungan dengan apa yang Yoga katakan saat itu.
"Terpukul? Terpukul bagaimana maksud Paman?" Nata ingin tahu.
Yoga menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskan nafasnya perlahan-lahan. Kilasan masa lalu kelam itu kembali menari-nari di dalam ingatannya. Seakan-akan semua kejadian itu baru saja terjadi kemarin.
"Saat itu, Kakekmu menentang Mas Bagas ketika mengatakan ingin menikahi Almarhumah Ibunya Haura," ungkap Yoga.
Deg!!!
Nata terkesiap saat mendengar nama Haura disebut oleh Pamannya. Ia berusaha tetap berkonsentrasi pada jalanan yang sedang dilaluinya, sekaligus berkonsentrasi pada apa yang akan Yoga ceritakan.
"Nenekmu membelanya, tapi Kakek tetap bersikeras menentang mati-matian. Mas Bagas sampai diusir dan dipukuli oleh Kakekmu, Nenekmu terus memohon agar Kakekmu berhenti memukuli putranya tapi tak didengar sama sekali. Almarhum Abimu dan Paman mencoba menarik Nenekmu agar tidak kena pukulan dari Kakekmu, namun sayangnya, Kakekmu sudah gelap mata. Nenekmu terkena pukulannya sehingga membuatnya terjatuh dan kepalanya membentur pinggiran kolam ikan. Mereka membawanya ke rumah sakit, tapi Nenekmu tidak tertolong. Pendarahan di kepalanya sangat parah dan Dokter tak bisa mengatasi."
Nata mendengarkan tanpa menyela sama sekali. Ia tak mau melewatkan satu hal pun dari kisah kelam masa lalu yang sebenarnya.
"Almarhum Abimu tidak bisa menerima kematian Nenekmu yang tragis hanya karena membela putranya agar bisa menikahi wanita yang Mas Bagas cintai. Sejak itu Almarhum Abimu menjadi pendiam, dia tidak lagi bisa ceria seperti saat Almarhumah Nenekmu masih hidup. Dia mulai menjadi ceria lagi setelah mengenal Ummimu, Paman bahkan tahu bagaimana saat dia mengkhitbah Ummimu untuk menjadikannya istri. Paman tidak pernah melihatnya sebahagia itu selama hidup, Paman melihatnya seakan dia menemukan kedamaian di dalam hidupnya."
Yoga pun kembali terdiam sambil memeluk Al-Qur'an milik Danu di dadanya.
"Paman, bolehkah aku bertanya sesuatu?" pinta Nata.
"Ya, boleh. Apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Bagaimana nasib Paman Bagas saat tidak diperbolehkan menikah dengan Almarhumah Ibunya Haura? Dan darimana Paman Bagas bisa mengenal Ibunya Haura?" tanya Nata, penasaran.
"Almarhumah Ibunya Haura adalah sahabat baik Ummimu. Apakah Ummimu tidak pernah cerita?"
"Ummi cerita, hanya saja tidak lengkap."
"Hah? Tidak lengkap? Bagaimana bisa? Almarhum Abimu pun mengenal Ummimu melalui Almarhumah Ibunya Haura loh. Saat itu, Abimu sering menemui Almarhumah Ibunya Haura untuk meminta maaf atas penolakan yang dilakukan oleh Kakekmu terhadapnya sehingga Mas Bagas terpaksa meninggalkannya dan menikahi Nia. Almarhum Abimu ikut mengaji di tempat Mas Bagas dulu mengaji pada akhirnya, dan Almarhumah Ibunya Haura pun memperkenalkannya dengan Ummimu. Lalu mereka menikah dan akhirnya tak pernah lagi bertemu dengan Almarhumah Ibunya Haura karena Almarhum Abimu harus menyembunyikan Ummimu dan kamu agar tak dikejar-kejar oleh Kakekmu yang saat itu masih tidak waras," jelas Yoga.
Nata benar-benar tak percaya dengan semua cerita sebenarnya mengenai bagaimana Abi dan Umminya bertemu. Semuanya sangat rumit, sehingga Nata pun harus mengingat baik-baik apa yang Yoga ceritakan padanya.
"Kamu menikahi Haura sudah minta restu pada pihak keluarganya?" tanya Yoga.
"Pihak keluarganya? Memangnya Haura masih punya keluarga?" Nata bertanya balik.
"Ya punya lah! Almarhumah Ibunya Haura itu tidak sebatang kara seperti Ummimu. Setahu Paman dia punya Orangtua yang lengkap dan satu orang Kakak laki-laki," jawab Yoga.
"Apakah Paman tahu di mana alamatnya?"
"Kalau tempat tinggalnya yang dulu sekali, ya Paman tahu. Paman sering mengantar Mas Bagas mengunjunginya dulu waktu mereka masih berpacaran. Oh ya, Ummimu dan Almarhumah Ibunya Haura beda jalan ya..., jangan kaget. Ummimu dulu memang anak pesantren yang tidak mau berdekatan dengan lawan jenis, nah berbeda dengan Almarhumah Ibunya Haura, pemahaman modern yang dia anut. Nggak perlu paman jelaskan lah ya, nggak enak menceritakan orang yang sudah meninggal."
"Iya aku mengerti. Setiap orang kan berbeda-beda dalam menjalani hidup ini. Intinya, Paman harus mengantarku untuk mencari keluarganya Haura jika memang mereka masih ada," Nata memohon.
"Baiklah. Kapan kamu mau Paman mengantarmu?"
"Sekarang!"
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Qadarullah
Spiritual[COMPLETED] Menerima setiap takdir yang Allah berikan bukanlah perkara mudah bagi setiap manusia di dunia ini. Namun itulah yang dilakukan oleh Nata, sebagaimana yang selalu diajarkan oleh Ummi dan Almarhum Abinya sedari kecil. Namun ketika akhirnya...