"Mana orang-orang di rumah ini???" teriak Yoga sekali lagi.
Semua orang turun dari lantai dua rumah itu dan melihat sosok Yoga yang tengah berdiri di tengah-tengah rumah. Adisti menatap ke arah Bara dan Nata dengan penuh kelicikan. Ia merasa seakan sebentar lagi dirinya akan memenangkan segalanya.
"Ada apa ini Yoga? Kenapa kamu datang sambil berteriak-teriak begitu? Banyak tamu di luar, apa kamu tidak malu?" tegur Bagas.
"Mana Papa? Katakan di mana Papa Mas?" tanya Yoga tanpa menjawab teguran dari Bagas.
"Mau apa kamu mencari Papa sambil marah-marah begitu?" Bagas berpura-pura tidak tahu.
"Aku mau Adisti dinikahi oleh Bara atau Nata! Mereka harus bertanggung jawab setelah memecatnya secara tidak terhormat dari kantor," jawab Yoga, to the point.
"Bara dan Nata sudah menikah. Bara menikah seminggu yang lalu dengan Vera, menantuku. Nata, hari ini dia baru saja menikah dengan Haura. Mereka tidak mungkin menikahi Adisti, itu peraturan keluarga kita!" tegas Bagas.
Adisti pun menatap tak percaya ke arah Nata dan Bara, sekarang sia-sia semua hal yang dilakukannya bersama Yoga untuk menjadi Nyonya Brawijaya. Ia tak punya jalan lagi untuk menjadi bagian dari keluarga Brawijaya.
"Lagipula, sejak kapan ada orang dipecat karena perlakuan tidak senonohnya harus dipertanggung jawabkan oleh yang memecat? Peraturan darimana itu?" Bagas berusaha tetap tenang menghadapi Adiknya.
Yoga pun menggeram hebat di tempatnya, ia benar-benar sudah mati akal.
"Tidak! Adisti harus menjadi bagian keluarga Brawijaya! Calon anakku harus menjadi pewaris keluarga ini seperti Bara dan Nata!" teriak Yoga, hilang kendali.
"Calon anak? Adisti hamil? Dan kamu mau meminta Bara atau Nata untuk menjadi Bapak dari anakmu? Apa kamu sudah gila, hah?" Bagas balas berteriak tak kalah keras dari Yoga.
Pranoto masuk ke dalam rumah setelah para tamu pulang, ia mendekat bersama para satpam untuk mengusir Yoga dan Adisti yang membuat keributan di tengah pesta pernikahan itu. Adisti tentu saja tak mau diusir, ia langsung meraih tubuh Vera yang ada tak jauh dari tempatnya berdiri dan mengancamnya dengan sebuah pisau.
"Jangan ada yang mendekat!!! Atau aku akan membunuh perempuan ini!!!" ancamnya.
"Ukhti Vera!!!" teriak Haura, panik.
"Ummi!!!" Bara tak bisa meraih Vera.
"Abi!!! Tolong Bi...," mohon Vera.
"Lepaskan Istriku!!! Atau aku tidak akan segan-segan membuatmu menyesal seumur hidup!!!" bentak Bara.
Nata berlari ke atas diam-diam untuk memutar arah agar bisa mendekati Adisti yang menuju jendela sisi selatan rumah itu. Bara meraih pedang hiasan yang ada di dinding lalu mendekat pada Adisti.
"Lepaskan!!!" bentak Bara sekali lagi.
"Mundur!!!" teriak Adisti.
"Cepat lepaskan istriku perempuan sial!!!"
Bagas menatap tajam pada Yoga.
"Cepat hentikan perempuan sial itu sebelum dia menyakiti menantuku!!!" perintah Bagas.
Para satpam membantu Bara mengepung Adisti agar tak bisa lagi ke mana-mana. Vera terisak ketakutan di bawah ancaman wanita itu. Nata berhasil turun dari balkon dan membuka jendela bawah diam-diam. Adisti tak tahu kalau Nata ada di belakangnya, sehingga Nata pun menggunakan kesempatan itu untuk menendang punggung Adisti hingga terdorong ke arah depan bersama Vera.
Bara berhasil menangkap tubuh istrinya setelah Nata memberikan tendangan pada punggung Adisti, namun Adisti harus tersungkur di lantai hingga perutnya yang mulai membuncit terbentur dengan keras.
ARRRGGGGHHHHH!!!
"Mas Yoga!!! Perutuku Mas!!!" teriaknya, kesakitan.
Yoga pun berlari dengan cepat meraih tubuh Adisti ke pangkuannya. Darah segar mulai merembes pada baju pendek yang Adisti pakai. Dahlia yang baru turun bersama Akmal pun melihat wanita itu terkapar di lantai.
"Bara, bawa Vera naik ke atas!" perintah Bagas.
"Nata, bawa Haura ke kamar di atas Nak," tambah Dahlia.
Nata dan Bara pun membawa istri-istri mereka ke atas untuk menghindari hal-hal yang tidak terduga lagi. Adisti mengerang hebat di pangkuan Yoga.
"Sakit...," rintihnya.
"Maka seharusnya kamu tidak perlu cari masalah!!!" umpat Bagas.
Yoga menatap Kakak dan Ayahnya.
"Papa..., panggilkan Dokter..., selamatkan anakku Pa," pinta Yoga.
"Urus saja sendiri, Papa tidak mau memiliki keturunan haram seperti yang ada di dalam perutnya itu!" tegas Akmal.
"Pak..., jangan begitu Pak. Ini masalah hidup dan mati Pak..., kita tidak bisa berbuat zhalim meskipun mereka bersalah," mohon Dahlia.
Akmal pun terdiam. Dahlia menatap Pranoto.
"Pak Pranoto, panggilkan ambulans, tolong cepat Pak," pinta Dahlia.
Pranoto pun segera menghubungi rumah sakit untuk mengirim ambulans. Dahlia meraih tubuh Adisti dari pelukan Yoga ke dalam pangkuannya, Adisti menatapnya.
"Ayo..., tarik nafas, keluarkan, tarik nafas lagi, keluarkan. Ya..., terus begitu. Bertahan sampai ambulans datang ya, bertahan," ujar Dahlia sambil memeluknya.
Adisti terus mengikuti apa yang Dahlia katakan. Yoga terdiam di tempatnya sambil mencoba berpikir dengan waras.
"Mas Yoga kenapa diam saja??? Cepat ambilkan handuk atau apapun yang bisa di pakai menyeka darahnya..., cepat!!!" teriak Dahlia, semakin panik.
Yoga pun segera tersadar lalu berlari mencari handuk seperti yang Dahlia minta. Dahlia mengusap dahi Adisti yang begitu berkeringat saat menahan sakit, ia terus melakukannya dengan lembut hingga Adisti merasa nyaman. Saat Yoga kembali, ambulans pun tiba di depan rumah keluarga Brawijaya. Beberapa orang dari rumah sakit mengangkat Adisti ke atas bangkar untuk di bawa ke rumah sakit. Yoga ikut ke ambulans mendampingi Adisti.
Dahlia terdiam di ambang pintu rumah sambil memandangi darah yang ada di tangannya. Akmal menatapnya bersama Bagas.
"Apa yang kamu pikirkan Lia? Wanita itu hampir membuat putramu menikahinya jika saja saya tidak tahu lebih awal," tanya Akmal.
"Lalu apakah kejahatannya harus membuat kita juga ikut menjadi orang jahat, Pak? Apakah saya harus ikut berubah menjadi seperti dia?" Dahlia bertanya balik.
Akmal pun jelas terdiam di tempatnya tanpa bisa menjawab apa-apa.
"Lagipula siapa yang membuat peraturan keluarga seperti itu sehingga Mas Yoga tak bisa menceraikan Mbak Niken?" tanya Dahlia pada Pranoto.
"Saya yang membuatnya," jawab Akmal.
"Dan Bapak tetap akan mempertahankan seseorang yang sudah membuat putra Bapak menderita seperti ini? Apa Bapak tidak memikirkan bagaimana perasaan Mas Yoga? Seandainya saja Bapak tidak membuat peraturan itu, mungkin Mas Yoga akan menikahi Adisti secara baik-baik. Tapi karena adanya peraturan itulah yang membuat dia gelap mata Pak," ujar Dahlia.
"Saya membuat peraturan itu untuk membuat Almarhum Danu menyesal. Saya pikir Almarhum Danu akan menceraikan kamu kalau sudah tak tahan hidup tanpa bantuan dari saya. Saya pikir dia akan sangat-sangat menyesali pernikahannya dengan kamu karena hal itu akan membuatnya kehilangan hak waris setelah dia menceraikan kamu dan kamulah yang akan mendapat segalanya. Tapi saya salah..., Danu justru bahagia tanpa bantuan apapun dari saya dan kebahagiaan itu adalah kamu," Akmal mengakui segalanya.
Dahlia pun terduduk di lantai teras rumah, wanita itu berusaha menenangkan hatinya yang kacau.
"Tolong Pak, berhenti menyakiti anak-anak Bapak sendiri," pinta Dahlia.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Qadarullah
Spiritual[COMPLETED] Menerima setiap takdir yang Allah berikan bukanlah perkara mudah bagi setiap manusia di dunia ini. Namun itulah yang dilakukan oleh Nata, sebagaimana yang selalu diajarkan oleh Ummi dan Almarhum Abinya sedari kecil. Namun ketika akhirnya...